“Asal
Mula Nama Dusun Gubukrubuh”
Cerita
Rakyat Yogyakarta
Prabu Brawijaya V adalah Raja Majapahit
yang memerintah pada kurun tahun 1468-1478 Masehi. Raja yang juga dikenal
dengan nama Bhre Kertabumi ini memiliki nama asli Raden Alit. Ia adalah Raja
Majapahit terakhir dan merupakan putra bungsu dari Prabu Sri Rajasawardhana
bergelar Brawijaya II (memerintah sekitar tahun 1451-1453 M). Prabu Brawijaya V
mempunyai permaisuri bernama Putri Campa. Putri yang cantik dan cerdas ini
adalah persembahan dari Kerajaan Tiongkok, yaitu dari Kaisar Yan Lu dari
Dinasti Ming, sebagai tanda persahabatan. Rupanya, kehadiran Putri Campa
menimbulkan pertentangan di kalangan keluarga istana. Maka, dengan berat hati,
Prabu Brawijaya V terpaksa menghibahkan permaisurinya yang sedang mengandung
itu kepada salah seorang putranya, yaitu Arya Damar, yang menjabat sebagai
Adipati Palembang. Arya Damar adalah putra Prabu Brawijaya V dari salah seorang
istri selirnya. Putri Campa kemudian diberangkatkan ke Palembang untuk
mendampingi Arya Damar. Tak berapa lama tinggal di Palembang, Putri Campa
melahirkan seorang anak laki-laki dari hasil perkawinannya dengan Prabu
Brawijaya V. Anak itu diberi nama Jimbun atau yang kelak dikenal sebagai Raden
Patah. Setelah melahirkan Raden Patah, Putri Campa kemudian dinikahi oleh Arya
Damar dan memperoleh seorang anak laki-laki bernama Raden Kusen. Setelah
dewasa, Raden Patah ditunjuk untuk menggantikan ayah tirinya, Arya Damar,
menjadi Adipati Palembang. Namun, ia menolak dan malah pergi ke Jawa bersama
Raden Kusen. Menurut cerita, kedua orang bersaudara tiri tersebut tiba di
pelabuhan Tuban pada sekitar tahun 1419 M. Di Jawa, Raden Patah dan Raden Kusen
kemudian berguru pada Sunan Ampel di Surabaya. Setelah itu, Raden Kusen
mengabdi ke Kerajaan Majapahit namun dengan tetap menyembunyikan jatidirinya.
Kecakapan Raden Kusen membuat karirnya di Kerajaan Majapahit melesat dengan
cepat, hingga ia dipercaya untuk menjabat sebagai Adipati Terung. Sementara
itu, Raden Patah pergi ke Jawa Tengah untuk membuka hutan dan membangun sebuah
pesantren yang diberi nama Pesantren Glagahwangi. Atas kepemimpinannya,
pesantren itu semakin lama semakin maju. Suatu waktu, Raden Kusen yang telah
menjadi Adipati Terung mengundang Raden Patah ke kediamannya. Ia bermaksud
mengajak kakak tirinya itu untuk menemui Prabu Brawijaya V di Kerajaan
Majapahit. Namun, ternyata Prabu Brawijaya V sendiri belum mengetahui jika
Raden Patah adalah anak kandungnya sendiri, dan Raden Kusen adalah putra dari
anaknya, Arya Damar, yang berada di Palembang “Kanda, Raden Patah. Sebaiknya
kita menemui ayahanda Kanda di Majapahit,” ujar Raden Kusen.
“Baiklah. Terima kasih atas kesediaan Adinda.
Kanda pun sudah tidak sabar ingin bertemu dengan beliau,” kata Raden Patah.
Keesokan harinya, keduanya pun berangkat ke Kerajaan Majapahit. Setiba di sana,
Raden Kusen langsung memperkenalkan Raden Patah kepada Prabu Brawijaya V.
“Ampun, Baginda Prabu. Hamba menghadap bersama saudara tiri hamba, Raden
Patah,” ungkap Raden Kusen di hadapan Prabu Brawijaya V. “Lalu, apa maksud
kedatangan kalian ke sini?” tanya sang Prabu. “Ampun, Baginda. Perlu Baginda
ketahui bahwa Raden Patah ini putra Baginda, sedangkan hamba sendiri adalah
anak tiri sekaligus cucu Baginda,” aku Raden Kusen. “Apa katamu?” kata Prabu
Brawijaya tersentak kaget, “Hai, kalian jangan mengaku-ngaku sebagai putraku!”
“Benar. Saya ini putra Baginda,” sahut Raden Patah. Prabu Brawijaya pun semakin
bingung. Ia merasa bahwa dirinya tidak mempunyai putra bernama Raden Patah.
Setelah Raden Patah dan Raden Kusen menceritakan asal usul mereka bahwa mereka
adalah anak dari Putri Campa, barulah Prabu Brawijaya mulai percaya. “Tapi,
bukankah ibunda kalian ada di Negeri Palembang? Bagaimana kalian bisa sampai ke
sini?” tanya Prabu Brawijaya. Raden Kusen dan Raden Patah pun menceritakan kisah
perjalanannya dari Palembang hingga tiba ke Jawa. Mendengar cerita itu, Prabu
Brawijaya pun semakin percaya dan akhirnya mengakui Raden Patah sebagai
putranya. Raden Patah pun diangkat menjadi Bupati Glagahwangi yang kemudian
berganti nama menjadi Demak dengan ibukota di Bintara. Menurut cerita, Raden
Patah pindah dari Surabaya ke Demak sekitar tahun 1475. Dengan dibantu
pamannya, Pangeran Sabrang Lor, Raden Patah mengembangkan Demak Bintoro menjadi
pelabuhan dagang yang ramai. Dalam waktu singkat, para pedagang muslim dari
Cina pun banyak yang menetap di daerah itu, terutama di daerah Semarang, Lasem,
Juwana, dan Tuban. Dua tahun kemudian, Raden Patah yang telah dinobatkan
menjadi Sultan Demak menaklukkan Semarang yang termasuk wilayah bawahannya.
Mendengar kabar tersebut, Prabu Brawijaya V pun mulai khawatir kalau-kalau
putranya itu akan memberontak. Ketika itu, Raden Patah memang berniat untuk
menyerang Kerajaan Majapahit dan mengislamkan ayahandanya beserta seluruh
rakyatnya. Namun, ketika niat itu ia sampaikan kepada Sunan Ampel, sang Sunan
justru menasehatinya. “Jangan, Den! Sebaiknya Raden jangan memberontak pada
Kerajaan Majapahit!” ujar Sunan Ampel kepada Raden Patah., “Walaupun berbeda
agama, Prabu Brawijaya tetaplah ayahanda Raden.”
Raden Patah pun mengurungkan niat
tersebut. Namun, setelah Sunan Ampel meninggal dunia, Raden Patah akhirnya
menyerang Kerajaan Majapahit. Dalam serangan tersebut, Prabu Brawijaya V dan
para pasukannya kalah. Oleh karena malu diajak masuk Islam oleh putranya, ia
bersama sejumlah pengikutnya melarikan diri ke daerah barat hingga tiba di
wilayah Gunungkidul yang terletak di bagian selatan Yogyakarta. Sang Prabu
tidak berani melarikan diri ke utara karena daerah itu sudah dikuasai oleh
tentara Demak dan di pantai utara Jawa telah dihuni oleh para pedagang muslim.
Raden Patah yang mengetahui pelarian ayahandanya pun mengejar karena
menginginkan sang Ayah masuk agama Islam. Sementara itu, Prabu Brawijaya V
bersama pengikutnya yang sudah tiba di Gunungkidul terus menyusuri hutan lebat.
Suatu ketika, sejumlah pengikut sang Prabu berhenti di sebuah gubuk yang berada
di tengah hutan untuk beristirahat karena kelelahan. Namun, tanpa mereka
sadari, ternyata Raden Patah dan pasukannya juga sudah sampai di daerah itu.
Ketika mereka sedang asyik beristirahat di gubuk itu, tiba-tiba pasukan Raden
Patah datang menyergap. Akhirnya, pasukan Prabu Brawijaya V pun menyerah dan
menjadi pengikut Raden Patah, sedangkan sang Prabu berhasil meloloskan diri.
Atas nasihat Sultan Demak itu, pasukan Prabu Brawijaya V yang tertangkap itu
pun masuk agama Islam. Di gubuk itu, mereka diajari cara melaksanakan shalat.
Sejak itu, daerah tersebut diberi nama Dusun Gubukrubuh, yang diambil dari kata
gubuk yaitu tempat mereka pertama kali melaksanakan shalat, dan kata rubuh yang
berarti “runtuh” memiliki dua pengertian, yaitu pengertian secara fisik dan
secara batin. Secara fisik, kata rubuh diartikan sebagai rubuhnya badan pada
saat shalat dari posisi berdiri ke posisi rukuk, kemudian ke posisi sujud.
Secara batin, rubuh diartikan runtuhnya iman atau keyakinan mereka dari
keyakinan agama Hindu menjadi keyakinan agama Islam. Sementara itu, Prabu
Brawijaya V yang berhasil melarikan diri tiba di pantai selatan Gunungkidul. Di
sana, ia mengalami kebuntuan dan tidak tahu harus berlari ke mana lagi karena
terhalang oleh Laut Selatan. Sang Prabu pun merasa bahwa barangkali hidupnya
hanya sampai di situ. Ia pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan
membakar diri hingga tewas karena seluruh tubuhnya kobong atau terbakar. Oleh
masyarakat setempat, pantai tempat Prabu Brawijaya V membakar dirinya itu
dinamakan Pantai Ngobaran, yang diambil dari kata kobar atau kobong.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment