“Unang
Batin”
Cerita
Rakyat Lampung
Di daerah Putih
Doh, Lampung, hiduplah sebuah keluarga sederhana yang terdiri dari ayah, ibu,
dan anak laki-laki mereka yang bernama Unang Batin, yang berarti jiwa atau hati
yang selalu bercahaya. Nama itu merupakan pemberian dari Penyeimbang Adat yang
terkenal cakap dan setia kepada daerahnya. Ayah Unang Batin adalah seorang yang
sangat dalam ilmu agamanya dan mahir bermain silat. Sang Ayah dan Penyeimbang
Adat berharap kelak Unang Batin menjadi seorang hulubalang yang cakap dan
senantiasa siap bertempur untuk membela kebenaran. Oleh karena itu, sejak dini
sang Ayah menempa anak semata wayangnya itu dengan pengetahuan agama dan ilmu
bela diri. Unang Batin adalah anak yang cerdas. Setiap pelajaran yang diberikan
oleh ayahnya dapat dicerna dengan mudah dan cepat. Tak heran, jika pada usia
remaja ia sudah banyak menguasai ilmu agama dan ilmu bela diri yang diberikan
sang ayah kepadanya. Meski demikian, sang ayah merasa belum puas dengan ilmu
yang dimiliki Unang Batin sebagai bekal untuk menjadi seorang hulubalang yang
cakap. “Anakku, semua ilmu yang Ayah miliki telah kamu kuasai. Paling tidak
kamu sudah bisa membela diri dari ancaman bahaya yang datang tiba-tiba. Tapi,
Ayah berharap kamu harus lebih memperdalam ilmumu dan mempelajari ilmu-ilmu
lain yang belum kamu miliki,” ujar ayah Unang Batin. “Apa maksud, Ayah?” tanya
Unang Batin bingung. “Ayah menginginkan kamu pergi merantau untuk memperdalam
ilmumu,” ungkap ayahnya. “Baik, jika itu yang Ayah kehendaki. Unang pun akan merasa
senang dapat menimba ilmu lebih banyak lagi,” kata Unang Batin dengan penuh
semangat. “Tapi ingat, Anakku, selama di perantauan kamu harus selalu
menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih mudah dari
kamu. Begitu pula jika kamu sudah berilmu tinggi, janganlah kamu gunakan untuk
kejahatan, tapi gunakanlah untuk kebaikan!” pesan ayahnya. “Baik, Ayah! Unang
akan selalu mengingat semua petuah Ayah,” kata Unang Batin.
Keesokan
harinya, Unang Batin pun pergi meninggalkan kampung halamannya dengan bekal
secukupnya. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan sampailah ia di daerah
Palembang. Setelah beberapa lama tinggal dan belajar di daerah itu, ia kemudian
melanjutkan perjalanan ke daerah Bengkulu, Pariaman, Aceh hingga ke Malaka
(Malaysia). Berbagai ilmu pengetahuan pun ia kuasai,
seperti ilmu silat, ilmu kebal,
ilmu meringankan tubuh, ilmu dayang (pukulan jarak jauh), ilmu falak, ilmu
penangkal racun dan penangkal teluh (ilmu hitam), dan berbagai ilmu yang
lainnya. Kini, ia benar-benar telah menjadi ksatria yang sakti mandraguna.
Namun, sesuai dengan pesan sang ayah, ia tidak pernah menyombongkan diri dengan
ilmu yang dimilikinya itu. Setelah bertahun-tahun menimba ilmu di perantauan,
Unang Batin tiba-tiba merasa rindu ingin bertemu dengan keluarganya. Akhirnya,
ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Setibanya di Kampung, ia
disambut gembira oleh keluarga dan seluruh warga kampung. Betapa senangnya hati
kedua orang tuanya melihat keberhasilan Unang Batin. Suatu hari, Penyeimbang Putih
Doh Cukuhbalah mengundang seluruh warganya, termasuk Unang Batin, untuk
mengadakan musyawarah di rumahnya. “Dengarlah, wahai seluruh wargaku! Sebentar
lagi lebaran akan tiba. Seperti biasanya, setiap hari kedua setelah lebaran
kampung kita mengadakan pertandingan silat antarkampung. Untuk itu, kita harus
menunjuk ujang baru yang akan mewakili kampung kita dalam pertandingan itu.
Menurut kalian, siapa di antara kalian yang pantas untuk diangkat menjadi ujang
yang baru?” tanya Penyeimbang. Mendengar pertanyaan itu, seluruh peserta rapat
menoleh ke arah Unang Batin. Pemuda yang baru saja datang dari perantauan itu
pun tertunduk malu karena semua pandangan tertuju kepadanya. “Maaf, Tuan! Kalau
menurut saya, di antara kita hanya Unang Batinlah yang pantas menjadi ujang
yang baru. Tentu kita semua tahu kalau dia baru saja pulang dari perantauan
menuntut berbagai ilmu silat dan pengetahuan,” sahut seorang warga. “Bagaimana,
apakah kalian semua setuju dengan usulan itu?” tanya Penyeimbang. “Setuju!”
jawab seluruh peserta rapat dengan serentak. Akhirnya, Unang Batin pun diangkat
menjadi ujang yang baru dengan gelar Mas Motokh. Sejak itu, Unang Batin menjadi
terkenal dan menjadi kebanggaan seluruh warga. Hari yang telah ditunggu-tunggu
pun tiba. Dua hari setelah lebaran, para pendekar dari berbagai daerah telah
berkumpul di halaman rumah Kepala Adat (Lamban Balak). Para penonton pun mulai
memadati pinggir arena pertandingan. Mereka sudah tidak sabar lagi ingin
menyaksikan pertandingan yang seru itu. Demikian pula para peserta, mereka
sudah tidak sabar ingin menunjukkan kehebatan masing-masing. Beberapa peserta
tampak sedang sibuk berlatih sebelum pertandingan dimulai. Sementara itu, Unang
Batin yang kini bergelar Mas Motokh tampak berdiri dengan tenang di sudut arena
pertandingan sambil memperhatikan orang-orang yang sedang berlatih.
Tak berapa lama kemudian, gong pun
berbunyi sebagai tanda pertandingan dimulai. Pertandingan itu berlangsung satu
lawan satu. Siapa yang menang akan ditantang oleh peserta lainnya, dan begitu
seterusnya. Setelah beberapa lama pertandingan itu berlangsung, para peserta
pun gugur satu demi satu. Kini, peserta hanya tersisa Unang Batin dan seorang
lawan yang bernama Marga Pertiwi.
Marga Pertiwi
adalah pemenang pada pertandingan tahun lalu. Ia terkenal memiliki ilmu silat
dan ilmu gaib yang tinggi. Meski demikian, Unang Batin tidak merasa gentar
menghadapinya. Kedua peserta itu berdiri saling berhadapan dan saling menatap
dengan pandangan yang tajam. “Hai, Anak Muda! Keluarkanlah semua kemampuanmu
karena aku sudah tidak sabar lagi ingin menghajarmu!” seru Marga Pertiwi.
“Baiklah, Marga Pertiwi. Majulah kalau berani!” tantang Uang Batin. Tanpa
diduga, tiba-tiba Marga Pertiwi langsung melayangkan sebuah pukulan keras ke
arah wajah Unang Batin. Unang Batin yang sudah bersiap-siap sejak awal dapat
menangkisnya dengan mudah. Marga Pertiwi pun langsung naik pitam karena
pukulannya dapat dipatahkan oleh Unang Batin. Pukulan dan tendangan silih
berganti ia layangkan namun tak satu pun yang mengenai tumbuh Unang Batin.
Karena kesal, akhirnya ia mengeluarkan tenaga dalamnya. Melihat mulut lawannya
sedang berkomat-kamit membaca mantra, Unang Batin pun mundur selangkah dan
segera memasang kuda-kuda sambil berdoa. Begitu Marga Pertiwi menyerangnya, ia
hanya sedikit mengelak seraya melayangkan sebuah pukulan tenaga dalam tepat
mengenai dada Marga Pertiwi. Tak ayal lagi, Marga Pertiwi pun terjungkal ke
tanah hingga tidak bisa lagi melanjutkan pertarungan. Akhirnya, Unang Batin
dinyatakan sebagai pemenang dalam pertandingan tersebut. Seluruh warga Kampung
Putih Doh pun bersorak gembira menyambut kemenangan Unang Batin. “Horeee…
horeee… horeee… Unang Batin menang!” Sementara itu, para pendudung Marga
Pertiwi merasa tidak senang dengan kemenangan Unang Batin. Di wajah mereka
terlihat perasaan dendam yang begitu dalam. Pada malam ketiga setelah
pertandingan tersebut, sebuah cahaya berwarna hijau berputar-putar di atas
rumah Unang Batin. Cahaya itu adalah teluh yang dikirim oleh Marga Pertiwi
untuk mencelekai Unang Batin. Namun, begitu cahaya hijau itu akan masuk ke
dalam rumah melalui atap, tiba-tiba sebuah cahaya berwarna kuning keluar dari
dalam rumah dan menghadangnya. Ternyata, Unang Batin telah mengetahui
kedatangan teluh itu dan segera membaca doa penolak bala sehingga keluarlah
cahaya kuning itu. Kedua cahaya tersebut bertarung dan saling berkejaran di
atas kampung Putih Doh. Sungguh pemandangan yang indah tapi mengerikan. Semua
warga menjadi khawatir atas keselamatan Unang Batin. Untungnya, ilmu penangkal
Unang Batin dapat mengalahkan ilmu teluh Marga Pertiwi. Meskipun para warga
memuji kesaktiannya, Unang Batin tetap saja selalu rendah diri. “Ah, semua itu
terjadi berkat pertolongan Yang Mahakuasa. Apalah artinya saya ini kalau
pertolongan itu tidak ada,” kata Unang Batin setiap ada orang yang memujinya. Sementara
itu di tempat lain, Marga Pertiwi dan para pengikutnya sedang merencanakan
sesuatu untuk mencelakai Unang Batin. Mereka akan mengadakan pesta pada malam
hari dan mengundang Unang Batin. Pada saat pesta itu berlangsung, Unang Batin
pun hadir. Tanpa disadarinya, sejumlah pengikut Marga Pertiwi secara diam-diam
merusak tangga dan tiang-tiang rumahnya di Kampung Putih Doh.
Unang Batin
adalah orang yang pulang paling akhir dari pesat itu. Ketika akan naik ke
rumahnya, tangga yang diinjaknya patah sehingga ia pun jatuh terjungkal ke
tanah. Begitu ia akan bangkit, tiba-tiba datanglah sepuluh orang anak buah
Marga Pertiwi mengepungnya dengan pedang terhunus. Unang Batin benar-benar
tidak berdaya dan tidak lagi mampu mengadakan perlawanan. Sebelum nyawanya
dihabisi, Unang Batin berpesan kepada musuh-musuhnya. “Kalau aku mati, maka
dalam tempo empat puluh hari kalian juga akan mati. Tidak hanya kalian, tapi
seluruh keluarga kalian tidak akan ada yang selamat,” ucap Unang Batin. Para
musuhnya tidak menghiraukan ucapan Unang tersebut. Mereka pun menghabisi nyawa
Unang Batin dan kemudian membuang mayatnya ke laut. Kejadian itu terjadi cepat
sekali sehingga tak ada seorang pun warga yang mengetahuinya. Sebelum genap empat
hari meninggalnya Unang Batin, para pembunuhnya, termasuk Marga Pertiwi,
mengakui kekhilafan mereka di depan seluruh warga Kampung Putih Doh. Setelah
itu, mereka mengakhiri hidup mereka dengan cara bunuh diri. Bahkan, sebelum
kejadian itu, mereka juga telah menghabisi nyawa seluruh keturunan mereka.
Menurut cerita, Unang Batin berpesan demikian kepada musuh-musuhnya karena ia
memiliki ilmu sakti, yaitu bahwa siapa pun orang yang membunuhnya maka
orang-orang tersebut juga akan mati bersama dengan para keturunan mereka
sebelum genap empat puluh hari meninggalnya Unang Batin. Rupanya, para musuhnya
tidak memahami maksud pesan Unang Batin, dan bahkan mereka meremehkannya.
Akibatnya, mereka pun terkena kutukan ilmu itu.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment