“Asal Mula Selat Nasi Di Pulau Subi”
Cerita Rakyat Kepulauan Riau
Di daerah
Natuna, Kepulauan Riau, terdapat sebuah pulau bernama Pulau Subi yang dikuasai
oleh seorang Datuk Kaya. Sang Datuk Kaya mempunyai seorang istri bernama Cik
Wan dan seorang putri yang cantik nan rupawan bernama Nilam Sari. Ia seorang
gadis yang rajin, berbudi pekerti luhur, dan tidak angkuh. Setiap hari ia duduk
menekat (membordir), menyulam, dan merenda benang sutra. Ia juga pandai memasak
dan membuat kueh-mueh. Dalam pergaulan sehari-hari, ia juga tidak membedakan
antara si kaya dan si miskin untuk dijadikan sebagai teman. Tak heran jika
orang-orang di sekitarnya sangat kagum dan memuji perangainya. Kapan dan di
manapun orang berkumpul, pasti mereka membicarakan dirinya. Pada suatu hari,
sekelompok pedagang dari Palembang singgah di Pulau Subi. Secara tidak sengaja
mereka mendengar percakapan orang-orang kampung di pulau itu tentang kecantikan
dan keelokan perangai Nilam Sari. Kemudian dari mulut ke mulut, cerita itu pun
tersebar di kalangan masyarakat Palembang, dan akhirnya sampai pula ke telinga
Permaisuri Raja Palembang. Mendengar cerita itu, Permaisuri pun bercita-cita
ingin menjadikan Nilam Sari sebagai anak menantunya. Pada suatu malam,
Permaisuri pun menyampaikan niat tersebut kepada putranya, Pangeran Demang Aji
Jaya, dengan ungkapan berikut: “Demang Aji, anakku semata wayang kini dirimu
telah besar panjang umpama burung telah dapat terbang umpama kayu sudah
berbatang umpama ulat telah mengenal daun umpama serai sudah berumpun [1]
selesai menuntut ilmu ke sana kemari ke Malaka sudah, ke Jawa pun sudah ke
Negeri Cina telah menamatkan pelajaran bersilat tembung ke negeri Hay Lam
belajar kontao [3] ke Pathani Negeri Siam selesai mengaji menikah saja yang
belum” Mendengar ungkapan sang Bunda, Pangeran Demang Aji Jaya terdiam sejenak.
Ia berusaha untuk memahami maksud dari
ungkapan Bundanya, tapi ia tetap tidak mengerti. “Maafkan Nanda, Bunda! Nanda
tidak benar-benar mengerti maksud Bunda,” ucap Pangeran Demang Aji Jaya. Sambil
tersenyum, Permaisuri kembali bertutur untuk menyampaikan harapannya kepada
putranya dengan ungkapan yang lebih jelas seperti berikut ini: “niat Bunda
tersemat sudah di hati di Negeri Palembang sedia ada kumbang jati di Pulau Subi
sedang mekar sekuntum bunga bersari wangi setinggi Mahameru harapan Bunda
hendak mengantar tepak puan (tepak sirih) berikut pula emas-perak intan-berlian
ke Pulau Subi mengirim utusan menjunjung titah dan salam nahkoda perpengalaman
di laut dalam penumpangnya segala cerdik pandai ahli waris yang menyampaikan
hajat hati sirih-pinangan diunjukkan kepada Nilam Sari” “Baiklah, Bunda!
Sekarang Nanda dapat mengerti maksud dan keinginan Bunda. Jika itu sudah
menjadi keinginan Bunda, Nanda bersedia untuk menikah dengan Putri Nilam Sari,”
kata Pangeran Demang Aji Jaya. Alangkah senang hati sang Bunda mendengar
pernyataan putranya. Ia pun segera menyampaikan kabar gembira itu kepada sang
Raja. Sang Raja pun setuju dan segera menyebarkan berita tentang pernikahan
putranya dengan Nilam Sari kepada seluruh keluarga istana dan rakyat Negeri
Palembang. Keesokan harinya, seluruh keluarga istana sibuk mempersiapkan segala
hantaran dan hadiah-hadiah, seperti tepak sirih, emas-perak, dan intan berlian
untuk diserahkan kepada keluarga Nilam Sari. Sang Raja kemudian menunjuk
beberapa orang cerdik pandai untuk menyampaikan hajat hati (lamaran) dan
beberapa orang nahkoda perpengalaman untuk menahkodai kapal menuju Pulau Subi.
Setelah
semuanya siap, para utusan Raja Palembang berangkat menuju ke Pulau Subi untuk
menyampaikan lamaran Pangeran Demang Aji Jaya kepada Putri Nilam Sari.
