“Bujang
Katak”
Cerita
Rakyat Bangka Belitung
Di
sebuah dusun di
daerah Bangka, Provinsi
BangkaBelitung (Babel), hidup seorang perempuan tua yang sangat
miskin. Ia tinggal
seorang diri di
sebuah gubuk reot
yang terletak di kaki bukit. Ia tidak memiliki sanak saudara. Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya,
ia menggarap sebidang tanah (ladang) warisan orang
tuanya.Pada suatu ketika, musim tanam tiba. Seluruh warga dusun sibuk bekerja
di ladang masing-masing, tidak
terkecuali perempuan tua itu. Namun karena tubuhnya sudah lemah, ia sebentar-sebentar beristirahat
untuk melepas lelah. Ketika
sedang duduk beristirahat,
tiba-tiba ia beranganangan ingin mempunyai
anak.“Seadainya aku mempunyai
anak tentu aku
tidak secapek ini bekerja.
Bagaimana jadinya
nanti kalau aku
sudah tidak mampu
lagi bekerja. Siapa
yang akan menggarap ladang ini?”
pikirnya. Setelah itu, ia
pun kembali melanjutkan
pekerjaannya. Menjelang siang
hari, ia kembali
ke gubuknya untuk beristirahat.
Pada malam harinya,
cuaca tampak terang,
ia duduk-duduk di
depan gubuknya. Pandangan matanya
menerawang ke langit. Ia kembali berangan-angan ingin mempunyai anak. Perempuan
tua itu segera menengadahkan kedua tangannya ke atas lalu berdoa, “Ya, Tuhanku!
Berilah hamba seorang anak, walaupun hanya berbentuk katak.” Berselang tiga
hari kemudian, perempuan tua itu merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam
perutnya.
“Ya Tuhan! Ada apa di dalam perutku ini.
Sepertinya ada benda yang bergerak-gerak,” ucap perempuan itu sambil
mengelus-elus perutnya. Rupanya, ia sedang
mengandung. Tuhan telah
mengabulkan doanya. Alangkah
bahagianya hati perempuan tua
itu. Semakin hari perutnya pun tampak semakin membesar. Para penduduk dusun pun
bertanya-tanya mengenai kehamilan perempuan tua itu.
“Bagaimana si
tua renta itu
bisa hamil? Bukankah
dia itu tidak
mempunyai suami?” kata
seorang penduduk. “Wah, jangan-jangan dia telah berbuat tidak senonoh di
dusun ini,” sahut seorang warga lainnya.
Demikian, perempuan itu setiap hari
menjadi bahan pembicaraan para penduduk. Pada suatu malam, perempuan itu
berteriak-teriak meminta tolong
karena mengalami sakit
perut yang luar
biasa. Mendengar teriakan itu, para warga pun berdatangan hendak
menolongnya. Namun, baru saja sampai di depan gubuk perempuan tua itu, mereka
mendengar suara tangis bayi. Alangkah terkejutnya mereka ketika masuk ke dalam
gubuk.
Ternyata perempuan tua itu telah
melahirkan seorang anak yang bentuk dan kulitnya seperti katak.“Hei, Perempuan
Tua! Bagaimana hal ini bisa terjadi?” tanya seorang warga heran. “Iya. Apakah
kamu telah berhubungan
badan dengan katak?”
tanya warga lainnya
dengan nada mengejek. Perempuan
itu pun menceritakan semua kejadian yang telah dialaminya hingga ia bisa
melahirkan anak berbentuk seekor katak. Setelah mendengar penuturan si
perempuan tua itu, para warga pun kembali ke rumah masing-masing. Sementara
perempuan tua itu tetap
menerima kenyataan dengan
perasaan suka-cita. Ia sadar bahwa kenyataan yang dialaminya adalah
permintaannya sendiri. Ia pun merawat dan membesarkan bayinya dengan penuh
kasih sayang.
Waktu
terus berjalan. Anak
yang mirip katak
itu tumbuh menjadi
dewasa. Penduduk dusun memanggilnya Bujang
Katak. Ia adalah
pemuda yang rajin.
Sejak kecil ia
tidak pernah pergi
ke manamana, kecuali membantu
ibunya bekerja di ladang, sehingga ia tidak mengetahui situasi dan kehidupan di
sekelilingnya. Ibunya pun tidak pernah bercerita kepadanya. Pada suatu hari,
Bujang Katak meminta ibunya agar bercerita kepadanya tentang keadaan di negeri
itu. “Anakku, ketahuilah! Negeri
ini diperintah oleh
seorang raja yang mempunyai
tujuh putri yang
cantik dan rupawan. Ketujuh putri raja tersebut belum seorang pun yang
menikah,” cerita sang Ibu. Sejak
mendengar cerita ibunya
itu, Bujang Katak
selalu tampak murung
membayangkan kecantikan
ketujuh putri sang
Raja. Dalam hatinya,
ia ingin sekali
mempersunting salah seorang
dari mereka. Namun, ia tidak berani mengungkapkan perasaan
tersebut kepada ibunya. Pada suatu sore, sang Ibu melihatnya sedang duduk
termenung seorang diri di depan gubuknya. “Apa
yang sedang kamu
pikirkan, Anakku? Apakah
ada sesuatu yang
mengganggu pikiranmu?” tanya sang Ibu sembari duduk di samping
anaknya. “Benar, Bu!” jawab Bujang Katak singkat.“Apakah itu, Anakku?
Katakanlah!” desak ibunya. “Bu, bukankah aku sekarang sudah dewasa? Aku ingin
mempunyai seorang pendamping hidup. Sudikah Ibu meminang salah seorang putri
raja untukku?” pinta Bujang Katak. Betapa
terkejutnya sang Ibu
mendengar permintaan anaknya
itu. Baginya, permintaan itu
sangatlah berat.“Sungguh berat permintaanmu itu, Anakku! Kita ini orang
miskin. Mustahil dari tujuh putri raja tersebut ada yang mau menikah denganmu,
apalagi melihat kondisimu seperti ini,” ujar sang Ibu. “Tapi, Bu! Sebaiknya Ibu
mencobanya dulu. Siapa tahu salah seorang di antara mereka ada yang mau
menerima lamaranku,” desak Bujang Katak. Oleh
karena sayang kepada
putranya, sang Ibu
pun menyanggupi permintaan
itu. Keesokan harinya, berangkatlah sang Ibu seorang diri
ke istana hendak melamar salah seorang putri raja. Sesampainya di istana, ia
pun disambut dengan baik oleh sang Raja. “Hai, Perempuan Tua! Kamu siapa dan
apa maksud kedatanganmu kemari?” tanya sang Raja. Namun karena tidak berani
berkata terus terang, Ibu Bujang Katak menjawabnya dengan pantun. “Te... sekate
menjadi gelang. Pe... setempe nek madeh pesan urang” Sang Raja yang mengerti
maksud pantun itu kembali bertanya kepada perempuan itu. “Apakah engkau ingin
meminang salah seorang putriku?” “Be... be... benar, Baginda! Hamba mohon ampun
atas kelancangan hamba. Kedatangan hamba kemari ingin menyampaikan
pinangan putra hamba
yang bernama Bujang
Katak kepada salah
seoran g putri Baginda,” jawab
perempuan itu gugup. “Ooo, begitu! Baiklah, aku akan menanyakan dulu hal ini
kepada ketujuh putriku,” kata sang Raja. Sang
Raja pun segera
memanggil ketujuh putrinya
untuk menghadap. Setelah
mengetahui maksud kedatangan perempuan
itu, para putri
Raja bukannya memberikan
jawaban dengan kata-kata
sopan, melainkan memperlakukan perempuan itu dengan tindakan kasar. Satu
per satu mereka maju meludahi kepala perempuan tua itu. Hanya Putri Bungsu yang
tidak melakukan hal itu. Hatinya tidak
tega melihat kakak-kakaknya
berlaku kasar kepada
perempuan tua itu.
Namun, ia juga
tidak berani mengatakan bahwa ia sebenarnya bersedia
menerima pinangan tersebut, karena takut kepada sang Raja. Ibu Bujang
Katak pun pulang
dengan perasaan sedih.
Sesampainy a di gubuk,
ia segera menceritakan semua kejadian
yang dialaminya di
istana kepada Bujang
Katak. Mendengar cerita
ibunya tersebut, Bujang Katak
merasa yakin bahwa Putri Bungsu sebenarnya bersedia menerima pinangannya. “Besok
Ibu harus kembali ke istana untuk menemaniku menghadap sang Raja. Aku yakin
Putri Bungsu akan menerima pinanganku, karena dialah satu-satunya yang tidak
meludahi kepala Ibu,” kata Bujang Katak dengan nada sedikit memaksa. Keesokan harinya,
Bujang Katak bersama
ibunya berangkat ke
istana. Alangkah terkejutnya
sang Raja saat melihat Bujang
Katak yang datang bersama ibunya. “Hei,
perempuan tua! Apakah ini anakmu yang bernama Bujang Katak itu?” tanya sang
Raja. “Benar, Baginda,” jawab ibu Bujang Katak. “Ha... ha...,
pantas saja ia
dinamakan Bujang Katak!
Bentuknya mirip seperti
katak,” ucap sang
Raja mengejek.Setelah itu, sang Raja pun segera memanggil ketujuh
putrinya dan menanyakan apakah mereka bersedia menikah dengan si manusia katak.
Namun, dengan sombongnya, para putri Raja satu per satu meludahi kepala Bujang
Katak, kecuali si Putri Bungsu. Melihat sikap putri bungsunya itu, sang Raja
pun bertanya kepadanya. “Hei, Putriku! Kenapa kamu diam saja? Apakah kamu
bersedia menikah dengan manusia katak itu?” “Ampun, Ayahanda! Jika Ayahanda
merestui, Ananda bersedia menjadi istri Bujang Katak,” jawab Putri Bungsu. Alangkah terkejutnya
sang Raja mendengar
jawaban putrinya itu.
Ia pun segera
meminta nasehat kepada menteri
penasehat Raja. Rupanya,
menteri penasehat Raja
setuju jika Putri
Bungsu men ikah dengan Bujang
Katak. “Baiklah, manusia katak! Kamu boleh menikah dengan putriku, asalkan
sanggup memenuhi satu syarat,” kata sang Raja.“Apakah syarat itu, Baginda?”
tanya Bujang Katak penasaran. “Kamu
harus membuat jembatan
emas yang panjangnya
mulai dari gubukmu
sampai pintu gerbang istana ini. Apakah kamu sanggup
menerima syaratku ini?” tanya sang Raja. Hamba sanggup, Baginda!” jawab Bujang
Katak. “Tapi, ingat! Jembatan
emas itu harus terwujud
dalam waktu satu
minggu. Jika tidak, maka
hukuman mati yang akan kamu dapatkan,” ancam sang Raja. Bujang Katak
pun tidak gentar
terhadap ancaman sang
Raja. Dengan perasaan
gembira, ia bersama ibunya segera
kembali ke gubuknya.
Sesampainya di gubuk,
sang Ibu kebingungan
memikirkan cara untuk memenuhi
permintaan sang Raja
tersebut. Ia tidak
ingin kehilangan anak
yang sangat disayanginya itu. “Anakku!
Bagaimana kita dapat mewujudkan permintaan Raja, sementara kita ini orang
miskin?” tanya sang Ibu bingung. “Tenang,
Bu! Aku akan
pergi bertapa di
suatu tempat yang sepi.
Jika Yang Mahakuasa
menghendaki, apapun bisa terjadi,” jawab Bujang Katak dengan penuh
keyakinan. Pada saat hari
mulai gelap, Bujang
Katak ditemani ibunya
pergi ke suatu
tempat yang sepi
di tengah hutan untuk
bertapa. Sudah enam
hari enam malam
ia dan ibunya
bertapa, namun belum
juga menemukan tanda-tanda akan
datangnya keajaiban.
Pada
malam ketujuh, keajaiban
itu pun tiba. Seluruh
tubuh Bujang Katak
memancarkan sinar berwarna
kekuning-kuningan. Kulit katak
yang menyelimuti seluruh tubuhnya sedikit demi sedikit mengelupas.
Secara ajaib, Bujang Katak pun berubah menjadi pemuda yang tampan dan gagah.
Kemudian ia membakar kulit katak pembalut tubuhnya itu. Maka seketika
itu pula, kulit
katak tersebut menjelma
menjadi tumpukan emas
batangan. Dengan
perasaan gembira,
Bujang Katak bersama
ibunya segera menyusun
emas batangan tersebut
dari gubuknya hingga pintu
gerbang istana. Dalam
waktu semalam, terwujudlah
sebuah jembatan emas seperti yang diminta oleh sang Raja.
Keesokan
harinya, istana menjadi gempar.
Sang
Raja beserta seluruh keluarga istana yang mengetahui keberadaan jembatan
emas itu segera
berlari menuju ke arah
pintu gerbang istana. Sang
Raja sangat kagum melihat
keindahan jembatan emas
itu. Batangan-batangan emas
yang diterpa sinar
matahari pagi tersebut memancarkan sinar kekuning-kuningan. Beberapa
saat kemudian, dari kejauhan tampak seorang perempuan tua berjalan beriringan
dengan seorang pemuda tampan dan gagah sedang menuju ke arah tempat mereka
berdiri. “Hei, Pengawal! Siapa kedua orang itu?” tanya sang Raja kepada
pengawalnya. “Ampun, Baginda! Bukankah
perempuan tua itu
ibunya Bujang Katak?
Tapi, Baginda, hamba
tidak mengenal siapa pemuda yang sedang berjalan bersamanya itu,” jawab
seorang pengawal.
Ketika
perempuan tua dan
pemuda itu sampai
di depannya, sang
Raja pun segera
bertanya, “Hei, perempuan tua!
Siapa pemuda itu?” “Dia Bujang Katak,
putra hamba,” jawab
perempuan tua itu
lalu menceritakan semua
peristiwa yang dialami Bujang
Katak hingga ia bisa berubah menjadi pemuda yang tampan. Bujang Katak pun
segera berlutut memberi hormat kepada sang Raja.“Ampun, Baginda! Hamba ini
Bujang Katak,” kata Bujang Katak.Betapa
terkejutnya sang Raja
beserta seluruh keluarga
istana. Mereka benar-benar
tidak pernah mengira sebelumnya
jika Bujang Katak adalah seorang pemuda yang gagah dan tampan. “Baiklah, Bujang
Katak! Karena kamu telah memenuhi persyaratanku, maka sesuai dengan janjiku,
aku akan menikahkanmu dengan putri bungsuku,” kata sang Raja. Beberapa hari
kemudian, pesta pernikahan
Bujang Katak dengan
Putri Bungsu dilangsungkan
selama tujuh hari tujuh
malam. Para undangan yang
datang dari penjuru
negeri turut gembira
dan bahagia menyaksikan pesta
pernikahan tersebut. Namun,
lain halnya dengan
keenam kakak Putri
Bungsu, mereka sangat sedih dan menyesal karena telah menolak pinangan
Bujang Katak. Usai pesta perkawinan tersebut, keenam kakak Putri Bungsu
memerintahkan kepada seorang pengawal istana untuk pergi menangkap katak di
sawah. Mereka mengira bahwa Bujang Katak berasal dari katak biasa yang hidup
di sawah. Tidak berapa lama, pengawal
itu pun kembali dari sawah sambil membawa enam
ekor katak. Setiap
putri mendapat seekor
katak, lalu membawanya
masuk ke dalam
kamar masing-masing dan memasukkannya
ke dalam lemari
dengan harapan katak-katak
tersebut akan menjelma menjadi
seorang pemuda tampan seperti Bujang Katak. Tujuh hari
kemudian, keenam putri
tersebut membuka lemari
masing-masing. Namun malang
nasib mereka, katak-katak tersebut bukannya menjelma menjadi pemuda
tampan, melainkan mati dan sudah berulat
karena tidak diberi
makan.
Bau
busuk pun menyebar
ke mana-mana. Keenam
putri tersebut
keluar
dari kamarnya sambil muntah-muntah. Akhirnya seisi istana menjadi gempar.
Seluruh penghuni istana turut muntah-muntah karena mencium bau busuk itu. Sang
Raja pun menjadi murka melihat perbuatan keenam putrinya tersebut dan memberi
hukuman kepada
mereka, yaitu memerintahkan
mereka untuk membersihkan
kamar masing-masing dari bau
busuk itu. Bujang
Katak dan Putri
Bungsu pun hanya
tersenyum melihat kelakuan
keenam kakaknya tersebut. Beberapa tahun kemudian. Sang Raja sudah tidak
mampu lagi menjalankan tugas-tugas kerajaan karena usianya yang sudah semakian
tua. Akhirnya, ia pun mengundurkan diri dan menobatkan Bujang Katak sebagai
raja. Bujang Katak bersama istrinya memimpin negeri itu dengan arif dan
bijaksana.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment