“Asal
Mula Nama Simalungun”
Cerita
Rakyat Sumatra Utara
Dahulu, di
wilayah Kampung Nagur, Sumatra Utara, terdapat sebuah kerajaan kecil bernama
Kerajaan Tanah Djawo. Kerajaan suku Batak yang bermarga Sinaga ini dipimpin
oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Dalam menjalankan tugas
pemerintahan, sang Raja didampingi oleh sejumlah hulubalang yang tangguh dan
setia sehingga kerajaan ini aman dan tenteram. Sementara itu, di luar wilayah
Nagur, terdapat pula dua kerajaan suku Batak yang berlainan marga, yaitu
Kerajaan Silou dari marga Purba Tambak dan Kerajaan Raya dari marga Saragih
Garingging. Meskipun berlainan marga, kedua kerajaan ini menjalin hubungan
persahabatan dengan Kerajaan Nagur. Rakyat mereka pun senantiasa hidup rukun
dan makmur. Kemakmuran ketiga kerajaan kecil itu ternyata menarik perhatian
kerajaan-kerajaan lain untuk menguasainya. Suatu hari, tersiar kabar bahwa
Kerajaan Majapahit dari tanah Jawa akan datang menyerang Kerajaan Tanah Djawo.
Mendengar kabar tersebut, Raja Tanah Djawo segera meminta bantuan kepada
Kerajaan Silou dan Kerajaan Raya. Kedua kerajaan itu pun menyatakan kesediaan
untuk membantu Kerajaan Tanah Djawo dalam menangkal serangan dari Kerajaan
Majapahit. Bantuan yang diberikan oleh Kerajaan Silou dan Kerajaan Raya
ternyata sanggup menangkal bahkan mengusir pasukan Majapahit dari wilayah
Nagur. Hal yang sama terjadi ketika Kerajaan Silou mendapat serangan dari
Kerajaan Aceh. Kedua kerajaan ini, Kerajaan Tanah Djawo dan Kerajaan Raya,
membantu Kerajaan Silou hingga akhirnya selamat dari ancaman bahaya. Suatu
ketika, ribuan tentara yang tidak diketahui asalnya datang menyerang ketiga
kerajaan tersebut secara bergantian. Pertama-tama, mereka Kerajaan Tanah Djawo,
lalu Kerajaan Silou, dan terakhir Kerajaan Raya. Meskipun sudah saling
membantu, ketiga kerajaan tersebut akhirnya takluk juga. Serangan itu membuat
masing-masing raja terpaksa menyelamatkan diri. Hal yang sama terjadi pula para
rakyat yang lari tunggang-langgang menghindari sergapan musuh. Mereka
meninggalkan wilayah itu secara berkelompok. Selama masa pelarian, mereka harus
berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran musuh. Nasib para pengungsi
tersebut sangat menderita. Mereka dilanda kelaparan dan terserang berbagai
macam penyakit. Untuk bertahan hidup, setiap kelompok pengungsi mencari tempat
tinggal masing-masing yang dirasa aman. Sekelompok pengungsi dari Kampung Nagur
kemudian menemukan tanah Sahili Misir yang kini dikenal pulau Samosir, yaitu
sebuah pulau yang terletak di tengah-tengah Danau Toba. Di sanalah mereka
menetap dan membuka perladangan untuk bercocok tanam. Setelah sekian lama
menetap di pulau itu, hidup mereka pun mulai tertata.
Bahkan, mereka
telah memiliki anak cucu. Suatu ketika, mereka merasa rindu untuk kembali ke
kampung halaman di Kampung Nagur. Mereka akhirnya mengadakan musyawarah. “Siapa
di antara kalian yang ingin kembali ke Kampung Nagur?” tanya seorang sesepuh
selaku pemimpin musyawarah. Mendengar pertanyaan itu, sebagian dari peserta
enggan untuk kembali ke kampung halaman mereka. “Maaf, Bapak-bapak. Kenapa
kalian tidak mau ikut bersama kami? Apakah kalian tidak rindu pada kampung
halaman?” tanya sesepuh itu kepada mereka. “Maaf, Tuan Sesepuh. Sebenarnya kami
pun sangat rindu pada kampung halaman. Tapi, kami sudah merasa betah dan nyaman
tinggal di pulau ini. Tempat ini sudah seperti kampung halaman sendiri. Lagi
pula, siapa yang akan menjaga hewan ternak dan ladang-ladang jika semuanya ikut
kembali ke kampung halaman?” jawab salah seorang peserta musyawarah. “Benar
Tuan Sesepuh, anak dan cucu kami pun merasa senang tinggal di pulau ini,” imbuh
seorang peserta musyawarah lainnya. “Baiklah, kalau begitu. Bagi yang ingin
tetap tinggal di sini, ku harap kalian tetap merawat baik-baik tempat ini. Bagi
yang ingin pulang ke kampung halaman harap segera mempersiapkan segala
sesuatunya,” ujar sesepuh itu. Para warga yang berkeinginan kembali ke kampung
halaman segera mengadakan persiapan seperlunya. Mereka akhirnya berangkat
menuju Kampung Nagur. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, mereka akhirnya
tiba di Kampung Nagur. Saat tiba kampung halaman, beberapa warga terlihat
menangis. Mereka teringat pada peristiwa yang menimpa kampung mereka dahulu.
Rumah-rumah mereka telah tiada. Hanya tumbuhan semak-belukar dan pepohonan yang
terlihat tumbuh dengan subur. “Sima-sima nalungun,” kata mereka. Sejak itulah
Kampung Nagur berubah nama menjadi Sima-sima Nalungun, yang berarti daerah
sunyi sepi. Lama-kelamaan, orang-orang menyebutnya Simalungun. Hingga saat ini,
kata Simalungun tetap dipakai untuk menyebut nama sebuah Kabupaten di Provinsi
Sumatra Utara.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment