“Awang
Garang, Panglima Laut Bermata Satu”
Cerita
Rakyat Riau
Beberapa abad
yang lalu, di sebuah daerah di pesisir Riau, hiduplah seorang pemuda miskin
yang bernama Awang Garang. Kegiatan sehari-harinya menangkap ikan di karang
pantai. Sejak kecil, ia bercita-cita ingin menguasai laut. Untuk meraih
cita-citanya itu, ia rela menjadi tukang masak pada sebuah kapal layar,
meskipun tidak dibayar, agar dapat ikut berlayar mengarungi selat dan lautan di
sekitar Kepulauan Segantang Lada. Sifatnya yang rajin, membuat para Datuk dan
Batin sayang kepada Awang Garang. Ia bahkan dipercaya menjadi pembantu tukang
kapal. Suatu hari, Sultan Riau memerintahkan para Datuk dan Batin untuk membuat
penjajap. Pembuatan penjajap itu Sultan mempercayakannya kepada tujuh Datuk dan
Batin di Temiang, Moro Sulit, Sugi, Bulang, Pekaka, Sekanan, dan Mepar. Tidak
ketinggalan pula Awang Garang dalam kegiatan itu. Tempat pembuatannya
disepakati bersama di sebuah pulau antara Bulang Rempang dan Bintan. Sudah tiga
bulan pembuatan kapal itu berlangsung, namun tidak ada tanda-tanda kapal itu
akan berbentuk. Bahan kayu sudah berkali-kali diganti, dari kayu medang tanduk
berganti kayu medang tembaga, namun tetap juga tidak menampakkan hasil. Para
Datuk dan Batin mulai cemas. Mereka khawatir Sultan akan murka mendengar kegagalan
tersebut. Di tengah rasa cemas itu, tiba-tiba Awang Garang angkat bicara.
“Maaf, Tuan-tuan! Sepengetahuan saya, pembuatan kapal perang itu harus memakai
tiga jenis kayu untuk satu kapal,” ucapan Awang Garang mengejutkan semua Datuk
dan Batin. “Hai Awang, janganlah asal bicara! Apakah kata-katamu itu dapat
dipertanggungjawabkan?” tanya seorang Datuk. “Apabila kata-katamu tidak
terbukti, maka hukuman berat akan kamu terima,” sambung seorang Batin dengan
nada mengancam. “Baiklah, Tuan-tuan. Akan saya buktikan bahwa perkataan saya
benar,” kata Awang Garang dengan penuh keyakinan. Keesokan harinya, para tukang
sibuk mempersiapkan tiga jenis kayu seperti yang diusulkan oleh Awang Garang.
Papan kapal mereka buat dari kayu medang sirai. Kerangka dalam perahu yang
berbentuk seperti gading, mereka buat dari kayu penaga. Sementara lunas kapal
itu mereka buat dari kayu keledang. Setelah tiga bulan, pembuatan kapal itu
tampak mendekati selesai. Sultan yang menerima kabar itu sangat senang dan
melipatgandakan pembayarannya. Tukang-tukang pun semakin giat bekerja.
Pada suatu hari,
ketika Awang Garang sedang mengawasi tukang yang sedang memotong kayu,
tiba-tiba tatal kayu terlempar dan mengenai mata kanannya. “Ya, Allah, pecah
bola mataku,” jerit Awang Gerang menahan sakit. Tanpa disadari, tiba-tiba ia
berkata dengan nada kesal, “Dasar kapal sial, kusumpah kapal ini tidak bisa
diturunkan ke laut!” Mata kanannya yang buta itu ia tutupi dengan penutup mata
berwarna hitam. Awang Garang pun pergi meninggalkan pekerjaannya sebagai
pembantu tukang penjajap. Ia kembali ke desanya menjalani kehidupannya seperti
semula yaitu menangkap ikan di karang pantai. Dua bulan setelah ditinggalkan
Awang Garang, pembuatan penjajap itu pun selesai. Akhirnya tibalah saatnya
untuk diturunkan ke laut. Seluruh tukang telah dikerahkan untuk menurunkannya
ke laut, namun penjajap itu tidak bergeser sedikit pun. Jangankan penjajap itu
bergeser, bergerak pun tidak. Sementera Sultan telah bertitah agar penjajap itu
harus segera melaut untuk menumpas para lanun yang semakin merajalela di
perairan Riau. Para Datuk dan Batin mulai gelisah. Mereka khawatir mendapat
murka dari Sultan. Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba seorang Batin
berbicara, “Sebaiknya kita harus memanggil Awang Garang. Ia pernah menyumpahi
kapal itu sebelum meninggalkan pulau ini beberapa bulan yang lalu. Barangkali
ia memiliki cara lain untuk menurunkan kapal itu ke laut.” Usulan Batin itu
diterima oleh para Datuk dan Batin yang lainnya. Maka, diutuslah salah seorang
Datuk untuk mencari Awang Garang dan memintanya datang ke pulau itu.
Sesampainya di rumah Awang Garang, Datuk itu mendapati Awang Garang sedang
duduk di depan pintu rumahnya. “Hai, Awang Garang! Bukankah telah engkau
sumpahi kapal itu agar tidak bisa melaut?” tanya Datuk kepada Awang Garang.
“Kamu harus menurunkan kapal itu. Kalau tidak, hukuman berat akan kamu terima!”
tambah Datuk mengancam. “Baiklah, Datuk! Saya bersedia menurunkan kapal itu,
asalkan Datuk memenuhi persyaratannya,” jawab Awang Garang tenang. “Ya, kami
bersedia memenuhi apapun persyaratan yang kamu minta,” kata Datuk dengan mantap
tanpa bertanya terlebih dahulu mengenai persyaratan yang akan diajukan Awang
Garang. Mendengar persetujuan dari Datuk, Awang Garang pun segera mengajukan
persyaratannya. “Dengar, Datuk! Saya mempunyai tiga persyaratan yaitu pertama,
berikan tiga puluh tujuh pemuda pembantu, lengkap dengan perkakasnya. Kedua,
semua Datuk dan Batin harus menyaksikan penurunan kapal itu dengan kedua mata
tertutup. Ketiga, siapkan tujuh wanita yang sedang mengandung anak sulung, dan
berpakaian tujuh warna. Tujuh wanita itu harus anak atau kerabat dari Datuk dan
Batin sendiri.” Setelah mengetahui persyaratan yang diajukan Awang Garang,
Datuk itu pun segera melaporkannya kepada Datuk dan Batin lainnya. Oleh karena
terdesak waktu dan takut mendapat murka dari Sultan, para Datuk dan Batin pun
bersedia menerima syarat-syarat tersebut, meskipun mereka rasa sangat janggal
dan berat.
Setelah
persyaratan dilengkapi, maka pada saat purnama, ketika air laut pasang, semua
hadirin telah datang dan ditutup kedua mata mereka dengan kain. Kemudian Awang
Garang membisiki tiga puluh tujuh pemuda tersebut untuk melakukan sesuatu yang
tidak diketahui oleh para Datuk dan Batin. Menjelang malam tiba, terdengar
bunyi peralatan berlepuk-lepuk diiringi jerit dan raung tujuh wanita yang
mengandung sulung tersebut. “Tolooong... ! Jangan lindas perut kami!
Tolooong...!” tangis para wanita itu. Para Datuk dan Batin yang tertutup
matanya menjadi cemas, ngeri dan gelisah mendengar suara tangis tersebut. Di
tengah suasana gaduh itu, tiba-tiba Awang Garang berteriak lantang, “Semua
pergi ke lambung kapal... Siaaap! Dorooong!” pekik Awang Garang. “Rrr...
Rrr...,” suara lunas kapal bergeser. “Kwaaak...! Kwaaak...! Kwaaak!” terdengar
tangis bayi. “Byuuur...,” terdengar suara kapal tercebur ke laut. Para Datuk
dan Batin yang masih tertutup matanya merasa penasaran ingin menyaksikan apa
sebenarnya yang terjadi. Maka dibukanya tutup mata mereka. “Oh, rupanya Awang
Garang memakai pohon yang dikupas kulitnya. Pakai galang kayu licin. Rupanya
harus pakai galang,” kata para Datuk dan Batin bergantian. Sementara ketujuh
wanita yang mengandung sulung tersebut melahirkan anak-anak mereka dengan
selamat. Mereka tidak digilas kapal seperti perkiraan para Datuk dan Batin,
melainkan hanya dibaringkan di dalam lubang yang digali di bawah kapal. awang
garangKonon, delapan belas tahun kemudian, ketujuh bayi tersebut menjadi
panglima penumpas lanun yang berkeliaran di perairan Riau. Mereka diberi gelar
sesuai dengan warna pakaian ibu mereka pada saat melahirkan, yaitu Panglima
Awang Merah, Panglima Awang Jingga, Panglima Awang Kuning, Panglima Awang Ungu,
Panglima Awang Hijau, Panglima Awang Biru, dan Panglima Awang Nila. Di bawah
pimpinan Awang Garang yang bergelar Panglima Hitam Elang di Laut Bermata Satu,
ketujuh panglima tersebut menjadi satu kekuatan dalam menumpas para lanun.
Sejak saat itu, tidak ada lagi lanun yang berani berkeliaran di perairan Riau.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment