“Legenda
Tanifal di Pulau Buru”
Cerita
Rakyat Maluku
Di Pulau Buru,
Maluku, tersebutlah sebuah negeri bernama Tifu. Tidak jauh dari negeri ini
terdapat sebuah gunung bernama Gunung Garuda. Bila dipandang dari pantai Tifu,
gunung itu tampak berwarna kemerah-merahan. Di lereng gunung itu terdapat dua
buah liang batu yang letaknya agak berjauhan. Kedua liang batu tersebut
masing-masing dihuni oleh seekor burung elang jantan dan seekor elang betina.
Kedua burung elang tersebut merupakan burung elang terbesar di Pulau Buru. Jika
burung elang raksasa ini sedang mengembangkan sayapnya di angkasa, hampir
sebagian Negeri Tifu menjadi gelap akibat tertutupi bayangannya. Burung elang
rakasa tersebut termasuk burung paling ganas di antara burung pemangsa lainnya.
Kukunya sangat runcing untuk menerkam dan mencengkram mangsa, serta memiliki
keterampilan dan kecepatan yang tinggi dalam melumpuhkan mangsa. Burung elang
rakasa itu juga memiliki bulu yang rapat dan tungkai yang bersisik tebal untuk
melindungi tubuhnya dari sengatan binatang yang dimangsanya. Keistimewaan lain
yang dimiliki burung ini adalah kepala dan matanya besar serta daya
penglihatannya sangat tajam untuk memburu mangsa dari jarak jauh sehingga tak
satu pun mangsa yang bisa lolos dari pengamatannya. Burung elang rakasa itu juga
memiliki kecepatan untuk terbang melayang tinggi ke angkasa. Ia juga mempunyai
sistem pernafasan yang baik dan mampu membekali dirinya dengan oksigen yang
banyak sehingga dapat terbang sepanjang hari di angkasa. Sepasang burung elang
tersebut biasanya terbang mencari mangsa pada siang hari, sedangkan pada malam
hari mereka beristirahat di sarangnya masing-masing Burung elang betina lebih
giat mencari mangsa dibandingkan dengan burung elang jantan. Jenis binatang
yang biasa menjadi sasarannya adalah hewan mamalia kecil seperti tikus, tupai,
dan ayam. Terkadang pula ikan dan udang menjadi mangsanya. Jika mereka tidak
mendapat mangsa binatang atau hewan, manusia pun bisa menjadi sasarannya. Meski
demikian, mereka tidak mau memangsa manusia yang berada di sekitar tempat
tinggalnya. Oleh karena itu, mereka selalu terbang jauh untuk mencari mangsa. Kedua
burung elang rakasa tersebut, terutama si elang betina, sering mengincar
penumpang kapal yang melintas di perairan sekitar Pulau Buru. Jika melihat ada
kapal yang melintas, elang betina dengan cepat terbang menuju ke kapal tersebut
untuk menangkap para penumpangnya dan membawa mereka kesarangnya.
Sebagian mangsa
tersebut langsung disantap dan sebagian yang lain disimpan selama beberapa hari
sambil menunggu kedatangan kapal berikutnya. Manusia yang sering menjadi
korbannya adalah pelaut-pelaut Cina yang melintas di daerah itu. Berita tentang
keganasan burung elang itu pun tersebar ke seluruh penjuru Negeri Cina.
Sekelompok nelayan yang mendengar berita tersebut bermaksud untuk menumpas
keganasan kedua burung elang raksasa tersebut. Mereka akan menghadapi kedua
elang itu dengan besi runcing atau tombak besi sepanjang tiga meter. Saat
berada di perairan Tifu, mereka akan memanaskan ujung besi runcing itu hingga merah
membara sebelum menusukkannya ke tubuh burung elang tersebut. Setelah semuanya
siap, berangkatlah rombongan nelayan Cina itu ke perairan Tifu dengan
menggunakan kapal. Setelah berhari-hari berlayar, akhirnya mereka pun tiba di
perairan Buru Selatan. Nahkoda kapal segera memerintahkan seluruh awak kapal
yang jumlahnya puluhan lebih untuk bersiaga. “Pasukan, siapkan senjata kalian!”
seru sang nahkoda kapal, “Sebentar lagi burung elang raksasa itu datang untuk
menangkap kita.” “Baik, Tuan,” jawab seluruh awak kapal serentak. Para awak
kapal segera mengambil senjata masing-masing lalu berkumpul di geladak kapal
sambil memanaskan ujung tombak besi mereka. Tak berapa lama kemudian, ujung
tombak besi itu berubah menjadi merah membara dan siap untuk digunakan. Bersamaan
dengan itu, kedua burung elang rakasa itu pun datang untuk memangsa mereka.
Namun, sebelum keduanya mencengkramkan cakar-cakarnya yang tajam ke tubuh
mereka, para awak kapal segera menancapkan tombak besinya ke tubuh kedua burung
elang tersebut. Tak ayal, sepasang burung elang raksasa itu langsung mengerang
kesakitan. “Koaaak… Koaaak… Koaaak…!!!” Meskipun terluka parah dengan tombak
besi menancap hampir di seluruh tubuhnya, kedua burung elang raksasa itu
berusaha terbang ke sarangnya dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki. Namun
belum sampai di sarangnya, mereka telah kehabisan darah hingga akhirnya jatuh
dan tewas di pantai Tifa. Setelah memastikan keduanya telah mati, rombongan
pelaut Cina tersebut segera meninggalkan itu dan kembali ke negerinya. Sementara
itu, bangkai kedua burung elang raksasa itu dibiarkan tergeletak di pantai
Tifu. Lama-kelamaan bangkai itu kemudian berubah menjadi Tanifal, yaitu
sebidang daratan berpasir putih dan halus. Tanifal itu dikelilingi oleh air
laut dan hanya tampak ketika air laut sedang surut. Menurut cerita masyarakat
setempat, kedua bola dari salah satu dari burung elang itu terlepas dan
kemudian berubah menjadi dua buah batu besar. Lama-kelamaan, kedua batu besar
yang ditumbuhi rerumputan itu membentuk dua pulau kecil yang indah.
Hingga saat ini
masyarakat setempat juga mempercayai bahwa di daerah tersebut masih terdapat
burung goheba atau burung elang yang dianggap sebagai keturunan dari kedua
burung elang raksasa itu. Bahkan, burung goheba itu menjadi salah satu tanda
bagi para nelayan untuk mengetahui tempat berkumpulnya kawanan ikan di suatu
tempat. Jika goheba itu beterbangan dan mondar-mandir mengelilingi Negeri Tifu
atau Pulau Buru sambil berbunyi “Koaaak… Koaaak…” maka hal itu merupakan
pertanda bahwa di tempat itu terdapat kawanan ikan yang sedang berkumpul.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment