Saturday 28 November 2015

Cerita Rakyat Banten

“Legenda Tanjung Lesung”
Cerita Rakyat Banten


Di  pesisir  Laut  Selatan  Pulau  Jawa,  ada  seorang pengembara  bernama  Raden  Budog.  Ia  adalah  seorang pemuda  yang  tampan  dan  gagah  perkasa.  Dalam pengembaraannya,  ia  selalu  ditemani  oleh  seekor  anjing dan  kuda  kesayangannya.  Suatu  siang,  seusai  mandi  di pantai, Raden Budog beristirahat di bawah sebuah pohon ketapang  yang  rindang.  Buaian  angin  pantai  yang  sejuk membuat  pemuda  itu  begitu  cepat  terlelap.  Dalam tidurnya, ia bermimpi mengembara ke utara dan bertemu dengan seorang gadis cantik jelita. Kecantikan gadis itu membuat hatinya terpesona. Ia melihat gadis itu tersenyum  manis  seraya  mengulurkan  tangannya.  Namun,  saat  ia  hendak  menyambut  uluran  tangan gadis  itu  tiba-tiba  sebuah  ranting  kering  jatuh  mengenai  dahinya.  Ia  pun  terkejut  dan  langsung terbangun dari tidurnya. Raden Budog membanting ranting itu keras-keras karena merasa geram tidak bisa melanjutkan mimpi indahnya.Sejak peristiwa itu, hati Raden Budog tidak tenang karena senyum manis gadis itu selalu te rbayang di pelupuk matanya. Walaupun hanya mimpi, namun ia merasa bahwa pertemuannya dengan gadis seperti kenyataan. 
Oleh  karena  penasaran,  ia  pun  memutuskan  pergi  mengembara  ke  utara  untuk  mencari gadis  impiannya.  Setelah  menyiapkan  perbekalan  secukupnya,  Raden  Budog  memacu  kuda kesayangannya menuju ke arah utara, sementara anjingnya berjalan di depan sambil mengendus-endus mencari jalan bagi tuannya.Setelah berhari-hari berjalan menapaki jalan-jalan terjal, tibalah Raden Budog di sebuah tempat tinggi yang  dikenal  bernama  Tali  Alas  atau  yang  kini  disebut  Pilar.  Dari  tempat  itulah,  Raden  Budog  dapat melihat  pemandangan  samudera  biru  yang  membentang  luas  dan  pantai  yang  indah.  Sejenak,  ia beristirahat  di  tempat  itu  sambil  menikmati  bekalnya  yang  masih  tersisa.  Sementara  itu,  kudanya dibiarkan mencari rumput segar dan anjingnya asyik berburu burung puyuh yang banyak berkeliaran di antara semak-semak.Setelah  dirasa  cukup  beristirahat,  Raden  Budog  melanjutkan  perjalanannya  menuju  ke  pantai,  yakni yang  dikenal  dengan  sebutan  Pantai  Cawar. 
Setiba  di  pantai  itu,  Raden  Budog  turun  dari  kudanya kemudian berlari menuju pantai dan terjun ke laut. “Waaah, sejuk sekali air pantai ini!” ujar Raden Budog sambil membasuh mukanya dengan air laut. Sejuknya  air  di  Pantai  Cawar  benar-benar  menghilangkan  rasa  lelah  Raden  Budog.  Setelah  badannya kembali segar, pemuda itu pergi ke muara sungai yang ada di sekitar pantai untuk membasuh tubuhnya dengar  air  tawar.  Ia  lalu  menghampiri  kuda  dan  anjingnya  yang  duduk  di  tepi  pantai  dengan   maksud hendak  melanjutkan  pengembaraan.  Tidak  seperti  biasanya,  ketika  melihat  tuan  mereka,  kedua binatang tersebut segera menyapa dengan ringkikan atau gonggongannya. Namun, kali ini mereka tidak bergerak sedikit pun seolah tidak perduli ajakan tuan mereka. Raden Budog pun merasa heran melihat perilaku kedua hewan sahabatnya itu.“Ayo cepat berdiri, kita lanjutkan perjalanan!” seru Raden Budog.Anjing  dan  kudanya  itu  tetap  saja  tidak  bergerak.  Rupanya,  kedua  hewan  tersebut  sangat  kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang sehingga menggerakkan badan pun sulit mereka lakukan.
“Baiklah, jika kalian tidak mau menuruti perintahku dan tetap diam seperti karang, akan kutinggalkan kalian di sini,” ucap Raden Budog dengan kesal.Ucapan Raden Bodug itu rupanya menjadi kenyataan. Kuda dan anjingnya tiba-tiba menjelma menjadi batu karang. Akhirnya, Raden Budog terpaksa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki seorang diri. Tekadnya  tetap  membara.  Yang  ada  dalam  pikiran  Raden  Budog  hanyalah  sang  gadis  pujaan  yangditemuinya dalam mimpi itu. Raden Budog terus berjalan tanpa mengenal lelah. Ia juga tidak menghiraukan pakaiannya yang lusuh dan  badannya  kotor  berdebu.  Ketika  tiba  di  sebuah  sungai,  ia  terpaksa  menghentikan  perjalanannya karena sungai itu sedang banjir besar.“Ah,  lebih  baik  aku  beristirahat  dulu  di  sini  sambil  menunggu  banjir  itu  surut,”  gumam  Raden  Bugog seraya merebahkan tubuhnya di atas sebuah batu besar yang ada di tepi sungai.Baru saja Raden Budog merebahkan tubuhnya, tiba-tiba terdengar bunyi lesung dari seberang sungai. Ia pun terperanjat dan hatinya berdebar kencang. “Aku yakin, di seberang sungai ini terdapat kampung, tempat tinggal gadis itu,” ucapnya dengan penuh keyakinan. Raden  Budog  tidak  sabar  lagi  menunggu  banjir  itu  surut  karena  ingin  segera  bertemu  dengan  gadis pujaannya. 
Akhirnya,  ia  terpaksa  menyeberangi  sungai  itu  walaupun  banjir  belum  surut.  Dengan segenap  tenaga  yang  dimiliki,  ia  pun  berhasil  menyeberangi  sungai  itu.  Saat  tiba  di  pintu  masuk kampung tersebut, Raden Budog memutuskan  untuk beristirahat sejenak guna memulihkan tenaganya sambil mengamati keadaan sekitar. Beberapa saat kemudian, alunan bunyi lesung yang merdu dari dalam kampung itu kembali terdengar. Hati Raden Budog semakin berdebar kencang karena merasa gadis itu semakin dekat di hatinya. Ia pun segera  berdiri  dan  melangkah  menuju  ke  sumber  bunyi  lesung  tersebut.  Semakin  jauh  ia  masuk  ke dalam  perkampungan,  bunyi  lesung  semakin  keras  terdengar. 
Begitu  ia  tiba  di  depan  sebuah  rumah, tampaklah  gadis-gadis  kampung  sedang  asyik  bermain  lesung  atau  ngagondang.  Kebiasaan  bermain lesung  tersebut  sudah  merupakan  tradisi  penduduk  kampung  itu  saat  akan  menanam  padi.  Namun, tradisi  itu  tidak  mereka  lakukan  jika  bertepatan  hari  Jumat,  karena  hari  Jumat  dianggap  sebagai  hari keramat. Sementara itu, Raden Budog terpesona menyaksikan tangan gadis-gadis tersebut yang begitu lincah dan terampil  mengayunkan  dan  menumbukkan  alu  ke  dalam  lesung  secara  bergantian.  Alangkah terpesonanya  lagi  saat  ia  melihat  seorang  gadis  yang  cantik  jelita  sedang  mengayunkan  tangannya sekaligus memberi aba-aba pada gadis-gadis lain. Rupanya, gadis yang bernama Sri Poh Haci itu adalah pemimpin dari kelompok gadis-gadis yang bermain ngagondang.
“Itulah gadis yang pernah hadir dalam mimpiku,” Raden Budog membatin.Betapa senangnya hati Raden Budog karena gadis yang selama ini ia cari kini ada di depan matanya. Ia pun  terus memandang gadis itu tanpa  berkedip  sedikit pun. Sementara  itu,  Sri Poh  Haci yang merasa ada  yang  memperhatikan  segera  memberikan  isyarat  kepada  teman-temannya  agar  menghentikan permainan  ngagondang.  Gadis-gadis  itu  pun  berhenti  memainkan  alu  di  tangannya  seraya  bergegas pulang ke rumah masing-masing, termasuk Sri Poh Haci. Setiba di rumahnya, Sri Poh Haci disambut oleh ibunya. “Kenapa permainan lesungnya hanya sebentar, anakku?” tanya ibu Sri Poh Haci yang biasa dipanggil Nyi Siti. “Tadi  ada  seorang  pemuda  tampan  yang  belum  pernah  aku  lihat.  Dia  memperhatikanku  terus  saat bermain ngadondang. Aku kan jadi malu, Bu,” jelas Sri Poh Haci.Baru saja mereka membicarakan pemuda asing itu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu dan disusul suara seorang laki-laki. “Sampurasun..., permisi...” “Rampes...,” jawab ibu Sir Poh Haci seraya menuju ke ruang depan untuk membukakan pintu.
Begitu Nyi Siti membuka pintu, tampaklah seorang pemuda tampan dan gagah perkasa sedang berdiri di depan pintu. “Maaf kalau kedatangan saya mengganggu. Bolehkah saya menginap di rumah ibu?” pinta pemuda itu yang tak lain adalah Raden Budog. Betapa terkejut Nyi Siti mendengar permintaan pemuda yang tidak dikenalnya itu. “Maaf, kisanak ini siapa dan berasal dari mana? Mengapa kisanak ingin menginap di rumah saya? Kami belum mengenal kisanak,” tanya Nyi Siti curiga. Raden Budog pun lantas memperkenalkan diri. “Nama  saya  Raden  Budog,  Bu.  Saya  seorang  pengembara  dan  kebetulan  mampir  di  kampung  ini.  Jika diperkankan, izinkanlah saya untuk menginap di rumah ibu,” pinta Raden Budog kembali.“Maaf, Raden. Penghuni rumah ini hanya saya dan anak gadis saya. Saya tidak berani menerima tamu laki-laki, apalagi jika menginap,” jawab Nyi Siti tegas seraya menutup pintu.Rupanya, Nyi Siti tidak senang dengan sikap Raden Budog yang dianggap terlalu lancang ingin menginap di rumahnya. Sementara itu, Raden Budog merasa kesal karena permintaannya ditolak oleh perempuan paruh  baya  itu.
 Karena  hari  sudah  mulai  gelap,  ia  pun  memutuskan  untuk  beristirahat  di  bale-bale bambu yang berada di dekat rumah Nyi Siti.“Ah, sebaiknya aku tidur di sini saja,” gumam Raden Budog seraya merebahkan tubuhnya di atas bale bale bambu itu.Pemuda pengembara itu pun tertidur pulas. Dalam tidurnya, ia bermimpi diizinkan menginap di rumah itu. Namun, bukan Nyi Siti yang mengizinkannya, melainkan Sri Poh Haci. Di tengah -tengah menikmati mimpi  indahnya,  tiba-tiba  hidungnya  merasakan  wangi  kopi  yang  menyegarkan.  Begitu  ia  membuka matanya, tampak matahari sudah muncul di ufuk timur dan seorang gadis cantik berdiri di sampingnya. “Silakan diminum kopinya, Raden!” kata gadis itu. “Hai, nama kamu siapa? Dan dari mana kamu tahu namaku?” tanya Raden Budog pura-pura tidak tahu bahwa gadis itu pastilah anak Nyi Siti. “Namaku Sir Poh Haci, anak Nyi Siti,” jawab sang gadis memperkenalkan diri.
Rupanya,  diam-diam  Sri  Poh  Haci  pun  jatuh  hati  kepada  Raden  Budog  yang  tampan  itu.  Setelah beberapa hari tinggal di kampung tersebut, Raden Budog berhasil menjalin kasih dengan Sri Poh Haci dan  mereka  pun  bersepakat  untuk  menikah.  Sebenarnya,  Nyi  Siti  tidak  setuju  jika  anaknya  menikah dengan  pemuda  yang  tidak  diketahui  asal-usulnya.  Apalagi,  ia  tahu  bahwa  pemuda  itu  keras  kepala. Namun, karena tidak ingin mengecewakan hati anaknya, ia pun terpaksa merestui pernikahan mereka. Setelah  menikah  dengan  Sri  Poh  Haci, Raden  Budog pun  menetap  di  kampung itu. Setiap  kali  istrinya bermain  lesung  bersama  gadis-gadis  kampung,  ia  selalu  datang  menyaksikannya  karena  senang mendengar  nada  lesung  itu  dan  sesekali  belajar  memainkan  lesung.  Semakin  lama,  Raden  Budog semakin  senang  bermain  lesung  sehingga  terkadang  lupa  waktu. 
Saking  senangnya,  ia  tetap  bermain lesung walaupun  pada hari Jumat. Padahal, istrinya sudah memberi tahu sebelumnya bahwa bermain lesung pada Jumat sangat dipantangkan.Berkali-kali para tetua kampung memperingatkan akan hal itu, namun Raden Budog yang keras kepala itu  tidak  menghiraukannya  dan  tetap  berm ain  lesung  di  hari  Jumat.  Perilaku  Raden  Budog  semakin  menjadi-jadi,  ia  terus  menabuh  lesung  sambil  melompat -lompat  kegirangan  ke  sana  ke  mari  seperti seekor lutung (kera hitam berekor panjang). “Lihat... lihat! Ada lutung bermain lesung!” teriak para warga.  Rupanya, Raden Budog tidak menyadari jika dirinya telah menjadi seekor lutung. Alangkah terkejutnya ia  setelah  melihat  tangan  dan  kakinya  telah  penuh  dengan  bulu -bulu.  Setelah  meraba  wajahnya  dan merasa penuh dengan bulu, ia pun langsung lari terbirit-birit masuk ke dalam hutan di pinggir kampung tersebut. Sejak itu, Raden Budog menjadi lutung dan tidak pernah lagi kembali ke wujud aslinya sebagai manusia. Sementara  itu,  Sri  Poh  Haci  merasa  sangat  malu  atas  peristiwa  tersebut.
 Oleh  karena  tidak  kuat menanggung malu, ia pun pergi dari kampung halamannya secara diam-diam dan hilang entah ke mana. Menurut cerita, Sri Poh Haci telah menjelma menjadi Dewi Padi. Untuk mengenang kemahiran Sri Poh Haci  bermain  lesung, penduduk  setempat  menyebut  kampung  itu  dengan  nama  Kampung  Lesung. Karena berlokasi di sebuah tanjung, maka kampung itu diberi nama Tanjung Lesung.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






No comments:

Post a Comment