“Asal
Mula Upacara Bekakak”
Cerita
Rakyat Yogyakarta
Pada 1755, Pangeran Mangkubumi
dinobatkan sebagai raja pertama Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan
gelar Sri Sultan Hamengkubuwono I. Sebagai raja baru, ia bermaksud mendirikan
sebuah istana atau keraton sebagai tempat kediaman. Sembari menunggu
pembangunan keraton itu selesai, Sultan memilih untuk berisitrahat di sebuah
pesanggrahan yang terletak di Desa Ambarketawang, Sleman. Ketika itu, sebagian
besar penduduk Ambarketawang bermata pencaharian sebagai pengumpul batu-batu
gamping dari gunung kapur yang ada wilayah itu. Sri Sultan Hamengkubuwono I
tinggal di Ambarketawang bersama sejumlah abdi dalem. Dua abdi yang paling
setia adalah sepasang suami istri bernama Kyai dan Nyai Wirasuta. Keduanya
adalah abdi dalem penongsong, yaitu abdi dalem yang sehari-harinya bertugas
memayungi Sri Sultan Hamengkubuwono I. Ke mana pun sang Raja pergi, keduanya
turut serta membawa payung kebesaran keraton. Selain setia, Kyai dan Nyai
Wirasuta termasuk abdi dalem Sri Sultan yang paling rajin. Di sela-sela
menjalankan kewajibannya, keduanya memelihara beragam hewan seperti ayam,
bebek, burung puyuh, merpati, kelinci, dan landak. Mereka amat menyayangi dan
rajin merawat hewan-hewan peliharaan itu. Hingga pada suatu ketika, datanglah utusan
dari keraton hendak menemui Sri Sultan Hamengkubuwono I di tempat
peristirahatannya. “Ampun, Kanjeng Gusti,” lapor utusan itu sambil memberi
hormat. “Bagaimana perkembangan keraton kita?” tanya sang Sultan. “Pembangunan
keraton telah selesai dan siap untuk ditempati,” jawab utusan itu. “Bagus,
kalau begitu, besok pagi-pagi sekali kami akan kembali ke keraton,” kata sang
Sultan. Keesokan harinya, Sri Sultan Hamengkubuwono I beserta para abdi delam
bersiap-siap untuk kembali ke keraton. Namun, Kyai Wirasuta dan istrinya masih
merasa betah tinggal di Ambarketawang. “Ampun, Kanjeng Gusti. Bukannya hamba
berdua tidak setia kepada Kanjeng Gusti. Izinkanlah hamba berdua tinggal di
tempat ini untuk merawat tempat peristirahatan Kanjeng Gusti. Hamba berdua merasa
betah tinggal di tempat ini. Lagipula, hewan peliharaan hamba sudah banyak.
Sayang sekali kalau ditinggalkan,” pinta Kyai Wirasuta sembari menghaturkan
sembah.
“Baiklah, jika itu sudah menjadi
keinginan kalian. Rawatlah baik-baik pesanggrahan ini dan hewan-hewan kalian,”
ujar sang Sultan. “Terima kasih, Kanjeng Gusti,” ucap Ki Wirasuta, “Tapi, jika
diperkenankan, bolehkah hamba membawa putra-putri hamba ke tempat ini?”.
Permintaan Kyai Wirasuta pun disetujui oleh sang Sultan. Sejak itulah, Kyai
Wirasuta tinggal di daerah itu bersama istri dan dua putra, Raden Bagus Gombak
dan Raden Bagus Kuncung serta dua putrinya, Roro Ambarsari dan Roro Ambarsekar.
Selain itu, ia juga memboyong kedua pembantu setianya yaitu Kyai dan Nyai
Brengkut. Suatu hari, tepatnya hari Jumat Kliwon di bulan Sapar, Kyai Wirasuta
bersama istrinya sedang membersihkan halaman pesanggrahan. Tanpa mereka duga
sebelumnya, Gunung Gamping yang berada di dekat pesanggerahan itu runtuh.
Karena posisinya berada sangat dekat dengan gunung itu, mereka pun tidak sempat
menyelamatkan diri sehingga tertimbun batu-batu kapur. Ketika peristiwa itu
terjadi, keempat putra-putri serta kedua pembantunya masih sempat melarikan
diri bersama sebagian warga lainnya sehingga selamat dari musibah. Sementara
hewan ternaknya hanya ada 3 ekor yang selamat yaitu seekor merpati memakai
sawangan, seekor burung puyuh bergelang emas, dan seekor landak berkalung sapu
tangan merah. Mendengar kabar tentang musibah yang menimpa kedua abdi dalem
kesayangannya itu, Sri Sultan Hamengkubuwono I memerintahkan para prajurinya
untuk membongkar reruntuhan batu-batu kapur yang ada di Gunung Gamping itu.
Namun, hingga batu kapur itu selesai disingkirkan, jasad Kyai Wirasuta dan
istrinya tidak diketemukan. Kedua jasad tersebut menghilang tanpa jejak. Di
istana Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono I duduk termenung
mengenang kedua abdi dalem-nya itu. Hatinya sangat sedih karena kehilangan
orang-orang yang disayanginya. Kesedihan yang dirasakan sang Raja hingga
berbulan-bulan lamanya. Ketika kesedihan itu mulai lenyap, sang Raja kembali
dikejutkan oleh laporan dari abdi dalem-nya. “Ampun, Kanjeng Gusti. Hamba baru
saja mendapat kabar bahwa beberapa penduduk Ambarketawang tertimbun reruntuhan
batu kapur,” lapor abdi dalem itu. Mendengar laporan itu, Sri Sultan
Hamengkubuwono I kembali berduka. Musibah itu kembali mengingatkannya kepada
Kyai Wirasuta dan istrinya. Kebetulan, musibah itu juga terjadi pada bulan
Sapar. Demikian seterusnya, hampir setiap bulan Sapar, penduduk Ambarketawang
kerap mendapat musibah yang serupa. Oleh karena itulah, masyarakat meyakini
bahwa meskipun jasadnya telah menghilang, jiwa dan arwah Kyai dan Nyai Wirasuta
masih tetap ada di Gunung Gamping. Dengan keyakinan itu, mereka pun menjadi
resah. Mereka pun khawatir mengumpulkan batu-batu kapur di sekitar gunung itu,
terutama pada bulan Sapar. Mengetahui keresahan itu, Sri Sultan Hamengkubuwono
I pun bertitah kepada masyarakat Ambarketawang agar setiap bulan Sapar
mengadakan upacara selamatan. Upacara itu juga bertujuan untuk memohon kepada
Tuhan Yang Maha Esa agar melindungi masayarakat dari musibah.
Adapun wujud upacara selamatan itu
berupa penyembelihan bekakak yang dilengkapi dengan beberapa perangkat upacara
lainnya seperti tumpeng, ingkung ayam, jajan pasar, dan lain sebagainya.
Penyembelihan bekakak dimaksudkan untuk menggantikan Kyai dan Nyai Wirasuta dan
warga lain yang tertimpa musibah.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment