“Asni
dan Mirah”
Cerita
Rakyat DKI Jakarta
Pada zaman
dahulu di Betawi masih terdapat banyak pendekar silat. Dua di antaranya yang
cukup terkenal adalah Tirta dan Asni. Kedua pemuda itu adalah kakak beradik,
tapi lain ibu. Meskipun bersaudara, namun Asni tidak mengetahui jika ia punya
saudara tiri bernama Tirta, sementara Tirta sendiri sudah tahu hal ini dari
ibunya. Tirta tinggal bersama ibunya di Karawang, sebuah daerah di tepi kota,
sedangkan Asni tinggal bersama ayahnya di Kemayoran. Tirta dan Asni memiliki perbedaan
sifat yang terlihat pada perilaku sehari-hari mereka. Tirta tumbuh menjadi
pemuda berandalan. Keahlian beladirinya digunakan untuk membuat kekacauan.
Bahkan, Tirta suka merampok dan mencuri. Hasil curiannya ia gunakan untuk
mabuk-mabukan bersama teman-temannya. Sementara itu, Asni tumbuh menjadi pemuda
yang berbudi luhur. Meskipun berilmu tinggi, ia tetap santun, rendah hati, dan
suka menolong. Tidak mengherankan jika Asni sangat disegani dan namanya menjadi
cukup terkenal. Suatu malam, warga Kemayoran digemparkan oleh sebuah peristiwa
perampokan di sebuah rumah orang kaya bernama Babah Yong. Harta bendanya dibawa
kabur oleh kawanan perampok. Para centeng (satpam) pun terkapar tak berdaya
saat menghadapi kawanan perampok tersebut. Mendengar kabar itu, penguasa
Kemayoran yang bernama Tuan Ruys, Bek (Kepala Kampung) Kemayoran, dan para opas
(agen polisi) segera mendatangi rumah Babak Yong untuk melakukan penyelidikan.
Setelah mengamati bekas-bekas perampokan itu, Tuan Ruys pun menduga bahwa
pelaku perampokan itu adalah orang yang sakti mandraguna. “Hmm… aku yakin
pelakunya bukanlah orang biasa. Hanya orang berilmu tinggilah yang mampu
mengalahkan para centeng Babah Yong,” kata Tuan Ruys. Dengan dugaan itu,
penguasa Kemayoran itu langsung teringat pada Asni. “Ya, siapa lagi kalau bukan
Asni. Hanya dialah orang sakti di daerah ini,” gumam Tuan Ruys. Tanpa berpikir
panjang, Tuan Ruys segera memerintahkan Kepala Kampung Kemayoran untuk
menangkap Asni. Namun, kepala kampung itu menolak karena ia tidak yakin jika
Asni pelakunya. “Maat, Tuan Ruys. Saya yakin bukanlah Asni pelakunya. Saya
sangat mengenal sifat dan perilakunya,” sanggah sang kepala kampung.
“Kalau begitu, coba tunjukkan siapa
lagi pendekar sakti di Kemayoran ini selain Asni!” ujar Tuan Ruys.
Rupanya, Kepala
Kampung Kemayoran tidak bisa menunjukkan bukti sebagaimana yang diminta Tuan
Ruys. Akhirnya pada malam itu, ia bersama para opas segera menangkap Asni dan
memasukkannya ke dalam penjara. Asni yang merasa tidak bersalah pun menolak
untuk dipenjara. “Maaf, barangkali tuan-tuan keliru menuduh saya sebagai pelaku
perampokan itu. Saat peristiwa itu terjadi saya sedang berada di rumah,” Asni
membela diri. Mendengar pembelaan Asni, akhirnya Kepala Kampung Kemayoran
memerintahkan para opas untuk memanggil keluarga dan tetangga Asni untuk
dijadikan saksi. Setelah mendapat beberapa pertanyaan, mereka pun memberikan
kesaksian bahwa memang benar Asni sedang berada di rumah saat peristiwa
perampokan itu terjadi. “Dugaanku ternyata benar,” kata Bek Kemayoran dalam
hati. Akhirnya Asni pun dibebaskan tapi dengan syarat ia harus menangkap pelaku
perampokan itu. “Jika kamu gagal menangkap perampok itu, maka kamu akan kembali
dipenjara,” ancam Tuan Ruys. Meskipun keputusan itu tidak adil baginya, Asni
pun menerima dengan lapang dada. Ia merasa bahwa menjaga keamanan Kemayoran
juga termasuk tanggung jawabnya. Keesokan harinya, ia mulai mencari pelaku
perampokan yang menyatroni rumah Babah Yong. Karena yakin perampok itu bukanlah
warga Kemayoran, ia pun melakukan pencarian hingga ke kampung-kampung lain.
Salah satunya adalah Kampung Marunda karena ia tahu bahwa kampung itu terkenal
memiliki pendekar sakti bernama Bang Bodong,. Bang Bodong mempunyai seorang
putri yang cantik dan mahir bersilat bernama Mirah. Mira adalah idola bagi
setiap pemuda di Marunda. Bahkan, sudah banyak pemuda yang datang melamarnya,
namun belum seorang pun yang diterima karena tidak memenuhi syarat yang
diajukan Mirah. Syarat itu adalah harus mengalahkan kesaktian Mirah. Sementara
itu, Asni yang hendak memasuki Kampung Marunda tiba-tiba mendapat teguran dari
para penjaga kampung karena tidak melapor. “Hai, anak muda! Berani-beraninya
kamu masuk ke daerah kami tanpa izin,” hardik seorang penjaga. “Masa
siang-siang begini harus melapor,” jawab Asni. Mendengar jawaban itu, para
penjaga kampung menjadi tersinggung karena merasa tidak dihargai. Akhirnya,
terjadilah pertkelahian antara Asni dengan beberapa orang penjaga kampung.
Dengan ketinggian ilmu silatnya, Asni dapat merobohkan para penjaga itu dengan mudah.
Salah satu penjaga kampung kemudian melapor kepada Bang Bodong. “Bang, ada
pengacau yang masuk ke kampung kita!” lapor penjaga itu.
Tanpa banyak tanya, Bang Bodong
bersama Mirah segera menuju ke tempat kejadian. Saat bertemu dengan Asni, Bang
Bodong langsung menyerang pemuda itu. Betapa terkejutnya ia karena
serang-serangannya dapat dipatahkan dengan mudah oleh Asni. Merasa
dipermalukan, Bang Bodong mengeluarkan jurus-jurus pamungkasnya.
Meskipun umurnya
sudah tua, pendekar Marunda itu masih sangat lincah bergerak sehingga Asni
harus bersusah payah berkelit ke sana ke mari untuk menghindar. Setelah
beberapa lama pertarungan itu berlangsung, Bang Bodong mulai kelelahan. Begitu
ia lengah, Asni langsung melayangkan sebuah tendangan keras tepat mengenai lambung
kirinya. Tak ayal, pendekar Marunda itu pun jatuh terpental ke tanah dan tidak
bisa melanjutkan pertarungan. Melihat ayahnya kalah, Mirah langsung menyerang
Asni. Pertarungan antara kedua pendekar itu tampak seimbang meskipun pada
akhirnya Mirah harus mengakui kesaktian Asni. Saat melihat putrinya kalah, Bang
Bodong justru tertawa terbahak-bahak. “Ha…ha… ha… !” “Ayah, kenapa menertawaiku
seperti itu?” tanya Mirah dengan bingung. “Akhirnya datang juga jodohmu,
anakku,” kata Bang Bodong dengan nada menggoda. “Apa maksud, Ayah?” Mirah
kembali bertanya. Bang Bodong segera bangkit lalu mendekati putrinya. “Putriku,
apakah kamu sudah lupa dengan janjimu? Bukankah kamu pernah berjanji bahwa jika
ada pemuda yang mengalahkanmu maka dialah yang akan menjadi jodohmu?” jelas
Bang Bodong mengingatkan putrinya. Mendengar penjelasan itu, Mirah lalu
tersenyum malu-malu. Bang Bodong pun kemudian menyapa Asni. “Maaf, anak muda.
Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu ke Marunda?” tanya Bang Bodong kepada
Asni. Asni pun memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangannya Setelah
mendengar penjelasan Asni, Bang Bodong meminta pendapat Asni mengenai janji
yang telah dibuat putrinya. “Ketahuilah, Asni! Putriku pernah membuat janji
bahwa siapa pun pemuda yang berhasil mengalahkannya, maka dialah yang berhak
menjadi suaminya,” ungkap Bang Bodong seraya bertanya kepada Asni, “Apakah kamu
bersedia menikah dengan putriku?” Pucuk dicinta ulam pun tiba, maksud hati
ingin menangkap perampok, Asni malah mendapat gadis cantik dan sakti. Maka, tak
ada alasan bagi Asni untuk menolak tawaran itu. Akhirnya, Asni dan Mirah pun
menikah. Sebelum pernikahan mereka dilangsungkan, Bang Bodong dan putrinya juga
bersepakat untuk membantu Asni mencari perampok itu.
Setelah melakukan penyelidikan,
mereka menemukan bukti bahwa perampok itu adalah Tirta yang berasal dari
Karawang. Bang Bodong sendiri kenal dengan Tirta karena Tirta beberapa kali
berusaha mendapatkan cinta putrinya, yakni Mirah. Namun, mereka sulit menangkap
Tirta karena keberadaannya tidak diketahui. Setelah berpikir sejenak, akhirnya
Bang Bodong menemukan sebuah cara.
“Satu-satunya
cara untuk menangkap Tirta adalah menjebaknya dalam pesta pernikahan kalian,”
kata Bang Bodong. “Maksudnya?” tanya Asni bingung. “Begini Asni. Tirta itu
sangat mencintai Mirah. Aku yakin, dia pasti datang dalam pesta pernikahan
kalian,” jelas Bang Bodong. Setelah itu, mereka pun segera melakukan
persiapan-persiapan secara matang, termasuk mengirim undangan kepada Tirta di
rumahnya. Selain itu, mereka juga bekerjasama dengan Bek Kemayoran dan Tuan
Ruys dengan mengundang mereka ke pesta tersebut. Beberapa hari kemudian, pesta
pernikahan Asni dan Mirah dilangsungkan di kediaman Bang Bodong. Tampak para
undangan mulai berdatangan, termasuk Bek Kemayoran dan Tuan Ruys yang lengkap
dengan senjatanya. Tak berapa lama kemudian, Tirta pun tiba dan duduk di
barisan kursi paling belakang. Namun, Tirta agak curiga karena ia melihat Bek
Kemayoran dan Tuan Ruys juga hadir dalam pesta itu dan duduk sejajar dengannya.
Sesekali, kedua penguasa dari Kemayoran itu melirik kepada Tirta. Menyadari
dirinya dalam bahaya, Tirta segera meninggalkan pesta itu untuk melarikan diri.
Tuan Ruys dan Bek Kemayoran bersama para opas segera mengejarnya. Asni dan
Mirah turut melakukan pengejaran. Tirta berhasil dikejar sehingga terjadilah
perkelahian antara Tirta melawan Asni dan Mirah. Begitu Tirta lengah, Tuan Ruys
melepaskan tembakan ke arah Tirta dan tepat mengenai dada kanannya. Tak ayal,
pendekar silat dari Karawang itu langsung roboh. Sebelum menghembuskan nafas
terakhir, ia sempat berpesan kepada Asni. “Ketahuilah, Asni! Sebenarnya kita
bersaudara, namun lain ibu. Beruntunglah kamu mendapatkan Mirah. Ia gadis yang
cantik dan baik hati. Tolong jagalah dia baik-baik!” ungkap Tirta. Betapa
terkejutnya Asni mendengar pengakuan Tirta. Ia pun berusaha mengobati luka
saudaranya itu. Namun, nyawa Tirta sudah tidak tertolong lagi. Asni pun tidak
bisa berbuat apa-apa kecuali menyesali semua perbuatan jahat yang telah
dilakukan saudaranya itu. Setelah peristiwa itu, Kemayoran dan Marunda kembali
aman. Asni pun memboyong istrinya ke Kemayoran untuk membuka usaha dagang.
Berkat kegigihan dan keuletannya, usaha mereka pun maju pesat dan mereka pun
hidup berbahagia.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment