“Asal Mula Nama Pamboang”
Cerita Dari Sulawesi Barat
Pamboang adalah nama kecamatan di
Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Indonesia.Konon, kecamatan yang identik
dengan Mandar ini dulunya bernama kampung Pallayarang Tallu. Namun karena
terjadi sebuah peristiwa, sehingga namanya berubah menjadi Pamboang. Peristiwa
apa sebenarnya yang terjadi, sehingga nama daerah itu berubah menjadi Pamboang?
Peristiwa tersebut diceritakan dalam cerita rakyat Asal Mula Nama Pamboang
berikut ini.
Alkisah, di Kampung Benua, Majene,
Sulawesi Barat, hiduplah tiga orang pemuda yang hendak memperluas lahan
perladangan dan permukiman penduduk, serta membangun pelabuhan di pantai.
Ketiga pemuda tersebut bergelar I Lauase, I Lauwella, dan I Labuqang. Gelar
tersebut mereka sandang berdasarkan pada tugas mereka dalam mewujudkan
keinginan tersebut. Pemuda pertama bergelar I Lauase, karena dalam menjalankan
tugasnya membuka hutan lebat menjadi lahan perladangan selalu menggunakan wase
(kapak). Pemuda kedua bergelar I Lauwella, karena bertugas untuk membabat dan
membersihkan wella(rumput) laut di pantai yang akan dijadikan sebagai wilayah
perdagangan. Pemuda ketiga bergelar I Labuqang, karena bertugas untuk meratakan
tanah di pantai yang berlubang akibat ulah buqang (kepiting).
Ketiga pemuda tersebut melaksanakan
tugas di wilayah mereka masing-masing. I Lauase bekerja di daerah hutan untuk
membuka lahan perladangan, sedangkan I Lauwella dan I Labuqang bekerja di
daerah pantai. I Lauwella membersihkan rumput laut, sedangkan I Labuqang
meratakan tanah yang berlubang di pantai. Ketiga pemuda tersebut bekerja dengan
penuh semangat di wilayah kerja masing-masing. Menjelang sore hari, ketiga
pemuda itu kembali ke kampung untuk beristirahat. Sebelum tidur, mereka saling
menceritakan pengalaman masing-masing setelah melalui hari pertama. “Hari ini
saya sudah merobohkan puluhan pohon besar,” cerita I Lauase. “Kalian
bagaimana?” tanya I Lauase kepada I Lauwella dan I Labuqang. “Saya sudah banyak
membersihkan rumput laut di pantai,” jawab I Lauwella. “Saya juga sudah meratakan
puluhan lubang kepiting,” sahut I Labuqang. “Kalau begitu, saya perkirakan
dalam waktu seminggu kita sudah dapat menyelesaikan tugas kita masing-masing,”
kata I Lauase. “Benar! Kita harus bekerja lebih keras lagi,” sahut I Lauwella.
Ternyata benar perkiraan mereka, setelah
seminggu bekerja keras, semua pekerjaan mereka telah selesai. Kemudian ketiga
pemuda tersebut menjadi penguasa di wilayah yang mereka buka. I Lauase menanami
ladangnya dengan berbagai jenis tanaman palawija, sedangkan I Lauwella dan I
Labuqang yang wilayah kekuasaannya berada di daerah pantai bekerja sama
membangun sebuah pelabuhan untuk dijadikan sebagai sarana perdagangan. Semakin hari semakin banyak penduduk yang ikut
berladang bersama dengan I Lauase. Demikian pula di pelabuhan, aktivitas
perdagangan pun semakin ramai. Akhirnya, mereka bersepakat untuk menggabungkan
ketiga wilayah mereka menjadi satu. “Tapi, apa nama yang cocok untuk wilayah
ini?” tanya I Labuqang. Mendengar pertanyaan itu, I Lauase dan I Lauwella
terdiam. Keduanya juga masih bingung untuk memberikan nama yang bagus untuk
wilayah mereka. Setelah beberapa saat berpikir, I Lauase kemudian mengajukan
usulan. “Bagaimana kalau tempat ini kita namakan Pallayarang Tallu?” “Pallayarang
Tallu? Apa masksudnya?” tanya I Lauwella penasaran. “Pallayarang artinya tiang
layar, sedangkan Tallu artinya tiga. Jadi, Pallayarang Talluberarti Tiga Tiang
Layar,” jelas I Lauase. “Waaah, nama yang bagus. Saya setuju dengan usulan I
Lauase. Kalau kamu bagaimana?” tanya I Labuqang kepada I Lauwella. “Saya juga
setuju dengan nama itu,” jawab I Lauwella. Akhirnya ketiga pemuda itu menemukan
nama yang bagus untuk wilayah mereka. Selanjutnya, mereka selalu bekerja sama
mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan wilayah mereka.
Pada suatu hari, sekitar 7.000 orang
pengungsi yang dipimpin oleh Puatta Di Karena tiba di daerah Adolang yang
berbatasan dengan daerah kekuasaan I Lauase. Ribuan pengungsi tersebut berasal
dari Kerajaan Passokkorang yang hancur akibat diserang oleh pasukan musuh.
Setelah beberapa lama berada di daerah itu, Puatta Di Karena ingin mengajak
negeri Pallayarang Tallu untuk bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga,
yaitu persekutuan kerajaan-kerajaan di daerah Mandar. Suatu hari, Puatta Di
Karena didampingi oleh beberapa pengawalnya pergi ke NegeriPallayarang Tallu
untuk menemui I Lauase. Setiba di rumah Lauase, ia pun mengutarakan maksud
kedatangannya. ”Anak Muda! Maksud kedatangan kami adalah ingin mengajak Anda
untuk bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga. Apakah Anda bersedia?”
tanya Puatta Di Karena menawarkan.
”Maaf,
Tuan! Saya tidak dapat memutuskan sendiri masalah ini. Saya harus bermusyawarah
dengan kedua saudara saya, I Lauwella dan I Labuqang,” jawab I Lauase. ”Baiklah,
kalau begitu! Saya akan menunggu keputusan dari kalian. Tapi, kapan kita bisa
bertemu lagi?” tanya Puatta Di Karena. ”Tuan boleh kembali ke mari besok pagi,”
jawab I Lauase. Setelah Puatta Di Karena mohon diri, I Lauase segera mengundang
I Lauwella dan I Labuqang. Di rumah I Lauase, ketiga pemuda itu bermusyawarah.
Dalam pertemuan itu mereka bersepakat untuk tidak bergabung menjadi anggota
Pitu Baqbana Binanga. Keesokan harinya, Puatta Di Karena pergi lagi ke rumah I
Lauase. Kedatangannya disambut oleh ketiga pemuda tersebut. ”Bagaimana keputusan
kalian?” tanya Puatta Di Karena penasaran.
”Maafkan
kami, Tuan! Kami telah sepakat belum bersedia menerima tawaran, Tuan!” jawab I
Lauase. ”Kenapa?” tanya Puatta Di Karena. ”Negeri kami belum makmur. Rakyat
kami masih banyak yang hidup susah,” tambah I Lauwella. ”Bagaimana jika aku
membayar tambo kepada kalian?” tanya Puatta Di Karena menawarkan. Mendengar
tawaran itu, ketiga orang pemuda tersebut terdiam. Mereka berpikir, menerima
atau menolak tawaran itu. Setelah berunding sejenak, akhirnya mereka memutuskan
untuk menerima tawaran itu. ”Baiklah! Kami menerima tawaran Tuan! Kapan tambo
itu akan Tuan berikan kepada kami?” tanya I Lauase. ”Kami akan
mengantarkan tambo itu minggu depan,”
janji Puatta Di Karena. Akhirnya, Pallayarang Tallu pun bergabung menjadi
anggota Pitu Baqbana Binanga.Ketiga pemuda itu sangat senang, karena mereka
akan mendapat tambo untuk digunakan membangun wilayah dan membantu rakyat
mereka. Namun, setelah seminggu mereka bergabung, Puatta Di Karena tidak memberikan tambo yang
telah dijanjikannya.
Minggu berganti minggu, bulan berganti
bulan, Puatta Di Karena tidak kunjung datang mengantarkan tambo. Akhirnya,
tambo pun menjadi pembicaraan masyarakatPallayarang Tallu. Oleh karena setiap
hari diucapkan, lama-kelamaan kata tamboberubah menjadi Tamboang, lalu menjadi
Pamboang. Berdasarkan kata inilah masyarakat setempat mengganti nama
Pallayarang Tallu menjadi Pamboang. Hingga kini, kata Pamboang dipakai untuk
menyebut nama sebuah kecamatan di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat. Demikian
cerita Asal Mula Nama Pamboang dari Sulawesi Barat, Indonesia. Cerita di atas
termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya
ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan
sifat suka bermusyawarah untuk mufakat dan tekun dalam bekerja.
Pertama,
sifat suka bermusyawarah tercermin pada perilaku ketiga pemuda dalam cerita di
atas. Setiap menghadapi suatu pekerjaan atau masalah, mereka senantiasa
bermusyawarah untuk mufakat. Dalam kehidupan orang Melayu, musyawarah merupakan
salah satu sandaran dalam adat Melayu. Oleh karena itu, mereka sangat
menghormati, menjunjung tinggi, dan memuliakan musyawarah dan mufakat dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam ungkapan Melayu dikatakan: tegak adat karena
mufakat,tegak tuah karena musyawarah Kedua, rajin dan tekun bekerja. Sifat ini
juga tercermin pada keuletan ketiga pemuda tersebut. Dari cerita di atas dapat
dipetik sebuah pelajaran bahwa untuk mewujudkan sebuah keinginan, kita harus
tekun dalam bekerja. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu: wahai ananda cahaya
mata rajin dan tekun dalam bekerja penat dan letih usah dikira supaya kelak
hidupmu sejahtera.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment