“Kua
Siga Wunga”
Cerita
Rakyat NTT
Di Kampung Ngada Kepulauan Flores, ada seorang gadis
cantik keturunan bangsawan bernama Bue Gae. Ia seorang putri yang cantik nan
rupawan, sederhana, dan baik hati. Suatu malam, sang putri terjaga dari
tidurnya dan sulit untuk memejamkan matanya kembali. Ia baru saja bermimpi
bertemu dengan seorang pemuda perkasa dan tampan saat ia hendak mengambil air
di pancuran bambu di dekat rumahnya. Pemuda yang murah senyum itu kemudian
mengambilkannya air di pancuran bambu tersebut. Kemurahan hati pemuda itu
benar-benar memikat hati sang putri. “Siapa pemuda itu? Kenapa aku sulit
melupakannya?” gumam Putri Bue Gae. Hati sang putri sangat gelisah karena
senyum menawan pemuda itu selalu terbayang-bayang di pelupuk matanya. “Ah, ini hanya
mimpi. Aku harus melupakan pemuda itu,” sang putri kembali bergumam. Dua bulan
kemudian, Putri Bue Gae mengetahui dirinya sedang hamil. Ia sendiri heran
karena dirinya selama ini tidak pernah berhubungan dengan lelaki mana pun. Sang
putri bermaksud merahasiakan hal itu kepada kedua orang tuanya, namun rahasia
tersebut tak dapat ia simpan lama karena perutnya semakin hari semakin membesar
sehingga menimbulkan kecurigaan bagi kedua orang tuanya. “Hai, Putriku? Kenapa
perutmu besar begitu?” tanya sang ayah curiga, “Wah, jangan-jangan kamu hamil.”
Putri Bue Gae dengan malu-malu mengaku bahwa dirinya memang sedang hamil.
Mendengar jawaban itu, sang ayah pun menduga bahwa putrinya telah melanggar
hukum adat. “Putriku, siapakah ayah dari anak yang kamu kandung itu?
Katakanlah!” desak sang ayah. Putri Bue Gae hanya terdiam sambil menunduk.
Setelah beberapa saat merenung, ia kemudian menjawab bahwa dirinya tidak pernah
sama sekali berhubungan dengan seorang laki-laki. “Tapi bagaimana mungkin kamu
bisa hamil jika tidak pernah berhubungan dengan seorang laki-laki?” sanggah
sang ayah
“Maafkan Putri,
Ayah! Putri juga heran dengan kejadian ini. Putri hanya pernah bermimpi bertemu
dengan seorang pemuda gagah perkasa dua bulan yang lalu. Tapi, Putri tidak tahu
siapa dia dan berasal dari mana,” ungkap sang putri sambil meneteskan air mata.
Melihat putri semata wayangnya menangis, sang ibu pun ikut meneteskan air mata
dan segera memeluknya. Suasana haru pun menyelimuti hati keluarga itu.
“Putriku, Ayah dan Ibumu mungkin bisa mengerti dan percaya pada perkataanmu
itu. Tapi bagaimana dengan penduduk di sini? Apakah mereka juga akan mengerti
dan mempercayaimu?” kata sang ayah. “Lalu, bagaimana caranya kita meyakinkan
mereka?” sahut sang ibu. “Satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah putri
kita harus menyatakan kebenaran yang ia yakini di hadapan seluruh warga. Namun,
saya tidak yakin kalau cara ini dapat berhasil. Oleh karena itu, putri kita
harus bersiap-siap untuk meninggalkan kampung ini,” ujar sang ayah. Keesokan
hari, sidang adat pun dilaksanakan di Balai Desa untuk mengadili Putri Bue Gae.
Dalam persidangan itu, sang putri menyampaikan pembelaannya dengan bersumpah
secara adat. Aku yang sejati Seperti hitamnya jelaga para-para Aku yang sejati
Ibarat keringnya serpihan bulu-bulu pegunungan Aku yang berada di sini Pada
kandang kebenaran Aku yang berada di sini Pada rumah kebaikan Aku bersumpah
Dari kedalaman hati yang bening Tak siapa yang mendekatiku Tak siapa yang
memegangku Aku yang sejati seperti hitamnya jelaga para-para Aku yang sejati
ibarat keringnya serpihan bulu pegunungan Berawal dari petuah Leluhurku Bermula
dari teladan Leluhurku Lantaran kehendak Dewata di langit tinggi Yang
melindungi Segala makhluk berperasaan Di atas alam raya Meskipun Putri Bue Gae
telah menyampaikan sumpahnya, namun sidang adat tetap memutuskan bahwa
kebenaran masalah tersebut akan diserahkan pada hukum alam. Berdasarkan
keputusan tersebut, maka sang putri pun harus diusir dari kampung itu.
Pada esok
harinya, Putri Bue Gae diarak sampai ke ujung kampung menuju arah matahari
terbenam. Selanjutnya, putri cantik yang malang itu berjalan menyusuri hutan
belantara bersama anjing kesayangannya yang bernama Dala Kuwe. Setelah sampai
di tempat pengasingan di tengah hutan, sang putri tinggal bersama anjingnya di
dalam sebuah gua yang cukup luas dan nyaman untuk didiami. Beberapa bulan
kemudian, Putri Bue Gae pun melahirkan seorang bayi laki-laki. Bersamaan dengan
lahirnya bayi tersebut muncul seberkas cahaya yang disertai dengan bunyi suara
seperti berikut. Berbapakan Angkasa putra Matahari Alan seperti api matahari
Yang bercahaya menggapai Dewata Yang menerangi sesama manusia Yang membuat
siang segala yang bernama Mendengar suara tersebut, Putri Bue Gae pun semakin
yakin bahwa anak yang dilahirkan bukanlah anak haram dan anak manusia biasa,
tetapi berbapak angkasa dan putra matahari. Anak itu seperti api matahari yang
memancarkan cahaya dan kelak akan menerangi semua manusia. Sang putri pun
merawat bayinya dengan penuh kasih sayang hingga tumbuh menjadi anak yang
pemberani. Saat berusia tujuh tahun, anak itu sudah mahir berburu dan mengiris
tuak. Suatu hari, ketika hendak mengiris tuak, anak itu mendapati bambu
penyimpanan tuaknya tidak berisi air tuak setetes pun. “Hai, siapa yang mencuri
air tuakku?” gumamnya, “Aku harus menangkap pencuri itu.” Keesokan hari, anak
itu bersama anjingnya pagi-pagi sekali bersembunyi di bawah pohon tuak itu.
Pada saat tengah hari, datanglah seekor burung rajawali merah hinggap di atas
pohon itu. Tanpa diduga, burung rajawali itu tiba-tiba diselimuti awan putih,
lalu berubah wujud menjadi seorang bayi, kemudian seorang remaja, lalu seorang
pemuda dewasa, lantas seorang laki-laki setengah baya yang berwibawa, dan
terakhir sebagai seorang kakek yang berjanggut putih. Ketika kakek itu
mencelupkan janggutnya ke dalam bambu tuak yang berlubang, kilat bocah lelaki
yang pemberani itu dengan secepat kilat menangkap janggut si kakek sehingga
terjadilah tarik-menarik di antara mereka.
Walaupun sudah
tua, kakek itu ternyata masih memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga tarik
menarik tersebut berakhir dengan tercabutnya pohon tuak. Keduanya pun
melayang-layang di angkasa. Setelah mereka mengitari matahari hingga tiga kali,
sang kakek pun menyerah. “Hai, bocah perkasa! Kakek mengakui keperkasaanmu.
Akulah yang mencuri tuakmu,” aku kakek itu, “Hukumlah aku!” “Tidak, Kek! Karena
Kakek telah jujur, maka saya tidak akan menghukum Kakek. Saya lebih suka
perdamaian,” kata anak itu. “Wah, kamu memang anak yang berhati mulia dan
bijaksana. Kakek bangga padamu,” puji kakek itu, “Berbahagialah Ibu yang telah
melahirkan dan membesarkanmu.” “O, ya, Kek! Kalau boleh saya tahu, Kakek siapa
dan berasal dari mana?” tanya anak itu. Kakek tersenyum lebar seraya berkata
kepada bocah itu. “Kalau kamu ingin tahu tentang diri Kakek, tunggulah dua hari
lagi. Kakek akan datang menemui ibumu dan pada saat itu juga Kakek akan
memberimu hadiah sejenis binatang yang akan muncul dari dalam lubang pohon tuak
itu. Binatang itu harus kamu beri nama kaba (kerbau) karena ia muncul pada saat
kita kabau (makan makanan persembahan),” ujar kakek itu. Usai berkata demikian,
kakek itu tiba-tiba kembali berubah menjadi burung rajawali merah lalu terbang
ke arah matahari terbenam. Sebelum meninggalkan tempat itu, ia sempat berpesan
kepada anak itu. “Wahai, cucuku. Segeralah kamu tinggalkan tempat ini! Sebentar
lagi matahari akan terbenam,” ujarnya. Dua hari kemudian, anak itu bersama ibu
dan anjing kesayangan mereka menunggu kedatangan sang kakek di loka tua (tempat
tuak). Ketika hari beranjak siang, burung rajawali itu pun datang dari arah
matahari dan segera hinggap di loka tua. Beberapa saat kemudian, awan putih
menyelimuti seluruh tubuhnya sehingga terjadilah proses penjelmaan. Ketika
Putri Bue Gae menyaksikan proses penjelmaan burung rajawali merah itu menjadi
seorang pemuda, jantung sang putri langsung berdetak kencang dan darahnya
mengalir sangat cepat. “Pe… pe… Pemuda itu. Pemuda itu yang pernah hadir dalam
mimpiku,” ucap Putri Bue Gae dengan gugup. Usai berkata demikian, sang putri
tiba-tiba jatuh pingsan. Melihat hal tersebut, laki-laki penjelmaan rajawali
merah yang sebatas sebagai pemuda gagah perkasa itu segera menghampiri dan
menyentuh kening sang putri.
Sungguh ajaib! Putri Bue Gae
langsung siuman dan memeluk pemuda perkasa itu. Ia telah menyadari bahwa pemuda
itu adalah ayah dari anaknya. Keduanya kemudian menjelaskan hubungan mereka
kepada anak mereka. Pertanyaan bocah itu tentang siapa ayahnya pun sudah
terjawab. Ternyata, ayahnya berasal dari langit perkasa yang bernama Kua Siga
Wunga. Untuk merayakan kebahagiaan tersebut, mereka membuat perjamuan sebagai
tanda syukur dan perdamaian dengan memotong seekor kerbau. Setelah genap masa
pembuangannya, Putri Bua Gae bersama suami dan anaknya kembali ke perkampungan.
Namun, sebelum diterima sebagai warga kampung yang sah, mereka harus melalui
sebuah ujian yakni menapaki laja sue (anak-anak tangga yang terbuat dari pedang
yang sangat tajam). Jika mereka berhasil menapaki laja sue itu tanpa terluka
sedikit pun, keluarga dan keturunan mereka berhak memperoleh status Gae Meze
(bangsawan). Sebaliknya, jika terluka, mereka akan mendapat status Azi Ana
(hamba sahaya). Alhasil, Putri Bua Gae bersama suami dan anaknya berhasil
menapaki laja sue tersebut satu per satu tanpa terluka sedikit pun sehingga
mereka diterima kembali menjadi warga kampung yang sah dan seluruh keluarganya
mendapat status Gae Meze.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment