Saturday, 28 November 2015

Cerita Rakyat Banten


“Sultan Maulana Hasanuddin”
Cerita Rakyat Banten


       
Tersebutlah  seorang  tokoh  penyebar  agama  Islam  di Banten  bernama  Hasanuddin  dengan  gelar  Pangeran Sabakingkin  atau  Seda  Kinkin.  Gelar  tersebut  pemberian dari  kakeknya,  Prabu  Surasowan,  yang  menjabat  sebagai Bupati Banten. Hasanuddin sendiri merupakan putra kedua dari pasangan Nyi Kawung Anten (putri Prabu Surasowan) dengan Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah satu dari Sembilan Wali (walisongo).Ketika  Prabu  Surasowan  wafat,  kedudukannya  sebagai Bupati  Banten  digantikan  oleh  putranya  bernama  Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umum. Pusat pemerintahannya berkedudukan di Banten Girang (Banten Hulu), yang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, Prabu Pucuk Umum masih menganut agama resmi Kerajaan Pajajaran yaitu agama Hindu.Pada masa pemerintahan Prabu Pucuk Umum, Syekh Syarif Hidayatullah harus kembali ke Cirebon untuk menggantikan Pangeran Cakrabuana yang telah wafat sebagai Bupati Cirebon. Sementara itu, Pangeran Hasanuddin lebih memilih menjadi guru agama Islam dan mendirikan pesantren di Banten. Sejak itulah, ia dikenal sebagai Syekh Maulana Hasanuddin. Ketenarannya pun telah melampaui kharisma pamannya, Prabu Pucuk Umum, sehingga hubungan mereka menjadi tidak harmonis.
Meskipun menetap di Banten, Syekh Maualana Hasanuddin sering mengunjungi sang Ayah di Cirebon untuk bersilaturrahmi dan meminta petunjuk. Suatu ketika, ia mendapat tugas untuk melanjutkan tugas sang Ayah menyebarkan Islam di daerah Banten.“Putraku, Hasanuddin! Kini Engkau sudah dewasa. Pengetahuan agamamu pun sudah cukup mumpuni. Saatnya pengetahuan itu kau sebarkan kepada seluruh rakyat Banten,” ujar Syekh Syarif Hidayatullah.“Baik, Ayah,” jawab Pangeran Hasanuddin seraya berpamitan kembali ke Banten.Setiba  di  Banten,  Syekh  Maulana  Hasanuddin  melanjutkan  misi  dakwah  ayahnya.  Bersama  para santrinya, ia berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya, mulai dari Gunung Pulosari Gunung Karang atau Gunung Lor, hingga ke Pulau Panaitan di Ujung Kulon.Dalam  upaya  penyebaran  Islam  ke  seluruh  daerah  Banten,  Syekh  Maulana  Hasanuddin  tidak  jarang mendapat  hambatan.  Salah  satunya  datang  dari  Prabu  Pucuk  Umum  yang  bersikukuh  ingin mempertahankan ajaran Sunda Wiwitan (Hindu) sebagai agama resmi Kerajaan Pajajaran. Di lain pihak, Syekh Maulana Hasanuddin menginginkan kegiatan dakwah Islam di Banten dapat berjalan lancar.Maka, Prabu Pucuk Umum menantang Syekh Maulana Hasanuddin untuk berperang, namun bukan duel di antara keduanya, melainkan beradu ayam jago. Hal  ini dilakkukan demi menghindari jatuhnya banyak korban jiwa dari kedua belah pihak.“Wahai,  Mualana  Hasanuddin.  Jika  kamu  ingin  menyebarkan  Islam  di  daerah  Banten,  kalahkan  dulu ayam  jagoku!  Jika  kamu  berhasil  memenangkan  pertarungan  ini,  jabatanku  sebagai  Bupati  Banten Girang akan kuserahkan kepadamu.
Tapi ingat, jika kamu yang kalah, maka kamu harus menghentikan dakwahmu itu,” kata Prabu Pucuk Umum.“Baiklah, kalau itu yang Prabu inginkan. Hamba menerima tantangan itu,” jawab Maulana Hasanuddin.Tempat  adu  kesaktian  ayam  jago  itu  akan  dilaksanakan  di  lereng  Gunung  Karang  karena  dianggap sebagai tempat yang netral. Pada hari yang telah ditentukan, kedua pihak pun menuju lereng Gunung Karang.  Prabu  Pucuk  Umum  dan  Maulana  Hasanuddin  tidak  hanya  membawa  ayam  jago,  tetapi  juga membawa  pasukan  bersenjata  untuk  menghadapi  berbagai  kemungkinan. 
Selain  itu,  Prabu  Pucuk Umum  tampak  membawa  golok  yang  terselip  di  pinggang  dan  tombak  di  genggamannya.  Syekh Maulana Hasanuddin hanya membawa sebilah keris pusaka warisan Wali Songo.Setiba  di  arena  pertarungan,  Prabu  Pucuk  Umum  mengambil  tempat  di  tepi  utara  arena  dengan mengenakan  pakaian  hitam-hitam,  rambut  gondrong  sampai  leher,  dan  mengenakan  ikat  kepala. Sementara  itu,  Syekh  Maulana  Hasanuddin  tampak  berdiri  di  sisi  selatan  arena  dengan  mengenakan jubah dan sorban putih di kepala.Sebelum  pertarungan  dimulai,  kedua  ayam  jago  dibawa  ke  tengah  arena.  Kedua  ayam  jago  tersebut masih berada di dalam kandang anyaman bambu.
Ayam jago milik Prabu Pucuk Umum telah diberi ajian otot  kawat  tulang  besi  dan  di  kedua  tajinya  dipasangi  keris  berbisa.  Sementara  ayam  milik  Maulana Hasanuddin tidak dipasangi senjata apapun, tapi tubuhnya kebal terhadap senjata tajam. Ayam itu telah dimandikan  dengan  air  sumur  Masjid  Agung  Banten.  Pada  saat  ayam  itu  dimandikan,  dibacakan  pula ayat-ayat suci Alquran.Konon,  ayam  jago  milik  Maulana  Hasanuddin  adalah  penjelmaan  salah  seorang  pengawal  sekaligus penasehatnya  yang  bernama  Syekh  Muhammad  Saleh.  Ia  adalah  murid  Sunan  Ampel  dan  tinggal  di Gunung Santri di Bojonegara, Serang. Karena ketinggian ilmunya dan atas kehendak Allah, ia mengubah dirinya  menjadi  ayam  jago. 
Di  pinggir  arena,  kedua  belah  pihak  tampak  tegang.  Syekh  Maulana Hasanuddin bersama rombongannya yang terdiri dari para ustadz dan santri  larut dalam doa memohon pertolongan dari Allah. Sementara itu, pihak Prabu Pucuk Umum yang terdiri dari ratusan ajar (pendeta) dan punggawa (panglima) juga terlihat komat-kamit membaca mantra.Dalam  suasana  tegang,  salah  seorang  Punggawa  yang  mewakili  kedua  belah  pihak  masuk  ke  tengah arena untuk membacakan pengumuman: “Yang Mulia Syekh Maulana Hasanuddin dan Prabu Pucuk Umum, perkenankanlah kami membacakan pengumuman sebagai berikut:Pertama,  sebagaimana  yang  telah  disepakati,  bahwa  apabila  Prabu  Pucuk  Umum  kalah,  maka  pihak Maulauna Hasanuddin akan diberi kebebasan untuk menyebarkan Islam di Banten.
Sebaliknya, apabila Prabu Pucuk Umum yang menang, maka Maulana Hasanuddin harus menghentikan kegiatan dakwahnya di Banten Tengah dan Selatan.Kedua,  pihak  yang  kalah  harus  menunjukkan  tanda  pengakuan  dengan  menyerahkan  senjata  kepada pihak yang menang. Ketika,  kepada  yang  hadir  agar  dapat  menahan  diri  dan  menjaga  ketertiban  dengan  tidak  memasuki arena selama pertandingan berlangsung. Demikian pengumuman ini kami sampaikan.”Begitu pengumaman selesai dibacakan, gong pun dibunyikan sebagai tanda pertandingan akan dimulai. Kedua ayam jago segera dikeluarkan dari sangkarnya masing-masing. Suasana yang tadinya mencekam berubah  menjadi  ramai.  Riuh  rendah  suara  penonton  pun  membahana  memberi  semangat  kepada kedua ayam jago yang akan bertarung. Di  tengah  gelanggang,  kedua  ayam  jago  saling  mendekat. 
Sesekali  keduanya  silih  berganti  berkokok dengan  suara  menantang.  Pada  saat  berhadap-hadapan  dengan  jarak  sekitar  dua  meter,  keduanya saling  menggertak  dengan  posisi  miring  sambil  berputar-putar  membentuk  lingkaran.  Mata  keduanya saling menatap sangat tajam seolah-olah menyimpan dendam.Selang beberapa saat kemudian, ayam jago Pujuk Umum berhenti lalu mundur setengah meter untukmengambil ancang-ancang. Dengan kekuatan penuh, ia bergerak maju menyerang sambil mengerahkan tajinya ke arah dada lawannya. Ayam jago Maulana Hasanudian pun menyambut serangan itu. Tak ayal, saat benturan fisik terjadi, keduanya pun terpental ke belakang. Tubuh ayam jago Maulana Hasanuddin tidak mengalami luka sedikit pun.  Pertarungan semakin seru. Kedua ayam jago itu kembali berhadaphadapan.
 Ayam jago Pucuk Umum kali ini tampak lebih beringas. Tatapan matanya semakin tajam dan memerah.  Sementara  ayam  jago  Maulana  Hasanuddin  tetap  berusaha  tenang  setelah  mendapat serangan pertama. Pertarungan semakin seru, sorak sorai penonton kembali bergemah menyemangati jagonya masing-masing.“Hidup Prabu Pucuk Umum...! Hidup Syekh Maulana Hasanuddin..!”Ketika kedua ayam jago itu mulai bertarung lagi, suasana pun kembali mencekam. Dengan gerakan liar, ayam jago Pucuk Umum menyerang lagi dan bermaksud merobek dada musuhnya. Mendapat serangan kedua  itu,  ayam  jago  Maulana  Hasanuddin  berkelit  ke  kanan  dan  ke  kiri  untuk  men ghindari  taji  keris berbisa itu. Jago Pucuk Umum pun mulai kehilangan kesabaran. Ia semakin kalap dan menyerang secara membabi buta.
Tanpa diduga, tiba-tiba ayam jago Maulana Hasanuddin terbang tinggi ke angkasa. Jago Pucuk  Umum  pun  menyusulnya  sehingga  terjadilah  pertarungan  sengit  di  udara.  Semua  pandangan penonton tertuju pada kedua ayam jago yang berada di udara.  Tiba-tiba ayam jago Pucuk Umum jatuh terkulai  di  tanah  dan  meregang  nyawa.  Rupanya  ayam  jago  itu  terkena  tendangan  keras  ayam  jago Maulana  Hasanuddin.  Para  pendudung  Pucuk  Umum  pun  menjadi  bungkam,  sedangkan  pendukung Maulana Hasanuddin melompat kegirangan sambil meneriakkan: “Allahu Akbar! Hidup Maulana Hasanuddin! Hidup Syariat Islam!”Akhirnya, Syekh Maulana Hasanuddin memenangkan pertandingan adu ayam itu. Prabu Pucuk Umum pun  mengaku  kalah.  Ia  kemudian  mendekati  Maulana  Hasanuddin  untuk  memberi  ucapan  selamat seraya  menyerahkan  golok  dan  tombaknya  sebagai  tanda  pengakuan  atas  kekalahannya.  Penyerahan kedua senjata pusaka juga berarti penyerahan kekuasaannya kepada Maulana Hasanuddin atas Banten Girang. “Selamat,  Maulana  Hasanuddin!  Sesuai  dengan  kesepakatan  kita,  maka  kini  engkau  bebas  melakukan dakwah Islam sekaligus menjadi penguasa di Banten Girang,” ujar Prabu Pucuk Umum.Setelah itu, Prabu Pucuk Umum berpamitan.
 Ia bersama beberapa pengikutnya kemudian mengungsi ke Banten Selatan, tepatnya di Ujung Kulon atau ujung barat Pulau Jawa. Mereka bermukim di hulu Sungai Ciujung,  di  sekitar  wilayah  Gunung  Kendeng.  Atas  perintah  Prabu  Pucuk  Umum,  para  pengikutnya diharapkan  untuk  menjaga  dan  mengelola  kawasan  yang  berhutan  lebat  itu.  Konon,  merekalah  cikal bakal orang Kanekes yang kini dikenal sebagai suku Baduy.Sedangkan  para  pengikut  Prabu  Pucuk  Umum  yang  terdiri  dari  pendeta  dan  punggawa  Keraja an Pajajaran menyatakan masuk Islam di hadapan Syekh Maulana Hasanuddin. Dengan demikian, semakin muluslah  jalan  bagi  Syekh  Maulana  Hasanuddin  dalam  menyebarkan  dakwah  Islam  di  Banten.  Atas keberhasilan tersebut, ia kemudian diangkat oleh Sultan Demak sebagai Bupati Kadipaten Banten. Pusat pemerintahan semula di Banten Girang dipindahkan ke Banten Lor (Surosowan) yang terletak di pesisir utara  Pulau  Jawa.  Selanjutnya,  karena  keberhasilannya  memimpin  daerah  itu  dengan  membawa kemajuan  yang  pesat  di  berbagai  bidang,  Kadipaten  Banten  kemudian  diubah  menjadi  negara  bagian Demak  atau  Kesultanan  Banten  dengan  tetap  mempertahankan  Maulana  Hasanuddin  sebagai  sultan pertama.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






No comments:

Post a Comment