Sesampainya di Pulau Subi, utusan Raja Palembang yang diwakili seorang juru
cakap mengungkapkan maksud kedatangan mereka dengan untaian pantun berikut
ini:[4] Cantik memanjat pohon ara Nampaknya cantik berseri laman Besar hajat
kami tidak terkira Hendak memetik bunga di taman Rumah besar alangnya besar
Rumah Datuk Perdana Menteri Kalau tidak hajat yang besar Kami tidak sampai
datang kemari Dari paya turun ke lembah Petik pinang dipilih-pilih Saya sudah
mohonkan sembah Adat meminang bertepak sirih Untaian pantun yang berisi lamaran
tersebut kemudian dibalas oleh keluarga Datuk Kaya Pulau Subi dengan untaian
pantun pula: Yang datang berulang-alik Yang pergi terbayang-bayang Yang bulat
datang menggolek Yang pipih datang melayang Kalau bukit gunakan galah Cepat
tuan tiba ke pantai Kalau sudah kehendak Allah Niat terkabul hajat pun sampai.
Pinangan Putra
Raja Palembang, Pangeran Demang Aji Jaya, diterima oleh pihak keluarga Datuk
Kaya Pulau Subi. Juru cakap Raja Palembang pun segera melantunkan pantun untuk
mengungkapkan rasa suka cita dan ungkapan terima kasih atas diterimanya
pinangan mereka sambil menengadahkan kedua tangannya sebagai penghormatan.
Berkokok ayam di pagi hari Putus kali dari tambatan Datuk sudah menerima tadi
Kecil tapak tangan saya tadahkan Setelah peminangan selesai, kedua belah pihak
kemudian menentukan hari perkawinan kedua calon mempelai pengantin. Melalui
musyawarah mufakat, mereka pun memutuskan hari perkawinan sekaligus naik ke
pelaminan jatuh pada hari kesepuluh bulan Syafar. Sebelum kembali ke negerinya,
para utusan Raja Palembang dipersilahkan untuk menikmati berbagai jamuan
makanan yang telah dihidangkan. Kemudian pihak keluarga Datuk Kaya memberikan
hadiah kepada mereka untuk dibawa pulang ke Negeri Palembang. Setelah itu, para
utusan pun mohon diri kepada keluarga Datuk Kaya Pulau Subi. “Izinkanlah kami
untuk memohon diri. Segala kata dan tingkah yang tidak berkenan mohon
dimaafkan. Kami berjanji, pada hari sepuluh bulan Syafar, arak-arakan pengantin
dari Palembang akan tiba di Pulau Subi ini,” janji para utusan Raja Palembang.
“Baiklah. Kami tunggu kedatangan kalian. Kami harap tidak akan ada selisih hari
dan bulan,” sahut Datuk Kaya Pulau Subi seraya berjabat tangan sebagai tanda
berteguh janji. Setelah itu, para utusan Raja Palembang kembali ke negeri
mereka untuk menyampaikan berita gembira tersebut kepada raja mereka. Sang Raja
Palembang dan permaisuri pun menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Waktu
berjalan begitu cepat. Sepekan lagi hari kesepuluh bulan Syafar akan tiba. Para
penduduk Pulau Subi mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan
penyambutan rombongan mempelai laki-laki dari Negeri Palembang. Ada yang sibuk
membelah kayu api, dan ada pula yang menegakkan selasar (rumah sambung). Pada
hari ketujuh bulan Syafar, berpuluh-puluh ekor lembu dan kambing, serta
beratus-ratus ekor ayam dan itik disembelih. Pada hari kedelapan dan kesembilan
bulan Syafar, kaum perempuan, tua dan muda sibuk memasak dan mengukus kue,
serta menggulai dan merendang daging untuk lauk-pauk. Pemangku adat Pulau Subi
pun sibuk memasang tabir dan menggantung tirai seri balai pelaminan.
Memasuki hari
kesepuluh bulan Syafar, segala keperluan penyambutan rombongan pengantin
laki-laki telah siap. Nasi berdandang-dandang dan lauk-pauk berdulang-dulang
sudah terhidang. Nilam Sari pun telah dirias dengan busana yang sangat indah
dan menawan. Ia mengenakan baju kurung bertepih sutra bercorak lintang tenunan
Siantang, bertudung manto (tudung kepala pengantin perempuan) kain mastuli
Daik-Lingga. Ikatan pending (hiasan emas tali pinggang perempuan) melilit di
pingggang.
Dukuh tiga
rengkat terkalung di leher Nilam Sari hingga menutup dadanya, layaknya putri
datuk-datuk bermahar maskawin (nilai adat) seratus dua puluh real. Dengan
mengenakan busana itu, Putri Nilam Sari tampak semakin cantik dan anggun. Ia
tidak sabar lagi menanti kedatangan sang Pangeran tampan dari Negeri Palembang.
Demikian pula keluarga Datuk Kaya serta para tamu undangan yang sudah memenuhi
ruang selasar. Namun, hingga hari menjelang siang, rombongan pengantin
laki-laki belum juga datang. Datuk Kaya pun mulai gelisah. Ia berjalan
mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah mulai memutih.
Sementara istrinya, Cik Wan, berusaha menenangkan hatinya. “Tenanglah, Bang!
Sebentar lagi juga mereka datang,” bujuk Cik Wan. Datuk Kaya pun berusaha untuk
bersabar dan bersikap tenang. Hingga hari menjelang malam, rombongan pengantin
dari Negeri Palembang tidak juga kunjung datang. Datuk Kaya semakin gelisah dan
kesabarannya pun mulai goyah. “Mereka benar-benar keterlaluan! Mereka telah
mengingkari janji,” ucap Datuk Kaya dengan nada kesal. “Sabar, Bang! Barangkali
mereka sedang mengalami halangan di perjalanan,” Cik Wan kembali menenangkan
hati suaminya. Datuk Kaya dan seluruh penduduk Pulau Subi terus menunggu hingga
hari kesebelas dan keduabelas. Namun, rombongan pengantin dari Negeri Palembang
bulan juga tiba. Barulah pada hari ketigabelas bulan Syafar arak-arakan
pengantin laki-laki Negeri Palembang tiba di Pulau Subi. Tanpa menunggu lagi,
kedua mempelai segera dinikahkan dan didudukan bersanding di atas pelaminan.
Melihat tamu rombongan yang datang, istri Datuk Kaya mulai bingung bagaimana
menjamu mereka. Nasi yang berdandang-dandang dan lauk-pauk berdulang-dulang
semuanya sudah basi. “Bang! Semua persediaan jamuan makanan sudah basi dan
tidak layak lagi untuk dihidangkan kepada tamu kita. Apakah sebaiknya kita
mengganti hidangan yang yang sudah basi itu dengan nasi dan lauk pauk yang
baru?” usul Cik Wan kepada suaminya. ‘Tidak, Istriku! Biar orang Palembang itu
tahu diri. Mereka telah ingkar janji. Ikrar kita pada hari kesepuluh bulan
Syafar tidak mereka tepati. Pantas kalau kita hidangkan nasi dan lauk pauk basi
kepada mereka,” pungkas Datuk Kaya. “Tapi, Bang! Apa sebaiknya kita tanyakan
dahulu, barangkali mereka terserang badai di perjalanan,” pinta Cik Wan. Ternyata
memang benar, rombongan pengantin laki-laki dari Negeri Palembang tersebut
dilanda badai di tengah laut, sehingga mereka harus singgah di teluk Pulau
Kiabu untuk berlindung dari amukan badai yang sangat dahsyat. Hal ini dikatakan
oleh Pangeran Demang Aji Jaya kepada Nilam Sari di saat mereka
sedang duduk bersanding di atas
pelaminan. Namun, kabar itu tidak sempat terdengar oleh Datuk Kaya.
Lagi pula, Datuk Kaya memang tidak mau tahu
masalah itu. Melihat sikap suaminya itu, Cik Wan terus membujuknya agar
hidangan jamuan makan untuk para tamu dari Negeri Palembang tersebut diganti
dengan makanan yang baru. “Bang! Sebaiknya hidangan kita ganti dengan yang
baru. Kita akan malu jika kita menghindangkan makanan basi buat mereka. Jika
Abang tidak mengindahkan permintaan Adik, gugurkan Adik ke talak satu!” pinta
Cik Wan. Datuk Kaya tetap tidak mengindahkan permintaan Cik Wan. Bahkan, ia segera
mempersilahkan kepada para tamu dari Negeri Palembang untuk mencicipi makanan
basi tersebut. “Cicipilah apa adanya yang tersedia!” seru Datuk Kaya kepada
para tamunya. Cik Wan pun semakin kesal dengan sikap suaminya itu. “Bang!
Berarti gugur talak satu buat Adik!” teriak Cik Wan. “Hai, Cik Wan! Bukan hanya
talak satu yang gugur, tapi talak tiga kujatuhkan kepadamu!” teriak Datuk Kaya
sambil menghambur-hamburkan nasi basi tersebut sehingga membentuk garis
memanjang seakan membelah Pulau Subi menjadi dua bagian. “Kita bercerai
berbatas nasi basi ini, Cik Wan!” pungkas Datuk Kaya. Beberapa saat setelah
Datuk Kaya menghamburkan nasi basi tersebut, tiba-tiba kilat menyambar-nyambar
disertai angin kencang dan hujan deras. Air laut pun bergulung-gulung setinggi
gunung menghantam Pulau Subi. Pulau Subi pun terbelah menjadi dua bagian, satu
di sebelah utara dan satu lagi di bagian selatan. Pulau Subi Kecil (di sebelah
utara) milik Cik Wan, sedangkan Pulau Subi Besar (di sebelah selatan) menjadi
milik Datuk Kaya. Pulau Subi itu terbelah oleh sebuah selat yang memanjang
lurus dari timur ke barat. Oleh masyarakat setempat, selat itu diberi nama
Selat Nasi, karena keberadaannya disebabkan oleh hamburan nasi Datuk Kaya Pulau
Subi.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment