“Tauke
Pemberani dari Batavia”
Cerita
Rakyat DKI Jakarta
Pada abad ke-8
Masehi, Batavia sudah dalam jajahan kompeni Belanda. Meski demikian, sektor
perdagangan tetap dikuasai oleh para pedagang keturunan Cina atau kaum tauke.
Para tauke ini memiliki organisasi yang kokoh dan dibangun dengan rapi hingga
ke pelosok. Jika harga barang naik, para tauke juga menaikkan harga demi
memperoleh keuntungan. Rupanya, keberadaan para tauke membuat geram para
orang-orang kompeni Belanda. Mereka tidak menyukai tindakan para tauke
tersebut. Untuk itu, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff sebagai penguasa
Batavia saat itu mengadakan rapat bersama dengan para pejabat kompeni Belanda
lainnya. “Apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi para tauke itu, Tuan?”
tanya seorang pejabat kompeni. “Kita harus segera bertindak. Kita kerahkan para
budak belian sebanyak-banyaknya untuk bekerja sebagai tenaga kasar di laut dan
mengawasi tingkah laku para tauke. Tapi, mereka terlebih dahulu harus dilatih
menjadi pengawal yang siap mati,” ujar Gubernur Jenderal. Keputusan penguasa
Batavia itu disetujui oleh semua peserta rapat. Selang beberapa lama kemudian,
pelabuhan Batavia pun dikuasai oleh para budak-budak belian kompeni Belanda
yang sudah terlatih. Melihat keadaan itu, para tauke pun tidak tinggal diam.
Mereka juga mengadakan rapat guna menghadapi para kompeni dan budak beliannya.
Dalam rapat tersebut para tauke bersama warga kampung di Batavia bersepakat
untuk mendatangkan guru silat dari negeri Tiongkok (Cina). “Untuk menghadapi
para budak belian kompeni Belanda, kita harus membekali diri kita dengan ilmu
bela diri. Maka itu, kita harus mendatangkan seorang guru silat yang handal ke
sini,” ujar salah seorang tauke. “Setuju…!” kata para peserta rapat serentak.
Guru silat yang mereka inginkan pun akhirnya datang. Para taukue itu kemudian
mengadakan latihan secara sembunyi-sembunyi pada malam hari. Siang harinya,
mereka tetap berdagang seperti biasanya. Salah seorang tauke yang paling
menonjol dalam latihan tersebut adalah orang yang dikenal dengan julukan si Panjang.
Sebelumnya, si
Panjang sudah lama mengikuti latihan silat sebuah perguruan perguruan silat
Gading Melati. Ia sudah menguasai dasar-dasar ilmu silat, bahkan menguasai
beberapa jurus-jurus yang mematikan. Oleh karena kecakapannya, ia pun ditunjuk
menjadi pemimpin untuk menggantikan guru mereka yang harus kembali ke Tiongkok.
Si Panjang sangat dihormati oleh kawan-kawannya dan menjadi tumpuan harapan
para tauke untuk melawan Belanda. Sebagai pemimpin yang arif dan bijaksana, si
Panjang selalu memberi amanat dan nasehat kepada kawan-kawannya. “Meskipun
kompeni Belanda selalu bertindak sewenang-wenang, kita harus ramah kepada
mereka. Kalian yang sudah ada hubungan persahabatan dengan mereka, lanjutkan
persahabatan itu,” ujar si Panjang, “Selain itu, kita harus tetap meningkatkan
usaha dagang kita.” Begitu hari sudah sore, para tauke sudah menutup toko atau
warung masing-masing. Pada malam harinya, mereka berkumpul di Gading Melati
dengan membawa makanan dan minuman untuk kepentingan perkumpulan. Sebelum latihan
dimulai, si Panjang kembali memberi nasehat kawan-kawannya. “Saudara-saudara
sekalian. Siapa di antara kalian yang memiliki perahu di pelabuhan?” tanya si
Panjang kepada kawan-kawannya. “Saya, Ketua,” jawab puluhan tauke sambil
mengacungkan tangan. “Baiklah. Saya harap kita bisa menyediakan perahu khusus
yang nantinya dapat kita gunakan dalam keadaan darurat,” ujar si Panjang.
“Baik, Tuan,” para pemilik perahu setuju. Si Panjang kemudian mengajak
kawan-kawannya untuk memulai latihan silat. Mereka berlatih dengan
sungguh-sungguh dan penuh semangat. Namun, tanpa mereka sadari, ada seorang
lelaki bermata sipit yang sedang mengintai gerak-gerik mereka. Ia adalah Liu
Chu, salah satu mata-mata yang disebar oleh kompeni Belanda. Beberapa saat
kemudian, mata-mata itu segera melapor kepada Gubernur Jenderal Baron van
Imhoff. “Tuan, saya menemukan tempat berkumpul para tauke,” lapor Liu Chu. “Di
mana mereka berkumpul dan apa yang mereka lakukan?” tanya Gubernur Jenderal
dengan penasaran. “Mereka sedang berlatih silat di Gading Melati di daerah
Gandaria. Setiap malam mereka selalu berkumpul dan berlatih di tempat itu,”
ungkap agen kepercayaan kompeni Belanda itu, “Perkumpulan mereka dipimpin oleh
si Panjang. Pengikutnya pun semakin banyak.” “Apalagi yang kamu tahu tentang
kegiatan mereka?” Gubernur Jenderal kembali bertanya.
“Mereka juga
mengumpulkan berbagai macam senjata tajam,” jawab Liu Chu. Mendengar keterangan
itu, Gubernur Jenderal segera mengadakan rapat bersama para pejabat kompeni.
“Para tauke itu tidak bisa dibiarkan. Kita harus menghentikan kegiatan mereka,”
ujar Gubernur Jenderal. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya salah seorang
pejabat kompeni. “Kita datangi tempat berkumpul mereka. Jika para tauke itu
tidak bisa dikendalikan, kita asingkan mereka ke Ceylon (Sri Lanka),” ujar
Gubernur Jenderal. Gubernur Jenderal segera memerintahkan para serdadunya untuk
mendatangi Gading Melati dengan persenjataan lengkap. Ada yang membawa pistol
dan pula yang dilengkapi senapan laras panjang. Malam itu, para tauke dan pedagang
lainnya sedang berpesta. Atas perintah Gubernur Jenderal, para serdadu Belanda
mengepung tempat itu. Begitu pesta selesai, mereka langsung menangkap
orang-orang di sana. Selanjutnya, orang-orang itu digiring ke balai kota, lalu
diserahkan kepada patroli keamanan yang sudah disiapkan di tepi sungai.
Sesampai di muara Sungai Ciliwung, mereka dipindahkan ke kapal perang untuk
dibawa ke Ceylon. Rupanya, si Panjang dan beberapa kawannya tidak terlihat di
antara tawanan tersebut. Rupanya pendekar sakti itu sedang ada keperluan lain
sehingga ia tidak bersama-sama teman-temannya di Gading Melati. Sementara itu,
di antara tawanan tersebut ada 4 orang yang berhasil menyelamatkan diri. Mereka
pun segera kembali ke Gading Melati untuk melapor kepada si Panjang. Setiba di
sana, mereka mendapati si Panjang dan beberapa rekan lainnya. “Hai, kalian dari
mana? Lalu, ke mana kawan-kawan kita yang lain?” tanya si Panjang cemas. “Maaf,
Ketua. Tadi banyak serdadu Belanda datang kemari dan menangkap kita semua. Kami
berempat berhasil meloloskan diri, sedangkan kawan-kawan kita yang lain akan
diasingkan ke Ceylon,” lapor salah satu dari 4 tawanan yang berhasil meloloskan
diri itu. “Benar, Tuan. Kami tidak dapat berbuat apa-apa. Serdadu Belanda itu
dilengkapi dengan senapan dan pistol,” sahut yang lainnya. Mendengar keterangan
itu, si Panjang segera mengumpulkan rekan-rekannya yang masih tersisa, termasuk
para pelaut rantauan. Selanjutnya mereka menuju ke pelabuhan untuk membebaskan
rekan-rekannya yang ditawan. Setiba di sana, mereka segera melakukan
penyerangan. Perlawanan yang dilakukan oleh si Panjang dan rekan-rekannya itu
membuat kompeni Belanda semakin geram. Mereka terus mengejar dan menangkap para
pengikut si Panjang. Meski demikian, si Panjang yang sakti itu selalu berada di
baris terdepan untuk membebaskan rekan-rekannya. Demikian pula rekan-rekannya
tidak pernah gentar menghadapi kompeni Belanda. Begitulah keberanian para tauke
dari tanah Batavia menghadapi kesewanang-wenangan kompeni Belanda di tanah
Batavia. Meskipun
pada akhirnya pertempuran itu
dimenangkan oleh pihak Belanda, namun tidak sedikit dari para kompeni itu yang
terluka dan bahkan tewas.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment