“Sangkuriang”
Cerita
Rakyat Jawa Barat
Di daerah Jawa
Barat, ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Sungging Perbangkara. Ia
sangat gemar berburu binatang di hutan. Suatu hari, seusai berburu, Prabu
Sungging membuang air kecil (pipis) pada daun caring (keladi hutan). Saat ia
meninggalkan tempatnya buang air kecil, tiba-tiba seekor babi yang bernama
Wayungyang datang meminum air seninya yang tergenang di daun keladi itu.
Rupanya air seni Prabu Sungging mengandung sperma sehingga menyebabkan
Wayungyang hamil. Beberapa bulan kemudian, Wayungyang pun melahirkan seorang
bayi perempuan yang cantik jelita. Setelah membersihkan tubuh bayi itu dengan
menjilatnya, Wayungyang meletakkannya di atas batu besar di balik semak-semak,
dengan harapan ayahnya (Prabu Sungging) akan menemukannya. Ternyata harapan
Wayungyang tercapai. Tak berapa lama setelah ia meninggalkan bayi itu, Prabu
Sungging lewat di tempat itu dan mendengar ada suara tangisan bayi dari arah
semak-semak. Dengan hati-hati, Prabu Sungging berjalan perlahan-lahan mendekati
sumber suara itu dan mendapati seorang bayi perempuan mungil dan berparas
cantik tergeletak di atas sebuah batu besar. Tanpa berpikir panjang, ia pun
membawa pulang bayi itu ke istana. Sang Prabu memberinya nama Dayang Sumbi. Ia
merawat dan membesarkan Dayang Sumbi dengan penuh kasih sayang. Waktu terus
berjalan. Dayang Sumbi tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Selain cantik,
ia juga sangat mahir menenun dan pandai memasak. Tak heran jika para raja dan
pangeran silih berganti datang melamarnya. Namun, tak satu pun lamaran yang
diterimanya. Ia tidak ingin terjadi pertumpahan darah di antara para raja dan
pangeran tersebut dengan hanya menerima salah satu pinangan dari mereka.
Akhirnya, dengan restu sang Prabu, Dayang Sumbi mengasingkan diri ke sebuah
hutan lebat yang terletak jauh dari istana. Sang Prabu membuatkannya sebuah
pondok di pinggir hutan dan menyiapkan alat-alat tenun kesukaannnya. Di pondok
itulah, Dayang Sumbi menghabiskan waktunya sambil menenun kain. Pada suatu
malam, ketika Dayang Sumbi sedang menenun kain, tiba-tiba segulungan benangnya
terjatuh dan berguling ke luar pondoknya. Karena malam sudah larut, ia merasa
takut untuk mengambil gulungan kain itu. Tanpa disadarinya tiba-tiba terlontar
ucapan dari mulutnya. “Siapapun yang mau mengambilkan benang itu untukku, jika
dia perempuan akan kujadikan saudara, dan jika dia laki-laki akan kujadikan
suamiku,” ucapnya.
Tanpa diduga
sebelumnya, tiba-tiba seekor anjing jantan berwarna hitam datang menghampirinya
sambil membawa gulungan benang miliknya. Namun, apa hendak dikata, ia sudah
terlanjur berucap. Ia harus menepati janjinya. “Baiklah, Anjing. Aku akan
mempertanggung jawabkan ucapanku. Meskipun kamu seekor anjing, aku tetap
bersedia menjadi istrimu,” kata Dayang Sumbi. Mendengar perkataan Dayang Sumbi,
anjing hitam itu tiba-tiba menjelma menjadi seorang pemuda yang sangat tampan.
Dayang Sumbi sangat terkejut dan heran menyaksikan kejadian itu. “Hei, kamu
siapa dan dari mana asal-asulmu?” tanya Dayang Sumbi penasaran. “Maaf, Tuan
Putri! Saya adalah titisan Dewa,” jawab pemuda itu. Akhirnya, Dayang Sumbi dan
pemuda tampan itu saling jatuh dan menikah. Keduanya bersepakat untuk
merahasiakan hubungan mereka kepada siapa pun, termasuk kepada Prabu Sungging
Perbangkara. Sejak saat itu, ke mana pun Dayang Sumbi pergi, ia selalu ditemani
oleh suaminya. Dayang Sumbi memanggilnya dengan si Tumang. Setelah setahun
menikah, mereka pun dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan. Mereka
memberinya nama Sangkuriang. Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang tumbuh
menjadi anak yang rajin dan pandai. Setiap hari, ia ditemani si Tumang pergi ke
hutan untuk berburu rusa dan mencari ikan di sungai. Namun, ia tidak menyadari
bahwa anjing yang selalu menenaminya itu adalah ayah kandungnya sendiri. Pada suatu
hari, Sangkuriang pergi berburu rusa ke tengah hutan. Hari itu, ia sangat
berharap bisa mendapatkan hati seekor rusa untuk dipersembahkan kepada ibunya.
Sudah hampir seharian ia berburu, namun tak seekor binatang buruan pun yang
menampakkan diri. Sangkuriang pun mulai kesal dan memutuskan untuk berhenti
berburu. Ketika akan pulang ke pondoknya, tiba-tiba seekor rusa berlari
melintas di depannya. Ia pun segera memerintahkan si Tumang untuk mengejarnya.
“Tumang! Ayo kejar rusa itu!” seru Sangkuriang. Beberapa kali Sangkuriang
berteriak menyuruhnya, namun si Tumang tetap tidak beranjak dari tempatnya. Ia
pun semakin kesal melihat kelakuan si Tumang. “Hei, Tumang! Apa yang terjadi
denganmu? Kenapa kamu tidak mau menuruti perintahku?” bentak Sangkuriang sambil
mengancam si Tumang dengan panahnya. Tanpa disadarinya, tiba-tiba anak panahnya
terlepas dari busurnya dan tepat mengenai kepala si Tumang. Anjing itu pun
tewas seketika. Sangkuriang kemudian mengambil hati si Tumang untuk
dipersembahkan kepada ibunya. Sesampainya di pondok, ia menyerahkan hati itu
kepada ibunya untuk dimasak. Setelah menyantap hati itu, tiba-tiba Dayang Sumbi
teringat pada si Tumang. Ia pun menanyakan keberadaan si Tumang.
“Mana si Tumang?
Bukankah tadi dia pergi bersamamu?” tanya Dayang Sumbi dengan cemas. “Maaf, Bu!
Saya telah membunuhnya. Hati yang ibu makan itu adalah hati si Tumang,” jawab
Sangkuriang dengan tenang, tanpa merasa bersalah sedikit pun. Seketika itu pula
Dayang Sumbi menjadi murka. Ia sangat marah karena Sangkuriang telah membunuh
ayah kandungnya sendiri. “Apa katamu? Kamu telah membunuhnya? Dasar anak tidak
tahu diri!” seru Dayang Sumbi seraya memukul kepala Sangkuriang dengan sendok
nasi hingga berdarah dan meninggalkan bekas. Sambil menangis tersedu-sedu,
Sangkuriang berusaha untuk membela diri. Ia merasa bahwa dirinya tidak
bersalah. Ia melakukan semua itu tidak lain hanya untuk menyenangkan hati
ibunya. Akan tetapi, Dayang Sumbi menganggap dia telah melakukan kesalahan
besar, karena membunuh ayah kandungnya sendiri. Namun, Dayang Sumbi tidak mau
menceritakan hal itu kepada Sangkuriang, karena takut rahasianya terbongkar.
Merasa ibunya tidak lagi sayang kepadanya, Sangkuriang pun pergi mengembara
dengan menyusuri hutan belantara. Sejak itu, Dayang Sumbi selalu duduk termenung.
Ia merasa sangat menyesal telah memukul dan membiarkan putranya pergi
meninggalkannya. Setiap malam ia berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa agar ia
dapat bertemu kembali dengan putranya. Berkat ketekunannya, Tuhan pun
mengambulkan doanya. Tuhan memberinya kecantikan yang abadi agar wajahnya tidak
berubah termakan oleh usia, sehingga putranya masih dapat mengenalinya.
Sementara itu di di tengah hutan belantara, Sangkuriang berjalan sempoyongan
sambil memegang kepalanya yang terluka. Karena tidak kuat lagi menahan rasa
sakit, akhirnya ia jatuh pingsan. Cukup lama ia tidak sadarkan diri. Betapa
terkejutnya ketika ia tersadar. Ia melihat seorang tua laki-laki yang tidak
pernah ia lihat sebelumnya sedang duduk di sampingnya. “Kakek siapa? Aku ada di
mana?” tanya Sangkuriang heran. “Tenanglah, Anak Muda! Kakek adalah seorang
pertapa. Nama Kakek Ki Ageng. Kakek menemukanmu sedang pingsan dan terluka
parah di tengah hutan. Kamu sekarang berada di dalam gua tempat Kakek bertapa,”
jawab orang tua itu. Kemudian Ki Ageng menanyakan tentang asal-usul
Sangkuriang. Namun, Sangkuriang tidak bisa lagi mengingat masa lalunya. Bahkan
namanya sendiri pun ia lupa. Akhirnya, Ki Ageng memanggilnya Jaka. Ki Ageng
merawat Jaka sampai lukanya sembuh dan mengajarinya ilmu bela diri dan
kesaktian. Setelah beberapa tahun berguru kepada Ki Ageng, Sangkuriang pun
tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan sakti mandraguna. Dengan kesaktiannya, ia
dapat memanggil serta memerintahkan makhluk-makhluk halus. Pada suatu hari,
Jaka meminta izin kepada gurunya untuk pergi mencari tahu masa lalunya. Setelah
mendapat restu dari Ki Ageng, berangkatlah ia menyurusi hutan. Ia berjalan
mengikuti ke mana pun kakinya melangkah hingga akhirnya menemukan sebuah gubuk
di tepi hutan. Karena merasa sangat haus, ia pun mampir di pondok itu untuk
meminta air minum. Rupanya, penghuni pondok itu adalah seorang wanita cantik
jelita yang tidak lain adalah Dayang Sumbi. Saat pertama kali melihat wajah
wanita itu, Jaka tiba-tiba teringat kepada ibunya. Namun, ia tidak yakin kalau
wanita itu adalah ibunya, karena sudah sekian lama mereka berpisah dan tentu
wajahnya tidak akan secantik itu. Begitupula Dayang Sumbi, ia tidak pernah
mengira kalau Jaka itu adalah putranya. Akhirnya, keduanya pun saling jatuh
cinta dan bersepakat untuk menikah. Keesokan harinya, saat akan berangkat
berburu ke hutan, Jaka meminta calon istrinya untuk mengencangkan dan merapikan
ikat kepalanya. Betapa terkejutnya Dayang Sumbi ketika sedang merapikan ikat
kepala Jaka. Ia melihat ada bekas luka di kepala Jaka. Bekas luka itu mirip
dengan bekas luka yang ada di kepala putranya yang terkena pukulannya dua puluh
tahun yang lalu. Dayang Sumbi pun menanyakan tentang penyebab bekas luka itu
kepada Jaka. “Kenapa ada bekas luka di kepalamu, Jaka?” tanya Dayang Sumbi.
Jaka tidak bisa mengingat penyebab bekas luka
yang ada di kepalanya. Ia hanya menceritakan kepada Dayang Sumbi bahwa ada
seorang pertapa menemukan dirinya sedang pingsan dan terluka parah di tengah
hutan. Mendengar cerita itu, maka yakinlah Dayang Sumbi bahwa calon suaminya
itu adalah putranya sendiri, Sangkuriang. Dayang Sumbi pun bingung. Ia tidak
mungkin menikah dengan putranya sendiri. Ia berusaha untuk meyakinkan
Sangkuriang bahwa dia adalah putranya. Untuk itu, ia meminta kepada putranya
agar membatalkan pernikahan mereka. Namun, Sangkuriang tidak percaya pada
kata-kata ibunya. Hatinya sudah terbelenggu oleh rasa cinta dan bersikeras
ingin menikahi Dayang Sumbi. Melihat sikap putranya itu, Dayang Sumbi semakin
bingung dan ketakutan. Setiap hari ia berpikir untuk mencari cara agar
pernikahan mereka dibatalkan. Setelah berpikir keras, akhirnya ia pun menemukan
sebuah cara. Ia akan mengajukan dua syarat kepada Sangkuriang. Jika kedua
syarat tersebut dapat dipenuhi oleh Sangkuriang, maka ia akan menikah
dengannya. Sebaliknya, jika Sangkuriang gagal, maka pernikahan mereka pun
dibatalkan. Suatu malam, Dayang Sumbi menyampaikan kedua syarat itu kepada
Sangkuriang. “Jika kamu bersikeras ingin menikahiku, kamu harus memenuhi dua
syarat,” kata Dayang Sumbi. “Apakah syaratmu itu, Dayang Sumbi? Katakanlah!”
desak Sangkuriang. “Kamu harus membuatkan aku sebuah danau dan sebuah perahu.
Tapi, danau dan perahu itu harus selesai sebelum fajar menyingsing di ufuk
timur,” jawab Dayang Sumbi. “Baiklah, Dayang Sumbi! Saya menyanggupi semua
syaratmu,” jawab Sangkuriang dengan penuh keyakinan.
Dengan kekuatan
cinta dan kesaktiannya, Sangkuriang pun segera memanggil dan mengerahkan
seluruh pasukannya yang berupa makhluk-makhluk halus untuk membantu
menyelesaikan tugasnya. Setelah pasukannya siap, mereka pun menggali tanah dan
menyusun batu-batu besar untuk membendung aliran air Sungai Citarum sehingga
membentuk sebuah danau. Kemudian mereka menebang kayu-kayu besar untuk dibuat
perahu. Saat tengah malam, Dayang Sumbi secara diam-diam mengintai pekerjaan
Sangkuriang dan pasukannya. Betapa terkejutnya ia ketika melihat mereka hampir
menyelesaikan semua permintaannya. Dayang Sumbi pun gusar. Ia segera berlari ke
desa terdekat untuk meminta bantuan kepada masyarakat agar menggelar kain sutra
berwarna merah di arah sebelah timur tempat Sangkuriang dan pasukannya bekerja.
Tak berapa lama setelah kain sutra hasil tenunan Dayang Sumbi digelar,
tampaklah cahaya berwarna kemerahan di arah timur sehingga seolah-olah hari
sudah pagi. Ayam jantan pun mulai berkokok saling bersahut-sahutan. Para
makhlus halus yang melihat cahaya merah dan mendengar suara ayam berkokok
mengira hari sudah pagi. Mereka pun segera melarikan diri dan meninggalkan
perahu yang hampir selesai. Saat mengetahui dirinya diperdaya oleh Dayang
Sumbi, Sangkuriang menjadi murka. Dengan kesaktiannya, ia menjembol bendungan
yang sudah dibuat bersama pasukannya, sehingga terjadilah banjir besar.
Kemudian ia menendang perahu yang hampir selesai hingga terbang melayang dan
jatuh menelungkup. Konon, perahu itu kemudian menjelma menjadi sebuah gunung
yang kini dikenal dengan nama Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban perahu dalam
bahasa Sunda berarti perahu yang terbalik. Setelah peristiwa itu, Dayang Sumbi
melarikan diri ke arah Gunung Putri. Setibanya di Gunung Putri, ia tiba-tiba
menghilang dan berubah menjadi setangkai bunga jaksi. Sementara Sangkuriang
yang mengejarnya kehilangan jejak dan akhirnya sampai di sebuah tempat yang
disebut dengan Ujung Berung dan menghilang ke alam gaib.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment