“Asal
Mula Pulau Si Kantan”
Cerita
Rakyat Sumatra Utara
Pada zaman
dahulu kala, di tepi sebuah sungai di daerah Labuhan Batu, Sumatera Utara,
hiduplah seorang janda tua bersama seorang anak laki-lakinya bernama si Kantan.
Mereka tinggal di sebuah gubuk kecil yang sudah reot. Ayah si Kantan, sudah
lama meninggal dunia. Sejak itu, ibu si Kantan-lah yang harus bekerja keras
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Si Kantan adalah anak yang rajin dan
tekun bekerja. Setiap hari ia membantu ibunya mencari kayu bakar di hutan untuk
dijual ke pasar. Pada suatu malam, ibu si Kantan bermimpi didatangi oleh
seorang kakek tua yang tidak dikenalnya. Dalam mimpinya, kakek tua itu
menyuruhnya pergi menggali tanah di sebuah tempat di dalam hutan. Pada pagi
harinya, ia menceritakan mimpinya tersebut kepada si Kantan. “Wah, itu mimpi
yang bagus, Bu! Sebaiknya kita laksanakan petunjuknya. Siapa tahu ini bisa
mengubah nasib kita,” ujar si Kantan. Maka, ibu dan anak itu pergi ke hutan
dengan membawa linggis. Sesampainya di hutan, ibu si Kantan berusaha
mengingat-ingat petunjuk yang diterima dari kakek tua di dalam mimpinya.
“Benar, Anakku! Tempatnya persis di sini!” seru ibu Kantan dengan yakinnya.
“Baiklah, Bu! Semoga ingatan ibu tidak keliru,” kata si Kantan. Si Kantan pun
mulai menggali tanah di bawah sebuah pohon yang besar dengan penuh semangat.
Setelah menggali sedalam dua kaki, si Kantan pun menemukan sebuah benda yang
terbungkus kain putih yang sudah usang. “Bu, saya menemukannya!” “Benda apakah
itu, Nak?” tanya sang ibu penasaran. “Entahlah, Bu!” jawab si Kantan. Tanpa
berpikir panjang, benda panjang yang terbungkus kain itu segera dibukanya.
Ternyata benda itu sebuah tongkat emas yang berhiaskan permata. “Lihatlah, Bu!
Benda ini sangat luar biasa.” “Benar, Anakku! Barangkali Tuhan ingin mengubah
nasib kita yang telah lama menderita ini.” Setelah itu, mereka pun pulang
dengan membawa tongkat emas itu. Sesampainya di gubuk, sang ibu menghendaki
agar benda itu dijual saja. Hasilnya akan digunakan untuk membeli rumah baru
dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Tapi, Ibu!
Siapa yang sanggup membeli benda yang sangat berharga ini?” tanya si Kantan.
“Benar juga katamu, Nak! Penduduk di desa ini rata-rata hanya petani biasa,
yang penghasilannya pas-pasan. Bagaimana jika kamu jual saja di pulau lain?”
usul ibu si Kantan. Si Kantan menerima usulan ibunya dengan senang hati. Namun,
di sisi lain, ia sangat sedih karena akan meninggalkan ibunya yang sudah tua
itu sendirian. Keesokan harinya, si Kantan pun berpamitan kepada ibunya. “Jaga
diri baik-baik, ya Bu! Setelah benda ini terjual, Kantan akan segera kembali
menemui ibu,” ucap si Kantan kepada ibunya. “Baiklah, Anakku! Berangkatlah dan
hati-hati di jalan! Jangan lupa cepat kembali kalau sudah berhasil,” seru sang
ibu. “Baiklah, Bu! Kantan berangkat!” pamit si Kantan sambil mencium tangan
ibunya. Tiba-tiba suasana haru menyelimuti hati ibu dan anak itu. Tak terasa,
sang ibu meneteskan air mata, lalu dipeluknya anak satu-satunya itu dengan
erat-erat. “Nak, Jangan lupakan ibumu di sini. Cepatlah kembali!” pesan sang
ibu. “Iya, Bu! Kantan berjanji kembali secepatnya,” jawab si Kantan membalas
pelukan ibunya. Setelah itu, berangkatlah si Kantan dengan sebuah tongkang
menyusuri Sungai Barumun menuju laut lepas, dan seterusnya pergi ke Malaka.
Berhari-hari sudah si Kantan terombang-ambing oleh gelombang di tengah laut.
Meskipun perjalanan itu menguras tenaga dan membosankan, namun hal itu tidaklah
membuat niat si Kantan surut. Ia yakin bahwa hasil dari penjualan tongkat emas
itu akan mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Setibanya di Malaka, ia pun
segera menawarkan kepada para pedagang di sana. Seluruh pedagang di kota itu
sudah ia tawari, namun tak seorang pun yang sanggup membelinya. Ia pun berniat
kembali ke kampung halamannya tanpa membawa hasil. Dalam perjalanan menuju ke
pelabuhan, ia bertemu dengan beberapa hulu balang dari Kerajaan Malaka yang
sedang berkeliling ronda di kota itu. “Hai, Anak Muda! Benda apa yang sedang
kamu bawa itu?” tanya salah seorang hulu balang. “Tongkat Emas, Tuan!” jawab si
Kantan. Lalu ia menceritakan maksud kedatangannya ke kota itu. “Bagaimana jika
benda itu kamu tawarkan kepada raja kami? Siapa tahu beliau tertarik,” hulu
balang lainnya menawarkan. Si Kantan menerima tawaran itu. Ia kemudian dibawa
untuk menghadap kepada sang raja. Setibanya di istana, para hulu balang
melaporkan kepada raja, bahwa pemuda miskin itu ingin menjual sebuah benda yang
sangat berharga. Sang Raja kemudian mengamati benda itu. “Aduhai, istimewa
sekali benda ini,” gumam Baginda Raja. Setelah itu, ia berkata kepada si
Kantan, “Hai, Anak Muda! Aku sangat tertarik dengan tongkat emas engkau ini.
Tapi, aku tidak ingin membelinya dengan uang. Bagaimana jika engkau tinggal di
istana ini dan aku jadikan menantuku?” sang Raja menawarkan. “Ampun, Baginda!
Jika itu kehendak Baginda, hamba menerima tawaran itu,” jawab si Kantan sambil
memberi hormat.
Seminggu
kemudian, si Kantan pun dinikahkan dengan putri raja yang cantik jelita. Pesta
pernikahannya dilangsungkan dengan sangat meriah. Sejak itu, si Kantan resmi menjadi
anggota keluarga istana Kerajaan Malaka. Ia bersama istrinya hidup bahagia di
istana. Kehidupan yang serba mewah membuat si Kantan lupa kepada ibunya yang
sudah tua dan hidup sendirian di kampung. Sementara itu, sang istri selalu
mendesak ingin bertemu mertuanya dan ingin melihat kampung halaman suaminya.
“Kanda… ! Kapan Kanda akan mengajak Dinda untuk menemui ibu di kampung?” tanya
sang istri. Mula-mula si Kantan enggan mengabulkan permintaan istrinya dengan
alasan sibuk mengurus istana. Namun, karena didesak terus oleh istrinya dan
direstui oleh Baginda Raja, maka si Kantan pun tidak bisa mengelak lagi.
“Baiklah, Dinda! Besok pagi kita berangkat,” janji si Kantan kepada istrinya.
Dengan menggunakan kapal pribadinya yang besar dan mewah, si Kantan dan
istrinya beserta puluhan prajurit istana berlayar menuju Pulau Sumatera.
Setelah berhari-hari mengarungi Selat Malaka, akhirnya kapal si Kantan berlabuh
di kota kecil, Labuhan Bilik, yang terletak di muara Sungai Barumun. Penduduk
setempat sangat terkejut dengan kehadiran kapal sebesar itu. Mereka pun
berdatangan ke pelabuhan ingin melihatnya dari dekat. “Waaah, megah sekali
kapal itu! Tapi, siapa pemiliknya?” kata seorang penduduk penasaran. “Hai,
lihat itu!” seru penduduk lainnya sambil menunjuk ke arah seorang laki-laki
gagah bersama seorang wanita cantik berdiri di anjungan kapal. “Bukankah
laki-laki itu si Kantan?” tanya seorang penduduk mengenali si Kantan. “Benar!
Ia adalah si Kantan, pemuda yang tinggal di gubuk di tepi sungai itu,” kata
seorang penduduk yang juga mengenal si Kantan. Maka tersiarlah kabar bahwa si
Kantan telah menjadi kaya-raya, bagai seorang raja dengan kapalnya yang besar
dan megah. Akhirnya, kabar kedatangan si Kantan pun terdengar oleh ibunya.
Perempuan tua itu sangat gembira, karena anak yang ditunggu-tunggunya selama
bertahun-tahun telah kembali. Saat menerima berita itu, ia memutuskan untuk
menunggu anaknya dengan sabar di gubuk reotnya. Namun, setelah beberapa lama
menunggu, anak yang dirindukannya tak kunjung datang. Akhirnya, ibu tua itu
memutuskan untuk menyusul anaknya di pelabuhan. Dengan menggunakan sampan,
janda tua itu menyusuri Sungai Barumun menuju pelabuhan tempat kapal si Kantan
berlabuh. Ia sudah tidak sabar lagi ingin memeluk anak yang sangat disayanginya
itu. Dengan sekuat tenaga, ia mengayuh sampannya lebih cepat lagi. Akhirnya,
tampaklah dari kejauhan sebuah kapal besar sedang bersandar di pelabuhan. “Jika
benar kata orang-orang, kapal itu pasti milik si Kantan anakku,” pikir janda
tua itu. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia terus mengayuh sampannya
mendekati kapal megah itu. Ketika sampan yang dinaiki sudah semakin dekat
dengan kapal besar itu, ia segera memanggil anaknya. “Kantaaan… !!! Kantaaan…
!!! Kantan anakkuuuuu… !!!”
Mendengar suara
teriakan dari luar kapal, istri si Kantan pun bertanya kepada si Kantan, “Kanda!
Suara siapakah yang memanggil-manggil nama Kanda?” “Ah, itu hanya orang gila,”
jawab si Kantan pura-pura tidak peduli, walaupun sebenarnya ia sangat mengenal
bahwa suara itu adalah suara ibunya. Namun, ia malu memperkenalkan istrinya
dengan ibunya yang miskin lagi tua itu. Panggilan si ibu kembali terdengar
semakin dekat. “Kantan, Anakku!!! Kamu di mana… ?” “Ini ibumu datang, Nak!”
teriak sang ibu. Maka semakin yakinlah istri si Kantan, kalau yang memanggil
suaminya itu adalah mertuanya. Ia semakin penasaran ingin melihat ibu mertuanya
yang sudah lama ia rindukan. Ia pun segera lari keluar kapal, tapi disusul oleh
si Kantan. Dari anjungan kapal, tampaklah oleh mereka seorang perempuan tua yang
sedang mendayung sampan ke arah kapalnya. “Kantaaan…Anakku! Aku ini ibumu yang
telah kau tinggalkan dulu,” teriak ibu tua itu. “Hei, perempuan jelek! Enak
saja mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu seburuk kamu!” hardik si
Kantan dengan kesal. “Tenang, Kanda! Siapa tahu wanita itu benar ibu Kanda.
Sepertinya ia sangat mengenal Kanda,” sahut sang istri menenangkan suaminya.
“Tidak, Istriku! Ia bukan ibuku. Ibuku masih muda dan cantik,” bantah si
Kantan. “Hei, orang tua gila! Jangan dekati kapalku. Dasar perempuan pembawa
sial!” si Kantan kembali mencaci-maki ibunya. “Pengawal! Usir dia dari sini!”
perintah si Kantan. Setelah beberapa pengawal mengusir perempuan tua itu, si
Kantan kembali memerintahkan pengawalnya untuk memutar haluan kapal dan kembali
ke Malaka. Sementera itu, perempuan tua itu bagai disambar petir melihat
perilaku anak kesayangannya, yang sungguh di luar dugaan. Dadanya terasa sesak,
air matanya pun tak terbendung lagi. Dengan sisa tenaganya, ia mengayuh
sampannya kembali ke gubuknya dengan perasaan hancur-lebur. Ia sangat sedih
karena telah diusir oleh anak kandungnya sendiri. Dengan deraian air mata, ia
pun berdoa, “Ya Tuhan, anak itu telah mendurhakai ibunya yang telah melahirkan
dan membesarkannya ini. Berilah ia pelajaran, agar ia menjadi anak yang tahu
berbakti kepada orang tua!”
Baru saja ucapan itu lepas dari
mulut sang ibu, tiba-tiba petir menyambar, hujan badai yang sangat dahsyat pun
datang. Tak berapa lama, air Sungai Barumun pun bergulung-gulung lalu
menghantam kapal si Kantan dengan bertubi-tubi. Tak ayal lagi, kapal besar yang
megah itu pun tenggelam ke dasar
Sungai Barumun.
Seluruh awak kapal tak dapat menyelamatkan diri, termasuk si Kantan dan
istrinya. Setelah kapal itu sudah tak tampak lagi, suasana kembali tenang seperti
semula. Beberapa hari kemudian, muncullah sebuah pulau kecil di tempat kejadian
itu, yaitu tepatnya di tengah-tengah Sungai Barumun dan berhadapan dengan kota
Labuhan Bilik. Kemudian pulau itu oleh masyarakat setempat diberi nama Pulau Si
Kantan.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment