Sunday 29 November 2015

Cerita Rakyat Bali

“Harta Terpendam”
Cerita Rakyat Bali


Dahulu, di daerah Klungkung, Bali, hiduplah seorang duda yang kaya raya dengan lima orang anak laki-laki. Sang Ayah mempunyai  sawah  dan  ladang  yang  luas.  Namun  sayang, kelima anak tersebut memiliki sifat pemalas.  Mereka tidak  pernah membantu sang Ayah bekerja di sawah maupun di ladang. Setiap  hari  mereka  hanya  bermalasan -malasan  di rumah dan mengadu ayam. Mereka juga suka berfoya-foya menghabiskan harta benda sang Ayah. Duda  kaya  itu  hampir  setiap  hari  menasehati  kelima  anaknya,  namun  mereka  berpura-pura  tidak mendengar.
Bahkan, terkadang mereka membantah. Sang Ayah hanya bisa bersabar menghadapi sifat dan  perilaku  mereka.  Ia  pun  selalu  berdoa  kepada  Tuhan  Yang  Mahakuasa  agar  anak-anaknya  cepat sadar dan diberi petunjuk ke jalan yang lurus. Namun,  semakin  hari  perilaku  kelima  anak  tersebut  semakin  menjadi-jadi.  Mereka  tak  henti-hentinya berfoya-foya  sehingga  harta  kekayaan  sang  Ayah  habis.  Suatu  hari,  sang  Ayah  jatuh  sakit. Ia  merasa bahwa  hidupnya  tak  akan  lama  lagi.  Maka,  ia  pun  memanggil  kelima  anaknya  untuk  menyampaikan wasiat sebelum menghembuskan nafas terakhir.
“Dengarkan,  anak-anakku!  Ayah  merasa  sebentar  lagi  ajal  akan  datang  menjemput.  Seperti  kalian ketahui, harta Ayah telah kalian habiskan. Harta yang Ayah  miliki saat ini hanya tersisa beberapa petak sawah dan ladang,” ungkap sang Ayah, “Setelah Ayah tiada nanti, galilah harta ayah yang terpendam di sawah dan ladang itu.”Kelima  anak  itu  bukannya  bersedih  karena  akan  ditinggalkan  sang  Ayah,  tapi  justru  merasa  senang karena  sebentar  lagi  mereka  akan  mendapatkan  harta  warisan  yang  banyak.  Mereka  pun  tidak mengindahkan nasib sang Ayah yang kondisinya semakin parah.
Akhirnya, tak berapa lama kemudian, sang Ayah pun meninggal dunia. Sepeninggal sang Ayah, kelima  anak tersebut baru merasakan kehilangan seorang ayah yang selalu rajin bekerja demi mencukupi kebutuhan mereka. Kini, mereka harus bekerja dan memasak sendiri, di mana pekerjaan  tersebut  biasanya  dikerjakan  oleh  sang  Ayah  semasa  masih  hidup.  Karena  mereka  tidak terbiasa bertani dan berladang, hasil panen mereka selalu gagal. Beras persediaan mereka pun habis.Suatu hari, kelima anak tersebut bersepakat akan menggali sawah dan ladang sang Ayah untuk mencari harta yang terpendam di dalamnya. Mereka pun berangkat bersama-sama ke sawah dengan membawa cangkul  dan  linggis. 
Setiba  di  sana,  mereka  bingung  karena  tidak  mengetahui  persis  tempat  harta  itu dipendam oleh almarhum ayah mereka.“Hai, kira-kira Ayah memendam hari itu di mana, ya?” tanya si Sulung.“Entahlah, Ayah tidak menyebutkan tempatnya,” jawab anak kedua. “Kalau begitu, sebaiknya kita gali saja semua petak sawah ini,” usul anak ketiga. Akhirnya, kelima anak tersebut bersama-sama menggali petakan sawah itu satu per satu.
Namun, harta yang mereka cari belum juga ditemukan. “Aku yakin, Ayah tidak memendam harta itu di sawah ini. Barangkali Ayah memendamnya di ladang,” kata si Sulung, “Karena hari sudah siang, sebaiknya kita pulang dulu ke rumah. Pencarian kita lanjutkan nanti sore.” Kelima anak itu pun kembali ke rumah untuk beristirahat. Menjelang sore, mereka kembali melakukan pencarian. Kali ini, pencarian itu mereka lakukan di ladang. Mereka pun segera menggali bagian-bagian ladang yang mereka  anggap  sebagai  tempat  harta  itu  dipendam.  Hingga hari  menjel ang sore,  mereka telah menggali bagian-bagian ladang tersebut. Namun, hasilnya tetap nihil.
Mereka pun mulai putus asa. “Ah, jangan-jangan almarhum Ayah hanya membohongi kita,” celetuk si Sulung dengan kesal.Di tengah-tengah keputusasaan tersebut, si Bungsu tiba-tiba angkat bicara. “Maaf,  Kakak-kakakku!  Alangkah  baiknya  jika  sawah  dan  ladang  yang  telah  terlanjur  kita  gali  ini  kita tanami  padi  dan  palawija  daripada  terus-menerus mencari  harta  yang tidak  jelas  keberadaannya  itu,” usul si Bungsu, “Hasilnya tentu dapat kita makan.”
“Kamu benar Bungsu,” kata anak keempat, “Aku setuju dengan usulan itu.”Usulan si Bungsu itu benar-benar membuka pikiran kakak-kakaknya. Akhirnya, mereka pun bersepakat untuk menanami padi dan palawija di sawah dan ladang peninggalan  sang Ayah. Sejak itu, kelima orang bersaudara  tersebut  mulai  rajin  bekerja.  Mereka  menanami  sawah  mereka  dengan  padi,  sedangkan ladangnya mereka tanami dengan palawija. Mereka pun telaten merawatnya sehingga mendatangkan hasil yang melimpah.
Sebagian hasil panen tersebut mereka simpan di lumbung. Mereka pun tidak takut lagi kelaparan. Setelah  beberapa  tahun  mereka  bekerja  dengan  giat,  harta  benda  sang  Ayah  yang  pernah  mereka hambur-hamburkan  kini  terkumpul  kembali. 
Kebiasaan  berfoya-foya  pun  telah  mereka  tinggalkan. Lama-kelamaan,  mereka  akhirnya  menjadi  petani  yang  kaya-raya.  Dari  situlah  mereka  sadar  dengan pesan almarham sang Ayah bahwa harta terpendam itu sebenarnya tidak ada. Harta terpendam yang dimaksud  adalah  kekuatan  dan  keinginan  untuk  bekerja  keras,  yakni  dengan  mengolah  sawah  dan ladang sehingga menghasilkan pangan.
Setelah  mengerti  maksud  dari  pesan  almarhum  sang  Ayah,  kelima  orang  bersaudara  itu  semakin  giat bekerja. Mereka  tidak  pernah  lagi  bermalas-malasan  seperti  yang  pernah  mereka  lakukan  kala  sang Ayah masih hidup. Akhirnya, mereka pun hidup makmur dan sejahtera.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






No comments:

Post a Comment