“Asal
Usul Burung Cenderawasih”
Cerita
Rakyat Papua Barat
Pada zaman
dahulu hiduplah seorang perempuan tua bersama anjing betinanya di daerah
Pegunungan Bumberi, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Suatu hari, si
perempuan tua dengan anjing kesayangannya sedang mencari makanan di hutan. Hari
itu, mereka harus berjalan cukup jauh karena persediaan makanan di sekitar
rumahnya sudah mulai berkurang. Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba di
suatu tempat yang dipenuhi oleh pohon buah merah (sejenis pandan khas Papua)
yang kebetulan telah berbuah. Perempuan tua itu segera memetik buah merah lalu
diberikan kepada anjingnya yang kelaparan. Anjing betina itu langsung melahap
buah merah hingga badannya terlihat segar kembali. Namun, beberapa saat
kemudian, tiba-tiba anjing itu merasakan sesuatu yang bergerak-gerak di dalam
perutnya. Perut anjing betina itu semakin membesar seperti sedang bunting.
Ajaib, hanya dalam waktu yang tidak lama, anjing betina itu melahirkan seekor
anak anjing yang mungil. Melihat keajaiban itu, perempuan tersebut juga
bermaksud memakan buah merah agar mendapatkan keturunan seperti yang dialami
oleh anjingnya. “Oh, ajaib sekali buah merah itu,” kagum perempuan itu. “Aku
ingin mencoba buah itu agar aku bisa melahirkan anak.” Perempuan itu segera
memetik buah merah lalu memakannya. Begitu ia menelan buah tersebut, perutnya
tiba-tiba mengalami hal yang serupa dengan anjingnya, perutnya semakin lama
semakin membesar. Segera saja sang perempuan bergegas pulang ke pulang. Setiba
di rumah, ia akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama
Kweiya. Sepuluh tahun kemudian, Kweiya telah tumbuh menjadi remaja. Kweiya
sangat rajin membantu ibunya bekerja dengan membuka hutan untuk dijadikan kebun
sayur. Namun karena hanya menggunakan kapak batu, ia hanya mampu menebang satu
batang pohon setiap hari. Sementara itu, ibunya hanya bisa membantu membakar
daun-daun dari pohon yang telah rebah. Akibatnya, asap tebal pun mengepul dan
membumbung tinggi ke udara. Tanpa mereka sadari, ternyata asap tebal tersebut
telah menarik perhatian seorang pria tua yang sedang mengail di sebuah sungai.
“Hai, dari mana
asal asap tebal itu? Siapa yang sedang membakar hutan?” gumam pria tua itu.
Oleh karena penasaran, pria tua itu segera mencari sumber asap tebal tersebut.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, sampailah ia di tempat asap
itu berasal. Di tempat itu, ia mendapati seorang remaja tampan sedang menebang
pohon di bawah terik matahari. “Weing weinggiha pohi (selamat siang), anak
muda,” sapa pria tua itu. “Siapa kamu dan mengapa menebang hutan di sini?”
“Nama saya Kweiya. Saya ingin membuat kebun untuk membantu ibu saya” jawab
Kweiya Pria tua itu mengerti bahwa Kweiya adalah anak yang berbakti kepada
orang tua. Maka, ia pun memberikan kapak besinya kepada Kweiya. “Kalau begitu,
ambillah kapak besi ini. Kamu akan lebih cepat menebang pohon,” kata pria tua
itu. “Terima kasih Pak,” jawab Kweiya. Kweiya pun dapat menyelesaikan
pekerjaannya dengan cepat. Dalam waktu singkat, ia mampu merobohkan beberapa
pohon yang besar. Setelah itu, ia bergegas pulang untuk menceritakan hasil
pekerjaannya kepada ibunya. Ibunya pun amat heran saat mendengar cerita itu.
“Bagaimana kamu bisa secepat itu menebang pohon-pohon, anakku? Alat apa yang
kamu gunakan?” tanya ibunya heran. Kweiya terdiam sejenak. Ia tampaknya ingin
merahasiakan pria tua yang telah membantunya itu. “Aku tidak tahu juga, Bu.
Kebetulan tadi tangan saya terlalu ringan mengangkat kapak sehingga dapat
menebang pohon dengan cepat,” jawab Kweiya. Mendengar jawaban itu, ibu Kweiya
percaya begitu saja. Sementara itu, Kweiya meminta agar ibunya menyiapkan
makanan yang banyak. Rupanya, Kweiya bermaksud mengajak pria tua itu ikut makan
bersama sekaligus memperkenalkannya kepada ibunya. “Bu, besok tolong siapkan
makanan yang banyak,” pinta Kweiya. Keesokan harinya, ibu Kweiya memasak
makanan yang cukup banyak. Sementara itu, Kweiya ingin membuat kejutan untuk
ibunya. Ketika dalam perjalanan pulang ke pondoknya, ia membungkus pria tua itu
dengan sejumlah pohon tebu lengkap dengan daunnya. Setiba di rumah, bungkusan
tersebut diletakkan di depan pintu. Setelah itu, ia masuk ke dalam rumah dan
seolah-olah merasa sangat haus. Ia pun meminta ibunya agar mengambilkan
sebatang tebu untuk melepas rasa dahaganya. “Bu, aku haus sekali. Tolong ambilkan
sebatang tebu di depan pintu itu,” pinta Kweiya. Ibu Kweiya pun menuruti
permintaan anaknya. Saat sang ibu membuka bungkusan daun tebu, ia sangat
terkejut karena mendapati seorang pria tua sedang berbaring di dalam bungkusan.
Seketika, ia pun menjerit ketakutan seraya berlari masuk ke dalam pondok.
“Kweiya, siapa
pria tua itu? Kenapa dia ada di dalam bungkusan itu?” tanya ibunya heran.
Kweiya tersenyum seraya menenangkan hati ibunya. “Maafkan aku, Bu,” ucap
Kweiya. “Aku tidak bermaksud menakuti-nakuti Ibu. Sebenarnya, pria tua itulah
yang telah menolongku menebang pohon di hutan. Aku mohon Ibu mau menerimanya
sebagai teman hidup!” Ibu Kweiya terdiam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia
menerima permintaan anaknya. Sejak saat itu, pria tua tersebut tinggal bersama
mereka. Kweiya dan ibunya pun tidak merasa kesepian lagi. Selang beberapa tahun
kemudian, ibu Kweiya melahirkan dua anak laki-laki dan seorang perempuan dari
hasil perkawinannya dengan pria tua itu. Kweiya menganggap ketiga adiknya
tersebut sebagai adik kandung. Mereka hidup rukun dan saling menyayangi. Namun,
hubungan persaudaraan mereka akhirnya menjadi retak karena kedua adik
laki-lakinya merasa iri terhadap Kweiya. Mereka iri karena Kweiya selalu
mendapat perhatian khusus dari ibu mereka. Suatu hari, ketika kedua orangtua
mereka sedang ke kebun, kedua adiknya mengeroyok Kweiya hingga luka-luka.
Meskipun merasa kesal, Kweiya tidak tega membalas perbuatan kedua adiknya. Ia
lebih memilih bersembunyi di salah satu sudut pondoknya sambil memintal tali
dari kulit binatang sebanyak mungkin. Pintalan benang tersebut nantinya akan
dibuat sayap. Sementara itu, orangtua Kweiya baru saja tiba dari kebun. Ketika
mengetahui Kweiya sedang tidak ada di rumah, sang ibu kemudian bertanya kepada
adik-adik Kweiya. “Ke mana abang kalian pergi?” tanya sang ibu. “Tidak tahu
Bu,” jawab kedua adik laki-laki Kweiya serentak. Kedua adik laki-laki Kweiya
ini rupanya takut menceritakan peristiwa perkelahian mereka yang menyebabkan
Kweiya pergi dari rumah. Namun, adik bungsu mereka yang menyaksikan peristiwa
tersebut menceritakannya kepada ibu mereka. Betapa sedihnya sang ibu saat
mendengar cerita putri bungsunya itu. Ia kemudian berteriak memanggil-manggil
Kweiya agar cepat kembali ke rumah. Namun, bukan Kweiya yang datang, melainkan
suara burung yang terdengar. “Eek.. ek... ek... ek..!” begitu suara burung itu.
Suara itu ternyata suara Kweiya yang telah menyisipkan pintalan benang pada
ketiaknya lalu melompat ke atas bubungan rumah dan selanjutnya terbang ke atas
salah satu dahan pohon di depan rumah mereka. Kweiya rupanya telah berubah
menjadi seekor burung yang amat indah dan bulunya berwarna-warni. Melihat
peristiwa ajaib itu, sang ibu pun menangis tersedu-sedu sambil meminta benang
pintalan kepada Kweiya. “Kweiya, anakku. Apakah masih ada benang pintalan
untukku?” tanya sang Ibu.
“Bagian Ibu aku
sisipkan di dalam payung tikar,” jawab Kweiya. Sang ibu pun segera mengambil
pintalan benang itu lalu menyisipkan pada ketiaknya. Setelah berubah menjadi
burung, ia kemudian mengepak-kepakkan sayapnya lalu terbang menyusul Kweiya
yang bertengger di dahan pohon. Konon, kedua burung yang kini dikenal sebagai
burung cenderawasih tersebut terlihat bercakap-cakap dengan kicauan mereka.
“Wong... wong... wong... wong...! Ko... ko... kok... ! Wo-wik!” demikian
kicauan mereka yang tidak diketahui maksudnya. Sejak itulah, burung
cenderawasih jantan dan betina sering muncul di Fakfak, Papua Barat, dengan
warna berbeda. Oleh masyarakat Onin, burung cenderawasih jantan yang bulunya
cenderung lebih panjang kemudian dalam bahasa Lha disebut Siangga, sedangkan
burung cenderawasih betina disebut Hanggam Tombor. Kedua adik laki-laki Kweiya
yang menyaksikan peristiwa ajaib itu hanya bisa pasrah ditinggalkan oleh ibu
dan kakak mereka. Mereka akhirnya saling menyalahkan sehingga mereka saling
lempar abu tungku. Wajah mereka pun menjadi kelabu hitam, abu-abu, dan ada juga
yang menjadi warna merah. Seketika itu pula, mereka pun berubah menjadi burung
dan kemudian terbang ke hutan rimba untuk menyusul ibu dan kakak mereka. Itulah
sebabnya, hutan rimba di Fakfak lebih banyak dipenuhi oleh beragam burung yang
kurang menarik dibandingkan dengan burung cenderawasih.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment