“Batu
Berdaun”
Cerita
Rakyat Maluku
Di daerah
pesisir Maluku, hiduplah seorang nenek dengan dua orang cucunya yang masih
kecil. Cucu yang pertama berumur 11 tahun, sedangkan yang bungsu masih berumur
5 tahun. Kedua anak itu yatim piatu karena orangtua mereka telah meninggal
dunia ketika mencari ikan di laut. Kini, kedua anak itu berada dalam asuhan
sang nenek. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, nenek bekerja mengumpulkan hasil
hutan dan mencari ikan di pantai. Hasilnya tidak pernah cukup untuk mereka
makan. Untunglah para tetangga sering berbaik hati memberikan makanan kepada
sang nenek untuk dimakan bersama kedua cucunya. Suatu hari, air laut terlihat
surut, ombaknya pun tampak tenang. Kondisi seperti ini biasanya menjadi
pertanda bahwa banyak kepiting yang terdampar di sekitar pantai. Si nenek pun
mengajak kedua cucunya ke pantai untuk menangkap kepiting. “Cucuku, mari kita
ke pantai mencari kepiting,” ajak si nenek. Alangkah senangnya hati kedua anak
itu, terutama si bungsu. Ia berlari-lari dan melompat kegirangan. “Horeee...
horeee... !” riang si bungsu. Setiba di pantai, mereka pun mulai memasang
beberapa bubu (alat untuk menangkap kepiting) di sejumlah tempat. Selang
beberapa lama kemudian, sebuah bubu yang dipasang nenek memperoleh seekor
kepiting besar yang terperangkap di dalamnya. Si nenek pun menyuruh kedua
cucunya untuk pulang terlebih dahulu. “Cucuku, kalian pulanglah dulu. Bawa dan
rebuslah kepiting besar itu untuk makan siang kita nanti,” ujar si nenek,
“Capitannya sisakan untuk nenek.” “Baik, Nek,” jawab cucu yang pertama.
Kedua anak itu pun kembali ke rumah
dengan perasaan gembira. Hari itu, mereka akan menikmati makanan lezat. Setiba
di rumah, kepiting besar hasil tangkapan mereka tadi segera direbus.
Setelah masak,
kepiting itu mereka makan bersama ubi rebus. Mereka makan dengan lahap sekali.
Sesuai perintah sang nenek, kedua anak itu menyisakan capit kepiting. Usai
makan, kedua anak itu pergi bermain hingga hari menjelang siang. Saat mereka
pulang ke rumah, nenek mereka ternyata belum juga kembali dari pantai.
Sementara itu, si bungsu yang baru sampai di rumah tiba-tiba merasa lapar lagi.
“Kak, aku lapar. Aku mau makan lagi,” rengek si bungsu kepada kakaknya.
“Bukankah tadi kamu sudah makan? Kenapa minta makan lagi?” tanya kakaknya. “Aku
lapar lagi. Aku mau makan capit kepiting,” si bungsu kembali merengek. “Jangan,
capit kepiting itu untuk nenek,” cegah si kakak. Meskipun sang kakak sudah
berkali-kali menasehatinya, si bungsu tetap saja merengek. Karena iba, sang
kakak terpaksa mengambil sepotong capit kepiting itu. Si bungsu akhirnya
berhenti merengek. Namun, setelah makan, ia kembali meminta capit kepiting yang
satunya. Si kakak pun memberikannya. Tak berapa lama kemudian, nenek mereka
kembali dari pantai. Wajah si nenek yang sudah keriput itu tampak pucat.
Kelihatannya ia sangat lapar. Cepat-cepatlah ia masuk ke dapur ingin menyantap
capit kepiting bersama ubi rebus. Betapa terkejutnya ia saat melihat lemari
makannya kosong. “Cucuku., cucuku...!” teriaknya dengan suara serak. “Iya,
Nek,” jawab si sulung seraya menghampiri neneknya, “Ada apa, Nek?” “Mana capit
kepiting yang nenek pesan tadi?” tanya si nenek. “Ma... maaf..., Nek!” jawab si
sulung dengan gugup, “Capit kepitingnya dihabiskan si Bungsu. Aku sudah
berusaha menasehatinya, tapi dia terus menangis meminta capit kepiting itu.”
Betapa kecewanya hati sang nenek mendengar jawaban itu. Ia benar-benar marah
karena kedua cucunya tidak menghiraukan pesannya. Tanpa berkata-kata apapun, si
nenek pergi meninggalkan rumah. Dengan perasaan sedih, ia berjalan menuju ke
sebuah bukit. Sesampai di puncak bukit itu, ia lalu mendekati sebuah batu besar
yang bentuknya seperti daun. Orang-orang menyebutnya batu berdaun. Di hadapan
batu itu, si nenek duduk bersimpuh sambil meneteskan air mata. “Wahai, batu. Telanlah
aku!” seru nenek itu, “Tidak ada lagi gunanya aku hidup di dunia ini. Kedua
cucuku tidak mau mendengar nasehatku lagi.” Batu berdaun itu tidak bergerak
sedikit pun. Ketika nenek mengucapkan permintaannya untuk ketiga kalinya,
barulah batu itu membuka mulutnya.
Dengan sekali
sedot, si nenek langsung tertarik masuk ke dalam perut batu itu. Setelah si
nenek tertelan, mulut batu itu mengatup kembali. Sejak itulah, si nenek tinggal
di dalam perut batu itu dan tidak pernah keluar lagi. Sementara itu, kedua cucunya
dengan gelisah mencari nenek mereka. Saat tiba di puncak bukit itu, mereka
hanya mendapati kain milik nenek mereka terurai sedikit di antara batu berdaun
itu. “Nenek, jangan tinggalkan kami!” tangis si sulung. “Maafkan aku, Nek. Aku
berjanji tidak akan mengecewakan nenek lagi,” ucap si bungsu dengan sangat
menyesal. Si sulung kemudian meminta kepada batu berdaun itu agar menelan
mereka. “Wahai, batu berdaun. Telanlah kami!” seru si sulung. Meskipun kedua
anak tersebut berkali-kali memohon, batu berdaun itu tetap tidak mau membuka
mulutnya, sampai akhirnya kedua anak itu tertidur di dekatnya. Keesokan
harinya, keduanya terbangun dan kembali meratapi kepergian sang nenek. Pada
saat itu, kebetulan ada seorang tetangga mereka yang melintas di tempat itu. “Hai,
kenapa kalian ada di sini?” tanyanya saat melihat kedua anak itu. Si sulung pun
menceritakan semua yang telah terjadi pada neneknya. Oleh karena nenek itu
tidak akan kembali lagi, si tetangga pun mengajak kedua anak tersebut pulang ke
rumahnya dan kemudian merawat mereka. Kedua anak itu merasa sangat menyesal
atas perlakuannya terhadap nenek mereka. Namun, hal itu mereka jadikan sebagai
pelajaran berharga sehingga kedua anak itu pun tumbuh menjadi manusia yang
berbudi luhur.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment