“Sandubaya
dan Lala Seruni”
Cerita
Rakyat NTB
Dahulu, saat
Kerajaan Lombok dipimpin oleh Prabu Kertajagat atau Prabu Kertajaya, hiduplah
sepasang suami istri muda, yaitu Sandubaya dan Lala Seruni. Kecantikan Lala
Seruni tiada duanya di negeri itu. Wajahnya bagaikan bulan purnama, putih
bersih dan cemerlang bersinar. Suatu malam, Sandubaya bersama istrinya sedang
beribadah di Pura Kayangan. Dengan khusyuk, keduanya duduk di atas sehelai
tikar sambil mengatupkan kedua telapak di depan ubun-ubun dan ujung jari-jari
mereka menjepit sehelai bunga. Di depan mereka tampak sebuah dupa sebagai
pengantar sembah mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Usai berdoa, keduanya pun
bersiap-siap untuk pulang. Ketika mereka hendak meninggalkan pura, tiba-tiba
Prabu Kertajaya datang bersama rombongannya, juga bermaksud untuk
bersembahyang. Melihat kedatangan sang Raja, Sandubya dan Lala Seruni segera
memberi hormat. Prabu Kertajaya pun membalasnya dengan senyum dan tatapan penuh
kekaguman kepada Lala Seruni. Ia terus memperhatikan istri Sandubaya itu saat
berjalan meninggalkan pura hingga hilang dari pandangannya. “Hai, Patih! Siapa
wanita cantik itu? Apakah kamu mengenalnya?” “Hamba, Baginda Prabu! Wanita itu
bernama Lala Seruni, sedangkan pemuda yang bersamanya itu adalah suaminya.
Mereka baru saja menikah beberapa hari yang lalu,” jelas sang Patih. Rupanya,
Prabu Kertajaya terpikat pada kecantikan Lala Seruni. Wajah cantik wanita itu
terus berbayang-bayang dan mengganggu konsentrasinya saat bersembahyang. Pada
saat itu, timbullah niatnya untuk memperistri Lala Seruni, walaupun wanita
cantik itu telah bersuami. “Aku harus mendapatkan wanita cantik itu,” kata
Prabu Kertajaya dalam hati. Usai sembahyang, sang Prabu segera mengajak
rombongannya kembali ke istana dan mengumpulkan para penasehatnya di ruang
sidang untuk membicarakan rencana tersebut. “Lala Seruni adalah wanita
tercantik yang pernah aku lihat di negeri ini. Aku harus merebutnya dari tangan
Sandubaya,” kata sang Prabu kepada para penasehatnya, “Apakah di antara kalian
ada yang tahu caranya?” Semua pembesar kerajaan yang hadir terdiam sejenak.
Mereka sedang berpikir keras untuk menjawab pertanyaan raja mereka. Tak berapa
lama kemudian, sang Patih angkat bicara untuk menyampaikan isi pikirannya
kepada sang Prabu.
“Ampun, Baginda
Prabu! Hamba tahu caranya,” kata sang Patih. “Apakah itu, wahai Patih? Ayo,
cepat katakan!” desak Prabu Kertajaya dengan tidak sabar. “Menurut hamba,
sebaiknya kita mengajak Sandubaya berburu ke hutan lalu kita lenyapkan nyawanya
dengan seolah-olah diterkam binatang buas. Dengan cara ini, Lala Seruni tidak
akan mencurigai kita,” saran sang Patih. “Wah, kamu memang cerdas, Patihku,”
puji sang Prabu, “Aku terima usulan itu.” Keesokan harinya, Prabu Kertajaya
segera mengutus beberapa orang prajuritnya ke rumah Sandubaya untuk mengajaknya
berburu ke hutan Gebong. Setiba di sana, para utusan segera menyampaikan
perintah sang Prabu kepada Sandubaya. Sementara itu, betapa terkejutnya
Sandubaya dan Lala Seruni saat melihat kedatangan mereka yang secara tiba-tiba.
Apalagi, baru kali mereka didatangi oleh para prajurit kerajaan. “Maaf, ada apa
gerangan tuan-tuan datang ke mari?” tanya Sandubaya penasaran. “Begini,
Sandubaya. Kami diutus ke mari untuk mengajak kamu pergi berburu ke hutan
Gebong bersama sang Prabu,” ungkap salah seorang utusan, “Besok pagi sang Prabu
menunggumu di istana untuk kemudian berangkat bersama-sama ke hutan.’ Sandubaya
tak kuasa menolak ajakan sang Prabu. Ia adalah rakyat yang amat taat kepada
rajanya. “Baiklah, Tuan! Hamba siap memenuhi titah sang Prabu,” jawab
Sandubaya. Setelah para utusan tersebut pergi, Lala Seruni mendekati suami
tercintanya. “Kakak, sejak kedatangan prajurit tadi, Adik merasakan firasat
yang buruk dengan ajakan raja itu. Sebaiknya Kakak mengurungkan niat itu,”
bujuk Lala Seruni. “Adikku, relakanlah Kakak pergi. Semoga saja tidak akan
terjadi sesuatu pada diri Kakak,” kata Sandubaya menenangkan hati istrinya.
“Bila besok kuda Kakak Gagar Mayang pulang sendirian, itu berarti Kakak telah
tiada. Kakak menunggumu di pantai Manganga Baris,” pesan Sandubaya lebih
lanjut. Keesokan harinya, Sandubaya memacu kudanya yang bernama Gagak Mayang
menuju istana dan diikuti oleh anjing kesayangannya yang bernama Getah. Setiba
di istana, ia bersama dan rombongan Prabu Kertajaya pun berangkat ke hutan
Gebong dengan membawa alat perburuan seperti tombak, golok, dan panah. Setiba
di hutan Gebong, semua anggota rombongan segera mencari binatang buruan.
Sementara itu,
Sandubaya terlihat seorang diri menunggang kudanya sedang mengincar seekor babi
hutan yangbersembunyi di balik rerimbunan semak belukar. Dengan konsentrasi
penuh, ia perlahan-lahan menarik tombak yang ada di tangannya lalu
melemparkannya ke arah babi hutan itu. Apa yang terjadi? “Aduuuuh….!” Sandubaya
menjerit kesakitan karena sebuah tombak menancap di punggunngnya. Ia pun
terjatuh dari atas punggung kudanya dan tewas seketika. Rupanya, bersamaan
dengan ia melemparkan tombaknya ke arah babi hutan itu, seorang prajurit
menombaknya dari belakang. Melihat tuannya tak bergerak lagi, si Getah menyalak
dan segera menyerang prajurit itu. Namun, anjing kesayangan Sandubaya itu pun
ditombak oleh para prajurit hingga mati. Kuda Gagar Mayang yang melihat
peristiwa itu segera berlari pulang. Sementara itu, di rumah, Lala Seruni sudah
gelisah sejak kepergian suaminya. Ia terus berdoa agar laki-laki yang
dicintainya tetap selamat. Namun, semua harapan itu pupus saat melihat Gagar
Mayang pulang sendirian. “Oh, Kakak! Kamu benar-benar telah pergi meninggalkan
Adik,” kata Lala Seruni. Tanpa berpikir panjang, Lala Seruni segera menunggangi
kuda Gaga Mayang lalu memacunya menuju hutan Gebong. Setibanya di sana, ia pun
tak kuasa menahan tangis saat melihat mayat suaminya. Prabu Kertajaya pun
dengan kepura-puraannya berduka cita atas kematian Sandubaya di hadapan Lala
Seruni. “Maafkan kami, Lala Seruni! Kami tidak dapat menyelamatkan nyawa
suamimu dari amukan babi hutan,” bujuk Prabu Kertajaya. Meskipun tahu bahwa
suaminya meninggal bukan karena kecelakaan, Lala Seruni tidak berkata apa-apa.
Ia hanya pasrah atas nasib yang menimpa suaminya. Dengan bantuan para prajurit,
mayat Sandubaya pun dibawa pulang untuk dikuburkan. Keesokan hari, Prabu
Kertajaya pun mengirim utusannya untuk menjemput Lala Seruni untuk dibawa ke
istana. Mulanya, istri Sandubaya itu menolak. Namun, ia tidak kuasa melawan
puluhan prajurit yang memaksanya. Kuda Gagak Mayang milik Sandubaya yang juga
akan dibawa serta pun menolak dan menyepak para prajurit yang hendak
menariknya. Malang nasib kuda itu, ia terpaksa ditombak oleh para prajurit
tersebut hingga mati. Setelah Lala Seruni tiba di istana, sang Prabu mulai
membujuknya untuk dinikahi. Namun, janda muda itu menolaknya. Ia pun semakin
yakin bahwa suaminya mati bukan karena kecelakaan tetapi memang sengaja
dicelakai oleh sang Prabu yang ingin sekali menikahi dirinya. Hal itulah yang
membuat sedih Lala Seruni. Berhari-hari ia mengurung diri di dalam kamar serta
tidak mau makan dan minum. Walaupun Prabu Kertajaya telah berkali-kali
menjenguk dan membujuknya, ia tetap menolak untuk menikah dengan raja yang
bengis itu. Setelah hatinya mulai tenang, Lala Seruni mulai terbuka pikirannya.
“Kini saatnya aku harus bertindak,”
katanya dalam hati.
Ketika sang
Prabu datang lagi untuk membujuknya, Lala Seruni pun berkata. “Baiklah, Baginda
Prabu. Hamba mau menikah dengan Baginda tapi dengan satu syarat,” ungkap Lala
Seruni. “Apa pun syarat itu, akan kupenuhi wahai calon permaisuriku yang
cantik,” kata Prabu Kertajaya dengan nada merayu. “Sebelum kita menikah,
izinkan hamba mandi di pantai Menanga Baris,” pinta Lala Seruni. “Oh, tentu.
Itu syarat yang amat mudah,” jawab Kertajaya, “Besok aku akan mengantarmu ke
sana.” Pada esok hari, Prabu Kertajaya bersama para punggawanya mengantar Lala
Seruni ke Pantai Menanga Baris. Setiba di sana, mereka pun mandi dengan bersuka
ria. Lala Seruni tampak gelisah menunggu kedatangan suaminya. Agar gelagaknya
tidan dicurigai oleh sang Prabu, ia sesekali menyelam dan memercikkan air pada
wajahnya. Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba sekuntum teratai berwarna merah
dan besar muncul dari tengah laut. “Baginda, tolong ambilkan teratai itu untuk
hamba!” pinta Lala Seruni. Prabu Kertajaya pun segera memerintahkan beberapa
prajuritnya untuk mengambil teratai itu. Ketika salah seorang dari mereka
hendak memetiknya, tiba-tiba sekawanan ikan datang menyerang mereka hingga
terluka parah. Melihat kejadian itu, sang Prabu segera turun tangan. Namun, ia
pun diserang oleh kawanan ikan yang ganas itu hingga terluka. Sementara itu,
bunga teratai yang besar itu terus bergerak menuju ke tempat Lala Seruni
berdiri. Begitu mendekat, Lala Seruni pun naik ke atasnya. Dengan cepat,
teratai itu bergerak ke tengah laut dan mengantarkan Lala Seruni ke tempat
penantian suaminya. Menyaksikan kejadian itu, sang Prabu dan para prajuritnya
hanya bengong. Mereka tidak mampu mencegahnya. Lala Seruni pun semakin jauh ke
tengah laut hingga dari pandangan mereka. Menurut cerita, Lala Seruni
dikabarkan hilang dan bertemu dengan suaminya di alam arwah. Sementara itu,
kakak Sandubaya yang bernama Demung Brangbantun murka mendengar
kesewenang-wenangan Prabu Kertajaya terhadap adik dan iparnya. Ia pun
menyiapkan pasukannya untuk menyerang Prabu Kertajaya. Menurut cerita,
pertempuran tersebut berlangsung cukup lama. Suatu hal yang menarik dalam
peperangan ini adalah pasukan Kertajaya menggunakan senjata berupa binatang
laut, sedangkan pasukan Demung Brangbantun menggunakan jajanan dan makanan
lainnya. Penggunaan senjata yang demikian diusulkan oleh Prabu Rangkasari untuk
menghindari korban jiwa. Akhirnya, pasukan Demun Brangbantun berhasil
mengalahkan pasukan Kerajaan Lombok. Kekalahan itu membuat Raja Kertajaya malu
sehingga ia membenturkan kepalanya ke batu hingga akhirnya tewas di tempat. Sepeninggal
Kertajaya, tahta Kerajaan Lombok diduduki oleh Prabu Rangksari. Raja Lombok yang
baru itu amat cinta kedamaian. Ia pun mengajak Demung Brangbantun berdamai.
Kakak Sandubaya
itu punmenyetujuinya. Akhirnya, Kerajaan Lombok kembali aman dan tenteram di
atas kepemimpinan Prabu Rangksari yang adil, arif, dan bijaksana.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment