“Legenda
Tanjung Lesung”
Cerita
Rakyat Banten
Di
pesisir Laut Selatan
Pulau Jawa, ada
seorang pengembara bernama Raden
Budog. Ia adalah
seorang pemuda yang tampan
dan gagah perkasa.
Dalam pengembaraannya, ia selalu
ditemani oleh seekor
anjing dan kuda kesayangannya. Suatu
siang, seusai mandi
di pantai, Raden Budog beristirahat di bawah sebuah pohon ketapang yang
rindang. Buaian angin
pantai yang sejuk membuat
pemuda itu begitu
cepat terlelap. Dalam tidurnya, ia bermimpi mengembara ke
utara dan bertemu dengan seorang gadis cantik jelita. Kecantikan gadis itu
membuat hatinya terpesona. Ia melihat gadis itu tersenyum manis
seraya mengulurkan tangannya.
Namun, saat ia
hendak menyambut uluran
tangan gadis itu tiba-tiba
sebuah ranting kering
jatuh mengenai dahinya.
Ia pun terkejut
dan langsung terbangun dari
tidurnya. Raden Budog membanting ranting itu keras-keras karena merasa geram
tidak bisa melanjutkan mimpi indahnya.Sejak peristiwa itu, hati Raden Budog
tidak tenang karena senyum manis gadis itu selalu te rbayang di pelupuk
matanya. Walaupun hanya mimpi, namun ia merasa bahwa pertemuannya dengan gadis
seperti kenyataan.
Oleh
karena penasaran, ia
pun memutuskan pergi
mengembara ke utara
untuk mencari gadis impiannya.
Setelah menyiapkan perbekalan
secukupnya, Raden Budog
memacu kuda kesayangannya menuju
ke arah utara, sementara anjingnya berjalan di depan sambil mengendus-endus
mencari jalan bagi tuannya.Setelah berhari-hari berjalan menapaki jalan-jalan
terjal, tibalah Raden Budog di sebuah tempat tinggi yang dikenal
bernama Tali Alas
atau yang kini
disebut Pilar. Dari
tempat itulah, Raden
Budog dapat melihat pemandangan
samudera biru yang
membentang luas dan pantai yang
indah. Sejenak, ia beristirahat di
tempat itu sambil
menikmati bekalnya yang
masih tersisa. Sementara
itu, kudanya dibiarkan mencari
rumput segar dan anjingnya asyik berburu burung puyuh yang banyak berkeliaran
di antara semak-semak.Setelah
dirasa cukup beristirahat,
Raden Budog melanjutkan
perjalanannya menuju ke
pantai, yakni yang dikenal
dengan sebutan Pantai
Cawar.
Setiba
di pantai itu,
Raden Budog turun
dari kudanya kemudian berlari
menuju pantai dan terjun ke laut. “Waaah, sejuk sekali air pantai ini!” ujar
Raden Budog sambil membasuh mukanya dengan air laut. Sejuknya air
di Pantai Cawar
benar-benar menghilangkan rasa
lelah Raden Budog.
Setelah badannya kembali segar,
pemuda itu pergi ke muara sungai yang ada di sekitar pantai untuk membasuh
tubuhnya dengar air tawar.
Ia lalu menghampiri
kuda dan anjingnya
yang duduk di
tepi pantai dengan
maksud hendak melanjutkan pengembaraan.
Tidak seperti biasanya,
ketika melihat tuan
mereka, kedua binatang tersebut
segera menyapa dengan ringkikan atau gonggongannya. Namun, kali ini mereka
tidak bergerak sedikit pun seolah tidak perduli ajakan tuan mereka. Raden Budog
pun merasa heran melihat perilaku kedua hewan sahabatnya itu.“Ayo cepat
berdiri, kita lanjutkan perjalanan!” seru Raden Budog.Anjing dan
kudanya itu tetap
saja tidak bergerak.
Rupanya, kedua hewan
tersebut sangat kelelahan setelah menempuh perjalanan panjang
sehingga menggerakkan badan pun sulit mereka lakukan.
“Baiklah, jika kalian tidak mau menuruti
perintahku dan tetap diam seperti karang, akan kutinggalkan kalian di sini,”
ucap Raden Budog dengan kesal.Ucapan Raden Bodug itu rupanya menjadi kenyataan.
Kuda dan anjingnya tiba-tiba menjelma menjadi batu karang. Akhirnya, Raden
Budog terpaksa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki seorang diri.
Tekadnya tetap membara.
Yang ada dalam
pikiran Raden Budog
hanyalah sang gadis
pujaan yangditemuinya dalam mimpi
itu. Raden Budog terus berjalan tanpa mengenal lelah. Ia juga tidak
menghiraukan pakaiannya yang lusuh dan
badannya kotor berdebu.
Ketika tiba di
sebuah sungai, ia
terpaksa menghentikan perjalanannya karena sungai itu sedang banjir
besar.“Ah, lebih baik
aku beristirahat dulu
di sini sambil
menunggu banjir itu
surut,” gumam Raden
Bugog seraya merebahkan tubuhnya di atas sebuah batu besar yang ada di
tepi sungai.Baru saja Raden Budog merebahkan tubuhnya, tiba-tiba terdengar
bunyi lesung dari seberang sungai. Ia pun terperanjat dan hatinya berdebar
kencang. “Aku yakin, di seberang sungai ini terdapat kampung, tempat tinggal
gadis itu,” ucapnya dengan penuh keyakinan. Raden Budog
tidak sabar lagi
menunggu banjir itu
surut karena ingin
segera bertemu dengan
gadis pujaannya.
Akhirnya, ia
terpaksa menyeberangi sungai
itu walaupun banjir
belum surut. Dengan segenap tenaga
yang dimiliki, ia pun berhasil
menyeberangi sungai itu.
Saat tiba di
pintu masuk kampung tersebut,
Raden Budog memutuskan untuk
beristirahat sejenak guna memulihkan tenaganya sambil mengamati keadaan
sekitar. Beberapa saat kemudian, alunan bunyi lesung yang merdu dari dalam
kampung itu kembali terdengar. Hati Raden Budog semakin berdebar kencang karena
merasa gadis itu semakin dekat di hatinya. Ia pun segera berdiri
dan melangkah menuju
ke sumber bunyi
lesung tersebut. Semakin
jauh ia masuk
ke dalam perkampungan, bunyi
lesung semakin keras
terdengar.
Begitu
ia tiba di
depan sebuah rumah, tampaklah gadis-gadis
kampung sedang asyik
bermain lesung atau
ngagondang. Kebiasaan bermain lesung tersebut
sudah merupakan tradisi
penduduk kampung itu
saat akan menanam
padi. Namun, tradisi itu
tidak mereka lakukan
jika bertepatan hari
Jumat, karena hari
Jumat dianggap sebagai
hari keramat. Sementara itu, Raden Budog terpesona menyaksikan tangan
gadis-gadis tersebut yang begitu lincah dan terampil mengayunkan
dan menumbukkan alu ke dalam
lesung secara bergantian.
Alangkah terpesonanya lagi saat
ia melihat seorang
gadis yang cantik
jelita sedang mengayunkan
tangannya sekaligus memberi aba-aba pada gadis-gadis lain. Rupanya,
gadis yang bernama Sri Poh Haci itu adalah pemimpin dari kelompok gadis-gadis
yang bermain ngagondang.
“Itulah gadis yang pernah hadir dalam
mimpiku,” Raden Budog membatin.Betapa senangnya hati Raden Budog karena gadis
yang selama ini ia cari kini ada di depan matanya. Ia pun terus memandang gadis itu tanpa berkedip
sedikit pun. Sementara itu, Sri Poh
Haci yang merasa ada yang memperhatikan
segera memberikan isyarat
kepada teman-temannya agar
menghentikan permainan
ngagondang. Gadis-gadis itu
pun berhenti memainkan
alu di tangannya
seraya bergegas pulang ke rumah
masing-masing, termasuk Sri Poh Haci. Setiba di rumahnya, Sri Poh Haci disambut
oleh ibunya. “Kenapa permainan lesungnya hanya sebentar, anakku?” tanya ibu Sri
Poh Haci yang biasa dipanggil Nyi Siti. “Tadi
ada seorang pemuda
tampan yang belum
pernah aku lihat.
Dia memperhatikanku terus
saat bermain ngadondang. Aku kan jadi malu, Bu,” jelas Sri Poh Haci.Baru
saja mereka membicarakan pemuda asing itu, tiba-tiba terdengar bunyi ketukan
pintu dan disusul suara seorang laki-laki. “Sampurasun..., permisi...”
“Rampes...,” jawab ibu Sir Poh Haci seraya menuju ke ruang depan untuk
membukakan pintu.
Begitu Nyi Siti membuka pintu, tampaklah
seorang pemuda tampan dan gagah perkasa sedang berdiri di depan pintu. “Maaf
kalau kedatangan saya mengganggu. Bolehkah saya menginap di rumah ibu?” pinta
pemuda itu yang tak lain adalah Raden Budog. Betapa terkejut Nyi Siti mendengar
permintaan pemuda yang tidak dikenalnya itu. “Maaf, kisanak ini siapa dan
berasal dari mana? Mengapa kisanak ingin menginap di rumah saya? Kami belum
mengenal kisanak,” tanya Nyi Siti curiga. Raden Budog pun lantas memperkenalkan
diri. “Nama saya Raden
Budog, Bu. Saya
seorang pengembara dan
kebetulan mampir di
kampung ini. Jika diperkankan, izinkanlah saya untuk
menginap di rumah ibu,” pinta Raden Budog kembali.“Maaf, Raden. Penghuni rumah
ini hanya saya dan anak gadis saya. Saya tidak berani menerima tamu laki-laki,
apalagi jika menginap,” jawab Nyi Siti tegas seraya menutup pintu.Rupanya, Nyi
Siti tidak senang dengan sikap Raden Budog yang dianggap terlalu lancang ingin
menginap di rumahnya. Sementara itu, Raden Budog merasa kesal karena
permintaannya ditolak oleh perempuan paruh
baya itu.
Karena
hari sudah mulai
gelap, ia pun
memutuskan untuk beristirahat
di bale-bale bambu yang berada di
dekat rumah Nyi Siti.“Ah, sebaiknya aku tidur di sini saja,” gumam Raden Budog
seraya merebahkan tubuhnya di atas bale bale bambu itu.Pemuda pengembara itu
pun tertidur pulas. Dalam tidurnya, ia bermimpi diizinkan menginap di rumah
itu. Namun, bukan Nyi Siti yang mengizinkannya, melainkan Sri Poh Haci. Di
tengah -tengah menikmati mimpi
indahnya, tiba-tiba hidungnya
merasakan wangi kopi
yang menyegarkan. Begitu
ia membuka matanya, tampak
matahari sudah muncul di ufuk timur dan seorang gadis cantik berdiri di
sampingnya. “Silakan diminum kopinya, Raden!” kata gadis itu. “Hai, nama kamu
siapa? Dan dari mana kamu tahu namaku?” tanya Raden Budog pura-pura tidak tahu
bahwa gadis itu pastilah anak Nyi Siti. “Namaku Sir Poh Haci, anak Nyi Siti,”
jawab sang gadis memperkenalkan diri.
Rupanya,
diam-diam Sri Poh
Haci pun jatuh
hati kepada Raden
Budog yang tampan
itu. Setelah beberapa hari
tinggal di kampung tersebut, Raden Budog berhasil menjalin kasih dengan Sri Poh
Haci dan mereka pun
bersepakat untuk menikah.
Sebenarnya, Nyi Siti
tidak setuju jika
anaknya menikah dengan pemuda
yang tidak diketahui
asal-usulnya. Apalagi, ia
tahu bahwa pemuda
itu keras kepala. Namun, karena tidak ingin
mengecewakan hati anaknya, ia pun terpaksa merestui pernikahan mereka.
Setelah menikah dengan
Sri Poh Haci, Raden
Budog pun menetap di
kampung itu. Setiap kali istrinya bermain lesung
bersama gadis-gadis kampung,
ia selalu datang
menyaksikannya karena senang mendengar nada
lesung itu dan
sesekali belajar memainkan
lesung. Semakin lama,
Raden Budog semakin senang
bermain lesung sehingga
terkadang lupa waktu.
Saking senangnya,
ia tetap bermain lesung walaupun pada hari Jumat. Padahal, istrinya sudah
memberi tahu sebelumnya bahwa bermain lesung pada Jumat sangat
dipantangkan.Berkali-kali para tetua kampung memperingatkan akan hal itu, namun
Raden Budog yang keras kepala itu
tidak menghiraukannya dan
tetap berm ain lesung
di hari Jumat.
Perilaku Raden Budog
semakin menjadi-jadi, ia
terus menabuh lesung
sambil melompat -lompat kegirangan
ke sana ke
mari seperti seekor lutung (kera
hitam berekor panjang). “Lihat... lihat! Ada lutung bermain lesung!” teriak
para warga. Rupanya, Raden Budog tidak
menyadari jika dirinya telah menjadi seekor lutung. Alangkah terkejutnya
ia setelah melihat
tangan dan kakinya
telah penuh dengan
bulu -bulu. Setelah meraba
wajahnya dan merasa penuh dengan
bulu, ia pun langsung lari terbirit-birit masuk ke dalam hutan di pinggir
kampung tersebut. Sejak itu, Raden Budog menjadi lutung dan tidak pernah lagi
kembali ke wujud aslinya sebagai manusia. Sementara itu,
Sri Poh Haci
merasa sangat malu
atas peristiwa tersebut.
Oleh
karena tidak kuat menanggung malu, ia pun pergi dari
kampung halamannya secara diam-diam dan hilang entah ke mana. Menurut cerita,
Sri Poh Haci telah menjelma menjadi Dewi Padi. Untuk mengenang kemahiran Sri
Poh Haci bermain lesung, penduduk setempat
menyebut kampung itu
dengan nama Kampung
Lesung. Karena berlokasi di sebuah tanjung, maka kampung itu diberi nama
Tanjung Lesung.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment