“Ande
Ande Lumut”
Cerita
Rakyat Jawa Timur
Di daerah Jawa
Timur, Indonesia, berdirilah dua buah kerajaan kembar, yaitu Kerajaan Jenggala
yang dipimpin oleh Raja Jayengnegara dan Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh
Raja Jayengrana. Menurut cerita, dahulunya kedua kerajaan tersebut berada dalam
satu wilayah yang bernama Kahuripan. Sesuai dengan pesan Airlangga sebelum
meninggal, kedua kerajaan tersebut harus disatukan kembali melalui suatu ikatan
pernikahan untuk menghindari terjadinya peperangan di antara mereka. Akhirnya,
Panji Asmarabangun (putra Jayengnegara) dinikahkan dengan Sekartaji (Putri
Jayengrana). Pada suatu ketika, Kerajaan Jenggala tiba-tiba diserang oleh
kerajaan musuh. Di saat pertempuran sengit berlangsung, Putri Dewi Sekartaji
melarikan diri dan bersembunyi ke sebuah desa yang jauh dari Jenggala. Untuk
menjaga keselamatan jiwanya, ia menyamar sebagai gadis kampung dan mengabdi
kepada seorang janda yang kaya raya bernama Nyai Intan. Nyai Intan mempunyai
tiga orang putri yang cantik dan genit. Mereka adalah Kleting Abang (sulung),
Kleting Ijo, dan Kleting Biru (bungsu). Oleh Nyai Intan, Dewi Sekartaji
diangkat menjadi anak dan diberi nama Kleting Kuning. Di rumah Nyai Intan,
Kleting Kuning selalu disuruh mengerjakan seluruh perkerjaan rumah seperti memasak,
mencuci, dan membersihkan rumah. Ia sering dibentak oleh Nyai Intan dan
diperlakukan tidak senonoh oleh ketiga kakak angkatnya. Bahkan, ia terkadang
diberi makan sehari satu kali oleh ibu angkatnya. Sementara itu, di Kerajaan
Jenggala, Panji Asmarabangun bersama pasukannya berhasil memukul mundur pasukan
musuh. Namun, ia sangat sedih karena istrinya telah pergi meninggalkan istana
Jenggala dan tidak ditahui keberadaannya. Setelah keadaan di Kerajaan Jenggala
kembali tenang dan aman, sang Pangeran memutuskan untuk mencari istrinya. Namun
sebelum itu, ia memerintahkan beberapa pengawalnya untuk mencari jejak
kepergian istrinya. Suatu sore, ketika ia sedang duduk di pendopo istana,
datanglah seorang pengawalnya untuk menyampaikan laporannya. “Ampun, Baginda!
Hamba ingin menyampaikan berita gembira untuk Baginda,” lapor pengawal itu.
“Apakah kamu telah mengetahui keberadaan istriku?” tanya Panji Asmarabangun
dengan tidak sabar.
“Ampun, Baginda!
Hamba hanya menemukan seorang gadis yang mirip dengan isti Baginda di sebuah
dusun. Namun, hamba belum yakin dia itu istri Baginda, karena ia hanya seorang
gadis kampung yang bekerja sebagai pembantu pada seorang janda kaya,” jelas
pengawal itu. Mendengar laporan itu, sang Pangeran pun memutuskan untuk
menyamar menjadi seorang pangeran tampan yang sedang mencari jodoh. Keesokan
harinya, berangkatlah ia bersama beberapa orang pengawalnya ke Desa Dadapan
yang berada di dekat Sungai Bengawan Solo, Lamongan. Desa itu berseberangan
dengan desa tempat tinggal Kleting Kuning. Di desa itu, Panji Asmarabangun
menyamar dengan nama Ande Ande Lumut dan tinggal di rumah seorang janda tua
bernama Mbok Randa. Beberapa hari kemudian, ia pun memerintahkan para
pengawalnya agar pengumuman sayembara mencari jodoh itu segera disebarkan kepada
seluruh pelosok desa. Dalam waktu singkat, berita tentang pelaksanaan sayembara
itu tersebar hingga ke desa seberang, desa tempat tinggal Kleting Kuning.
Betapa senangnya hati Kleting Abang, Ijo, dan Biru mendengar kabar itu. Mereka
akan berdandan sencantik-cantiknya untuk menaklukkkan hati sang Pangeran
Tampan, Ande Ande Lumut. “Asyik… Asyik...!!! Kita akan berdandan
secantik-cantiknya. Kalau salah seorang di antara kita menjadi putri raja, ibu
pasti akan senang,” kata Kleting Abang. Pada hari sayembara itu dimulai,
Kleting Abang, Ijo, dan Biru pun segera berdandan dengan sangat mencolok.
Mereka mengenakan pakaian yang paling bagus dan perhiasan yang indah. Saat
mereka sedang asyik berdandan, Kleting Kuning mendekati mereka. “Wah, kalian
cantik sekali!” puji Kleting Kuning. “Hai, Kleting Kuning! Apakah kamu ingin
mengikuti sayembara juga?” tanya Kleting Abang. “Ah, tidak mungkin! Baju pun
kamu tak punya. Apakah kamu mau ikut sayembara dengan baju seperti itu?” sahut
Kleting Ijo dengan mencela. “Benar, kamu tidak pantas ikut sayembara ini! Lebih
baik kamu di rumah mengurus semua pekerjaanmu. Ayo, pergilah ke sungai mencuci
semua pakaian kotor itu!” seru Kleting Biru sambil menunjuk ke pakaian ganti
mereka yang sudah kotor. Kleting Kuning segera mengumpulkan pakaian kotor itu
lalu pergi ke sungai. Sebenarnya, ia pun tidak tertarik untuk mengikuti
sayembara itu, karena ia masih teringat kepada suaminya, Panji Asmarabangun. Ia
akan selalu setia kepada suaminya meskipun belum mendengar kabar tentang
keadaannya apakah masih hidup atau sudah tewas dalam peperangan. Ketika ia
sedang mencuci di sungai, tiba-tiba seekor burung bangau datang menghampirinya.
Anehnya, burung bangau itu dapat berbicara layaknya manusia dan kedua kakinya
mencengkram sebuah cambuk.
“Wahai, Tuan Putri! Pergilah ke
Desa Dedapan mengikuti sayembara itu! Di sana Tuan Putri akan bertemu dengan
Panji Asmarabangun. Bawalah cambuk ini! Jika sewaktu-waktu Tuan Putri membutuhkan
pertolongan, Tuan Putri boleh menggunakannya,” ujar sang burung bangau seraya
meletakkan cambuk itu di atas batu di dekat Kleting Kuning.
Belum sempat
Kleting Kuning berkata apa-apa, burung bangau itu sudah terbang ke angkasa dan
seketika itu pula menghilang dari pandangan mata. Tanpa berpikir panjang lagi,
Kleting Kuning pun segera kembali ke rumah dan bersiap-siap berangkat menuju
Desa Dadapan. Sementara itu, ketiga saudara dan ibu angkatnya telah berangkat
terlebih dahulu. Kini mereka telah sampai di tepi Sungai Bengawan Solo. Mereka
kebingungan, karena harus menyeberangi sungai yang luas dan dalam itu,
sementara tak satu pun perahu yang tampak di tepi sungai. “Bu, bagaimana
caranya kita menyeberangi sungai ini?” tanya Kleting Ijo kebingungan. “Iya, Bu!
Apa yang harus kita lakukan?” tambah Kleting Biru. “Hai, coba lihat itu! Makhluk
apa itu?” seru Kleting Abang. Betapa terkejutnya Nyai Intan dan ketiga putrinya
ketika mengetahui bahwa makhluk itu adalah seekor kepiting raksasa yang sedang
terapung di atas permukaan air. Menurut cerita, kepiting raksasa yang bernama
Yuyu Kangkang itu adalah utusan Ande Ande Lumut untuk menguji para peserta
sayembara yang melewati sungai itu. “Hai, Kepiting Raksasa! Maukah kamu
membantu kami menyeberangi sungai ini?” pinta Kleting Abang. Yuyu Kangkang
tertawa lebar. “Ha... ha... ha...!!! Aku akan membantu kalian, tapi kalian
harus memenuhi satu syarat,” ujar Yuyu Kangkang. “Apakah syaratmu itu, hai
Kepiting Raksasa? Katakanlah!” desak Kleting Ijo. “Apapun syaratmu, kami akan
memenuhinya asalkan kami dapat menyeberangi sungai ini.” “Kalian harus menciumku
terlebih dahulu sebelum aku mengantar kalian ke seberang sungai,” kata Yuyu
Kangkang. Akhirnya, Kleting Abang dan kedua adiknya menerima persyaratan Yuyu
Kangkang. Satu persatu mereka mencium si Yuyu Kangkang. Setelah itu, Yuyu
Kangkang pun mengantar mereka ke seberang sungai. Selang beberapa saat
kemudian, Kleting Kuning juga tiba di tepi sungai. Ketika Yuyu Kangkang
mengajukan persyaratan yang sama, yaitu meminta imbalan ciuman, Kleting Kuning
menolaknya. Ia tidak ingin menghianati suaminya. Meski ia tidak mau memenuhi
syarat itu, ia tetap memaksa si Yuyu Kangkang untuk membantunya menyeberangi
sungai. Berkali-kali Kleting Kuning memohon, namun kepiting raksasa itu tetap
menolak, kecuali Kleting Kuning mau memenuhi syarat itu.
Kleting Kuning
pun mulai habis kesabarannya. Ia segera memukulkan cambuknya ke sungai dan
seketika itu pula air Sungai Bengawan Solo menjadi surut. Melihat hal itu, Yuyu
Kangkang menjadi ketakutan dan segera menyeberangkan Kleting Kuning, dan bahkan
sekaligus mengantarnya hingga sampai di Desa Dadapan. Setibanya di rumah Nyai
Intan, Kleting Kuning bertemu dengan ketiga saudara dan ibu angkatnya. Tak
berapa lama kemudian, sayembara pun dimulai. Secara bergiliran, Kleting Abang
dan kedua adiknya menunjukkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya di hadapan Ande
Ande Lumut. Namun, tak seorang pun di antara mereka yang dipilih oleh Ande Ande
Lumut. Melihat hal itu, Nyai Intan pun berlutut memohon kepada Ande Ande Lumut
agar memilih salah satu putrinya untuk dijadikan permaisuri. “Ampun, Pangeran!
Hamba mohon, terimahlah salah seorang dari ketiga putriku ini! Kurang cantik
apalagi mereka dengan dandanan yang sebagus itu?” iba Nyai Intan. Ande Ande
Lumut hanya tersenyum. “Memang benar, ketiga putri Nyai cantik semua. Tapi, aku
tetap tidak akan memilih seorang pun dari mereka,” kata Ande Ande Lumut tanpa
memberikan alasan. “Pengawal! Tolong panggilkan gadis yang berbaju kuning itu
kemari!” seru Ande Ande Lumut sambil menunjuk ke arah seorang gadis yang duduk
paling belakang. Rupanya, gadis yang ditunjuk oleh Ande Ande Lumut itu adalah
Kleting Kuning. Ketika Kleting Kuning menghadap kepadanya, pangeran tampan itu
bangkit dari singgasananya. “Aku memilih gadis ini sebagai permaisuriku,” kata
Ande Ande Lumut. Betapa terkejutnya semua orang yang hadir di tempat itu,
terutama Nyai Intan dan ketiga putrinya. “Ampun, Pangeran! Kenapa Pangeran
lebih memilih gadis yang tak terurus itu dari pada ketiga putriku yang cantik
dan menarik ini?” tanya Nyai Intan ingin tahu. Ande Ande Lumut kembali
tersenyum, lalu berkata: “Wahai, Nyai Intan! Ketahuilah, aku tidak memilih
seorang pun dari putrimu, karena mereka ‘bekas’ si Yuyu Kangkang. Aku memilih
gadis ini, karena dia lulus ujian, yakni menolak untuk mencium si Yuyu
Kangkang,” jelas Ande Ande Lumut. Mendengar penjelasan itu, Nyai Intan dan
ketiga putrinya baru sadar bahwa mereka ditolak oleh Ande Ande Lumut karena
tidak lulus ujian. Sementara itu, Kleting Kuning masih kebingungan, karena
belum menemukan suaminya. Namun, setelah Ande Ande Lumut membongkar penyamarannya
bahwa dirinya adalah Panji Asmarabangun, barulah Kleting Kuning sadar. Dengan
cambuk sakti pemberian si burung bangau, ia segera mengubah dirinya menjadi
seorang putri yang cantik jelita. Panji Asmarabangun baru sadar ternyata
Klenting Kuning adalah istrinya, Dewi Sekartaji. Akhirnya, sepasang suami istri
yang saling mencintai itu bertemu kembali dan hidup berhagia. Sebagai ucapan
terima kasih kepada Mbok Randa, Panji Asmarabangun membawanya serta tinggal di
istana Jenggala. Sementara Nyai Intan dan ketiga putrinya kembali ke desanya
dengan perasaan kecewa dan malu.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment