“Empat
Sultan di Maluku Utara”
Cerita
Rakyat Maluku
Pada zaman
dahulu kala, di daerah Maluku Utara, ada seorang pemuda tampan bernama Jafar
Sidik. Tak seorang pun warga yang mengetahui asal-usul keluarganya. Ia tinggal
sendirian di sebuah rumah kecil di Desa Salero Ternate. Untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, Jafar Sidik mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya ke
pasar. Di tengah hutan tempat ia biasanya mencari kayu bakar terdapat sebuah
telaga yang berair jernih, sejuk, dan dikelilingi oleh pepohonan yang rindang.
Setiap orang yang berada di tempat itu hatinya akan merasa nyaman dan tenteram.
Itulah sebabnya telaga itu disebut dengan Telaga Air Sentosa. Suatu sore,
sepulang mencari kayu bakar, Jafar Sidik duduk-duduk di tepi telaga itu untuk
melepaskan lelah. Sore itu, cuaca tampak cerah. Ia duduk di atas sebuah batu
besar sambil merendam kakinya dalam air telaga. Pandangannya menerawang ke
langit yang berwarna jingga. Pada saat itulah, tiba-tiba pandangannya tertuju
pada setitik cahaya berwarna-warni. Semakin lama cahaya itu semakin memanjang
dan semakin jelas, kemudian ujungnya jatuh di tengah Telaga Air Sentosa.
“Sungguh aneh! Tak ada gerimis, tak ada hujan, tapi ada pelangi,” gumam Jafar
Sidik. Baru selesai bergumam, tiba-tiba Jafar Sidik melihat di atas ujung lengkungan
pelang itu muncul tujuh wanita cantik dengan pakaian warna-warni sesuai dengan
warna pelangi. Ada yang berbusana warna merah, jingga, kuning, hijau, biru,
nila, dan ungu. Ketujuh wanita yang tak lain bidadari dari Kahyangan itu
kemudian terbang ke tepi telaga. Jafar Sidik pun segera bersembunyi di balik
sebuah pohon besar sambil mengawasi tindak-tanduk mereka. Rupanya, ketujuh
bidadari cantik tersebut hendak mandi di telaga itu. Mereka melepas
selendangnya dan meletakkannya di atas bebatuan, kemudian mereka masuk ke dalam
telaga. Dengan riangnya mereka mandi dan bermain-main air diselingi dengan
canda tawa. Jafar Sidik terus mengawasi ketujuh bidadari itu dari balik
pepohonan. Ia sangat terpesona melihat kecantikan mereka. Di antara ketujuh
bidadari tersebut, bidadari yang berbaju ungulah yang paling cantik. Dia adalah
adik yang paling bungsu.
“Aduhai...
cantik sekali bidadari yang berpakaian ungu itu,” gumam Jafar Sidik dengan
kagum. Jafar Sidik pun langsung jatuh hati dan berniat untuk memperistrinya. Namun,
ia bingung karena bidadari itu pasti akan terbang kembali ke Kahyangan. Setelah
berpikir sejenak, Jafar Sidik menemukan sebuah cara. Pada saat ketujuh bidadari
itu tengah asyik bersendau gurau, ia melangkah perlahan-lahan sambil
berjingkat-jingkat menuju ke tempat pakaian para bidadari tersebut diletakkan.
Dengan cepat, ia mengambil selendang yang berwarna ungu. Setelah itu, ia segera
kembali bersembunyi di balik pohon besar dan menyembunyikan selendang tersebut
di balik bajunya. Hari pun semakin sore. Tibalah saatnya para bidadari tersebut
kembali ke negerinya di Kahyangan. “Adik-adik, hari sudah menjelang malam. Ayo
kita segera pulang sebelum pelangi itu menghilang!” ajak bidadari berbaju
merah, kakak yang tertua. Keenam adiknya pun menurut. Mereka segera naik ke
darat dan mengenakan selendang masing-masing. Namun, bidadari yang bungsu masih
kebingungan, karena selendangnya hilang. “Ayo cepat, Bungsu! Pelangi sudah
hampir menghilang!” seru bidadari berbaju hijau. “Tunggu sebentar, Kak!
Selendangku tidak ada. Padahal, tadi aku meletakkannya di atas bebatuan ini
bersama dengan selendang Kakak,” kata bidadari yang berbaju ungu tiba-tiba.
Bidadari bungsu pun segera mencari selendangnya dan dibantu oleh keenam
kakaknya. Mereka sudah mencarinya ke mana-mana, namun tidak menemukannya.
Walaupun harus meninggalkan si Bungsu seorang diri, keenam bidadari lainnya
memutuskan untuk segera pulang, karena pelangi sudah mulai memudar. “Maafkan
kami, Adikku! Kami terpaksa meninggalkanmu seorang diri sini. Jaga dirimu baik-baik!”
ujar bidadari yang sulung. “Jangan tinggalkan aku, Kak!” teriak si Bungsu
sambil meratap. Namun, keenam kakaknya sudah terbang meninggalkannya. Tak lama
kemudian mereka pun menghilang bersamaan dengan hilangnya pelangi itu. Bidadari
bungsu pun menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya. “Ayah... Ibu..., kenapa
nasibku begini?” Jafar Sidik merasa kasihan melihat bidadari bungsu itu. Ia pun
segera menghampirinya. “Hai, Bidadari cantik! Siapa namamu? Kenapa kamu
menangis dan bisa berada di tempat ini seorang diri?” tanya Jafar Sidik
pura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada bidadari bungsu itu. “Nama hamba
Putri Boki Nurfaesyah, Tuan! Hamba tidak bisa kembali lagi ke Kahyangan karena
selendang hamba hilang entah ke mana. Apakah Tuan melihatnya?” tanya Putri Boki
Nurfaesyah.
Jafar Sidik
tidak memberitahunya kalau dialah yang telah mengambil selendang bidadari itu.
Karena hari sudah hampir malam, Jafar Sidik mengajak Putri Boki Nurfaesyah ke
rumahnya. Putri Boki Nurfaesyah pun menerima ajakan itu. Saat tengah malam,
ketika Putri Boki Nurfaesyah tertidur pulas, Jafar Sidik menyembunyikan
seledang berwarna ungu itu di bubungan rumahnya. Sejak tinggal bersama Putri
Boki Nurfaesyah, keinginan Jafar Sidik untuk menikahi putri itu semakin kuat.
Pada suatu hari, ia pun menyampaikan niat itu kepada Putri Boki Nurfaesyah.
“Wahai, Putri Boki! Kebetulan aku belum berkeluarga dan tidak mempunyai sanak
saudara di sini. Maukah engkau menjadi pendamping hidupku?” ungkap Jafar Sidik.
Putri Boki Nurfaesyah hanya terdiam. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan itu.
Sebenarnya ia ingin sekali kembali ke negerinya untuk berkumpul bersama
keluarganya. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa kembali ke negerinya, karena
selendangnya hilang. Akhirnya, ia pun terpaksa menerima lamaran Jafar Sidik.
“Baiklah, hamba bersedia menerima lamaran Tuan, tapi Tuan harus memenuhi satu
syarat,” jawab Putri Boki Nurfaesyah. “Apakah syaratmu itu, Putri Boki?” tanya
Jafar Sidik penasaran. “Tuan harus berjanji tidak akan mencegah hamba pulang ke
Kahyangan jika hamba menemukan kembali selendang hamba,” jawab Putri Boki
Nurfaesyah. Jafar Sidik pun menerima syarat itu, karena ia berpikir bidadari
bungsu itu tidak akan bisa menemukan selendangnya. Akhirnya, mereka pun
menikah. Pasangan pengantin baru itu pun hidup bahagia, tenteram, dan damai.
Jafar Sidik pun semakin tekun dan rajin bekerja. Kini, ia tidak hanya mencari
kayu bakar, tetapi juga menanam sayur-sayuran di ladang. Pagi-pagi sekali ia
sudah berangkat ke ladang dan baru kembali ke rumah saat hari mulai petang.
Beberapa tahun kemudian, Jafar Sidik dan Putri Boki Nurfaesyah telah dikaruniai
empat orang anak laki-laki yang masih kecil-kecil. Semakin lengkaplah
kebahagiaan Jafar Sidik. Ia pun mendidik anak-anaknya agar taat memegang dan
melaksanakan ajaran agama Islam. Ia juga mengajarkan kepada mereka agar hidup
saling menyayangi, tolong-menolong, dan rukun antara sesama saudara. Ia
berharap keempat anaknya kelak menjadi orang yang bertanggung jawab. Kehadiran
keempat anak tersebut membuat Jafar Sidik semakin bersemangat bekerja. Putri
Boki Nurfaesyah pun merasa berbahagia hidup bersama suami dan anak-anaknya.
Namun, di tengah-tengah kebahagiaan itu, tiba-tiba muncul keinginan untuk
pulang ke negerinya, jika ia telah menemukan selendangnya. Suatu hari, ketika
suaminya sedang bekerja di ladang, Putri Boki Nurfaesyah melihat ada pelangi di
atas bubungan rumah mereka. Ia pun mengamatinya. Pada saat itulah, ia melihat
sehelai kain berwarna ungu terselip di bubungan rumah. Ia pun mengambil kain
itu. Setelah diamati, ternyata kain itu adalah selendangnya.
Ia pun
mengetahui bahwa orang yang telah menyembunyikan selendangnya selama ini adalah
suaminya sendiri. Tanpa menunggu kedatangan suaminya pulang dari ladang, ia pun
berpamitan kepada anak-anaknya untuk segera kembali ke Kahyangan. “Maafkan Ibu,
anak-anakku! Ibu harus pergi meninggalkan kalian. Jagalah diri kalian baik-baik
dan patuhlah kepada ayah kalian!” ujar Putri Boki Nurfaesyah kepada
anak-anaknya. “Ibu mau pergi ke mana?” tanya si Sulung. “Ketahuilah, anak-anakku!
Ibu ini adalah seorang bidadari dari Kahyangan. Sebelum menikah, Ibu dan ayah
kalian telah mengikat janji bahwa jika suatu hari kelak Ibu menemukan selendang
Ibu yang hilang di tepi Telaga Air Sentosa, Ibu akan kembali ke Kahyangan,”
ungkap sang Ibu. “Ibu.... jangan tinggalkan kami. Kami sangat sayang kepada
Ibu,” ratap si Bungsu. “Iya, Bu! Jika Ibu pergi, siapa lagi yang akan mengurus
si Bungsu,” tambah anak ketiganya sambil menangis. “Maafkan Ibu, anak-anakku!
Ibu harus segera pergi sebelum pelangi itu hilang. Ibu sudah bertekad kembali
menemui keluarga Ibu di Kahyangan,” kata Putri Boki Nurfaesyah sambil
meneteskan air mata. Sesaat, suasana di rumah itu menjadi hening. Hati ibu dan
keempat anak tersebut diselimuti perasaan haru. Dengan isak tangis haru,
keempat anak itu terus membujuk sang Ibu agar tidak meninggalkan mereka. Namun,
isak tangis mereka tidak dapat lagi membendung tekad sang Ibu. Putri Boki
Nurfaesyah pun segera melilitkan selendang itu di pingganngya, lalu memegang
kedua ujungnya seraya mengepak-ngepakkannya. Perlahan-lahan kakinya pun
terangkat seperti tak berpijak di bumi. Tiba-tiba Putri Boki Nurfaesyah
meliukkan badannya, dan seketika itu ia pun terbang melayang, membubung ke
angkasa menuju negeri Kahyangan. Tak berapa lama, ia pun menghilang bersamaan
dengan hilangnya pelangi. Keempat anaknya terperangah menyaksikan peristiwa
tersebut. Sejak itu, Putri Boki Nurfaesyah tidak pernah lagi kembali ke bumi.
Saat malam menjelang, Jafar Sidik pulang dari ladangnya. Alangkah terkejutnya ia
ketika mendapati anak-anaknya sedang menangis tersedu-sedu. “Hai, kenapa kalian
menangis? Ke mana Ibu kalian?” tanya Jafar Sidik dengan perasaan cemas. Si
Sulung pun menceritakan bahwa sang Ibu telah pergi. Betapa terkejutnya Jafar
Sidik mendengar cerita itu. Ia sangat sedih dan menyesal karena tidak mampu
menjaga keutuhan keluargannya. Namun, Jafar Sidik tidak ingin berlarut-laut
dalam kesedihan, karena ia masih memiliki tugas dan tanggung jawab untuk
mendidik dan membesarkan anak-anaknya. Sejak itu, Jafar Sidik pun harus membagi
waktunya bekerja di ladang dan mengasuh anak-anaknya. Ia baru berangkat ke
ladang setelah mengurus keempat anaknya, dan kembali ke rumah saat hari
menjelang siang. Jafar Sidik kembali lagi ke ladang setelah anak-anaknya makan
siang, dan pulang ke rumah sebelum malam menjelang.
Begitulah
kegiatan Jafar Sidik setiap hari sejak ditinggal pergi oleh istrinya. Waktu
terus berjalan. Keempat putra Jafar Sidik menjadi pemuda yang tampan, taat
beragama, dan berjiwa sosial. Saat Maluku Utara dibagi dalam susunan
pemerintahan, putra-putra Jafar Sidik tersebut diangkat menjadi pemimpinnya.
Putra pertamanya menjadi sultan di Bacan, putra kedua menjadi sultan di
Jailolo, putra ketiga menjadi sultan di Tidore, dan putra keempat menjadi
sultan di Ternate. Dari merekalah kemudian lahir pemimpin-pemimpin Maluku.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment