“Ki
Ageng Pandanaran”
Cerita
Rakyat Jawa Tengah
Sekitar abad
ke-16 M., hiduplah seorang bupati yang bernama Pangeran Mangkubumi yang
memerintah di daerah Semarang. Ia adalah putra dari Bupati Pertama Semarang
Harya Madya Pandan. Sepeninggal ayahandanya, Pangeran Mangkubumi menggantikan
kedudukan sang ayah sebagai Bupati Kedua Semarang dengan gelar Ki Ageng
Pandanaran. Ia diangkat menjadi kepala pemerintahan Semarang pada tanggal 2 Mei
1547 M. atas hasil perundingan antara Sutan Hadiwijaya (penasehat Istana Demak)
dengan Sunan Kalijaga. Sebagai kepala pemerintahan, Ki Ageng Pandanaran
melanjutkan usaha yang telah dirintis oleh sang ayah. Di sela-sela kesibukannya
mengurus tugas-tugas pemerintahan, ia juga giat mengembangkan kegiatan-kegiatan
keagamaan untuk membina rakyatnya. Kegiatan tersebut di antaranya mengadakan
pengajian secara rutin, menyampaikan ceramah-ceramah melalui khotbah Jumat,
serta mengembangkan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah. Dengan
demikian, ia dianggap telah berhasil menjalankan tugas-tugas pemerintahan
dengan baik dan patuh kepada ajaran-ajaran Islam seperti mendiang ayahnya,
sehingga rakyatnya pun hidup makmur dan damai. Namun, sifat manusia dapat saja
berubah setiap saat. Demikian pula Ki Ageng Pandanaran sebagai seorang manusia.
Keberhasilan yang telah dicapai membuatnya lupa diri. Sifatnya yang dulu baik
tiba-tiba berubah menjadi congkak, sombong, dan kikir. Ia senang mengumpulkan
harta untuk kemewahan. Kehidupan mewah itu pun membuatnya lalai terhadap
tugas-tugasnya, baik sebagai kepala pemerintahan maupun pengembang agama Islam.
Ia tidak pernah lagi memberikan pengajian dan ceramah kepada rakyatnya.
Demikian pula, ia tidak pernah merawat pondok pesantren dan tempat-tempat
ibadah. Mengetahui sikap dan perilaku Ki Ageng Pandanaran tersebut, Sunan
Kalijaga segera memperingatkannya dengan cara menyamar sebagai penjual rumput.
Dengan kecerdikannya, sang sunan menyisipkan nasehat-nasehat kepada sang bupati
pada saat menawarkan rumputnya.
Suatu hari,
datanglah Sunan Kalijaga ke kediaman Ki Ageng Pandanaran dengan mengenakan
pakaian compang-camping layaknya seorang tukang rumput. Di sela-sela menawarkan
rumputnya, sang sunan menasehati Ki Ageng Pandanaran agar tidak terbius oleh
kemewahan dunia. “Maaf, Tuan! Sebaiknya Tuan segera kembali ke jalan yang benar
dan diridhoi Allah SWT!” ujar Sunan Kalijaga yang menyamar sebagai penjual
rumput. “Hai, tukang rumput! Apa maksudmu menyuruhku kembali ke jalan yang
benar? Memang kamu siapa, sudah berani menceramahiku?” tanya Ki Ageng
Pandanaran dengan nada menggertak. “Maaf, Tuan! Saya hanyalah penjual rumput
yang miskin. Hamba melihat Tuan sudah terlalu jauh terlena dalam kebahagiaan
dunia. Saya hanya ingin memperingatkan Tuan agar tidak melupakan kebahagiaan
akhirat. Sebab, kebahagiaan yang abadi adalah kebahagiaan akhirat,” ujar si
penjual rumput. Mendengar nasehat itu, Ki Ageng Pandanaran bukannya sadar,
melainkan marah dan mengusir si penjual rumput itu. Meski demikian, si penjual
rumput tidak bosan-bosannya selalu datang menasehatinya. Namun, setiap kali
dinasehati, Ki Ageng Pandanaran tetap saja tidak menghiraukan nasehat itu.
Khawatir perilaku penguasa daerah Semarang itu semakin menjadi-jadi, Sunan
Kalijaga menunjukkan kesaktiannya. “Wahai Bupati yang angkuh dan sombong!
Ketahuilah, harta yang kamu miliki tidak ada artinya dibandingkan dengan harta
yang aku miliki,” kata penjual rumput itu. “Hai, tukang rumput! Kamu jangan
mengada-ada! Buktikan kepadaku jika kamu memang orang kaya!” seru Ki Ageng
Pandanaran. Akhirnya, Sunan Kalijaga menunjukkan kesaktiannya dengan mencangkul
sebidang tanah. Setiap bongkahan tanah yang dicangkulnya berubah menjadi emas.
Ki Ageng Pandanaran sungguh heran menyaksikan kesaktian penjual rumput itu.
Dalam hatinya berkata bahwa penjual rumput itu bukanlah orang sembarangan.
”Hai, penjual rumput! Siapa kamu sebenarnya?” tanya Ki Ageng Pandanaran
penasaran bercampur rasa cemas. Akhirnya, penjual rumput itu menghapus
penyamarannya. Betapa terkejutnya Ki Ageng Ki Ageng Pandanaran ketika
mengetahui bahwa orang yang di hadapannya adalah Sunan Kalijaga. Ia pun segera
bersujud seraya bertaubat. “Maafkan, saya Sunan! Saya sangat menyesal atas
semua kekhilafan saya selama ini. Jika Sunan tidak keberatan, izinkanlah saya
berguru kepada Sunan!” pinta Ki Ageng Pandanaran. “Baiklah, Ki Ageng! Jika kamu
benar-benar mau bertaubat, saya bersedia menerimamu menjadi murdiku. Besok
pagi-pagi, datanglah ke Gunung Jabalkat! Saya akan menunggumu di sana. Tapi
ingat, jangan sekali-kali membawa harta benda sedikit pun!” ujar Sunan Kalijaga
mengingatkan.
Dengan tekad
kuat ingin belajar agama, Ki Ageng Pandanaran akhirnya menyerahkan jabatannya
sebagai Bupati Semarang kepada adiknya. Setelah itu, ia bersama istrinya
meninggalkan Semarang menuju Gunung Jabalkat. Namun, ia lupa mengingatkan
istrinya untuk tidak membawa harta benda sedikit pun. Naluri sebagai seorang
wanita, sang istri memasukkan seluruh perhiasan dan uang dinarnya ke dalam
tongkat yang akan di bawanya. Dalam perjalanan, sang istri selalu tertinggal
jauh di belakang suaminya karena keberatan membawa tongkatnya yang berisi harta
benda. Ki Ageng Pandanaran pun baru menyadari hal tersebut setelah mendengar
istrinya berteriak meminta pertolongan. “Kangmas, tulung! Wonten Tyang salah
tiga!” artinya “Kangmas, tolong! Ada tiga orang penyamun!” Mendengar teriakan
itu, Ki Ageng Pandanaran segera berlari menolong istrinya. Begitu tiba di dekat
istrinya, ia mendapati tiga orang penyamun sedang berusaha merebut tongkat
istrinya. Dengan perasaan marah, ia menegur ketiga penyamun itu. “Hai, manusia!
Mengapa kamu nekad seperti kambing domba!” seru Ki Ageng Pandanaran melihat
sikap kasar penyamun itu. Sseketika itu pula, wajah pemimpin penyamun yang
bernama Sambangdalan berubah menjadi wajah domba. Rupanya, sejak direstui
menjadi murid Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran memiliki kesaktian yang
tinggi. Ucapan yang keluar dari mulutnya menjadi sakti mandraguna. Melihat
kesaktian itu, para penyamun tersebut menjadi ketakutan. Sambangdalan pun
bertaubat dan meminta agar wajahnya dikembalikan seperti semula. Akhirnya, Ki
Ageng Pandanaran pun memaafkan mereka. Meski demikian, wajah pemimpin penyamun
itu tetap seperti domba dan kemudian menjadi pengikut Ki Ageng Pandanaran yang
dikenal dengan nama Syekh Domba. Setelah itu, Ki Ageng Pandanaran bersama sang
istri melanjutkan perjalanan. Tak beberapa lama kemudian, tibalah mereka di
Gunung Jabalkat. Kedatangan mereka disambut baik oleh Sunan Kalijaga. Sejak
itulah, Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga. Ki Ageng Pandanaran
seorang murid yang cerdas dan rajin. Berkat kecerdesannya, ia ditugaskan untuk
menyiarkan agama Islam di sekitar daerah tersebut. Ia pun mendirikan sebuah
perguruan di Gunung Jabalkat. Ajaran Ki Ageng Pandanaran yang paling menonjol
dikenal dengan istilah Patembayatan, yaitu kerukunan dan kegotongroyongan.
Setiap orang yang datang untuk memeluk agama Islam harus mengucapkan Sahadat
Tembayat. Berkat ajaran Patembayatan, ia juga berhasil mendirikan sebuah masjid
di Bukit Gala. Selain pengetahuan agama, Ki Ageng Pandanaran juga mengajarkan
cara bercocok tanam dan cara bergaul dengan baik kepada penduduk sekitarnya.
Setelah itu, ia pun menetap di Jabalkat hingga akhir hayatnya. Daerah Jabalkat
dan sekitarnya sekarang dikenal dengan nama Tembayat atau Bayat. Itulah
sebabnya ia diberi gelar Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.
Hingga kini,
makam Ki Ageng Pandanaran dapat ditemukan di atas Bukit Cakrakembang di sebelah
selatan bukit Jabalkat, Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment