“Syekh
Belabelu”
Cerita
Rakyat Yogyakarta
Di daerah Jawa
Timur, tersebutlah seorang raja bernama Raja Hayam Wuruk yang bertahta di
Kerajaan Majapahit, dengan gelar Maharaja Sri Rajasangara. Sang Raja mempunyai
seorang putri yang lahir dari permaisurinya, bernama Kusumawardani. Ia juga
mempunyai seorang putra yang lahir dari selirnya, bernama Wirabhumi. Ketika
Raja Hayam Wuruk wafat (1389 M), kedudukannya digantikan oleh menantunya yang
bernama Wikramawardhana (suami Kusumawardhani). Sementara itu Pangeran Wirabhumi
diberi kekuasaan di ujung timur Pulau Jawa yang bernama daerah Blambangan,
sehingga lahirlah Kerajaan Blambangan yang terletak di sebelah selatan
Banyuwangi atau yang lebih dikenal Alas Purwo. Pada mulanya, hubungan antara
Wikramawardhana dengan Wirabhumi berjalan harmonis. Wirabhumi tetap mengakui
kekuasaan pemerintahan pusat, Kerajaan Majapahit. Namun, ketika Prabu Stri
Suhita menjadi raja menggantikan ayahnya Wikramawardhana, Raden Wirabhumi
merasa tidak puas dengan penggantian tersebut. Sejak itulah, hubungan kedua
kerajaan tersebut menjadi retak, sehingga mengakibatkan terjadinya perang
saudara yang dikenal dengan Perang Paregreg (1401-1406 M). Menurut cerita,
Perang Paregreg tersebut menjadi salah satu penyebab kemunduran Kerajaan
Majapahit, sebelum akhirnya runtuh setelah diserang oleh Raden Patah dan
pasukannya dari Kerajaan Islam Demak, Jawa Tengah pada 1478 Masehi atau 1400
saka.[1] Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit dan masuknya pengaruh Islam,
seluruh rakyat Majapahit yang beragama Hindu menjadi terdesak. Para kerabat dan
keluarga Keraton Majapahit yang enggan memeluk agama Islam meninggalkan istana.
Sebagian besar dari mereka menyeberang ke Pulau Bali, dan sebagian yang lain
melarikan diri ke Pulau Kalimantan, serta ke pulau-pulau lainnya. Salah seorang
kerabat Keraton Majapahit yang enggan memeluk agama Islam adalah Raden Jaka
Bandem, putra Prabu Brawijaya terkahir. Hanya saja, ia dan para pengikutnya
tidak tahu harus melarikan diri ke mana. Akhirnya, mereka berjalan menyusuri
pantai selatan menuju ke arah barat. Setelah berhari-hari menempuh perjalanan,
mereka pun tiba di sebuah pantai yang bernama Parangtritis, yaitu sebuah pantai
yang landai, berpasir putih, dan deburan ombaknya yang besar. Di sebelah utara
pantai itu terdapat dua bukit kapur yang berdekatan, yaitu Bukit Pemancingan
dan Bukit Sentana. “Wahai, pengikutku! Pengembaraan ini kita akhiri sampai di
sini. Saya kira tempat ini sangat bagus dan aman untuk tempat tinggal. Raden
Patah dan para pengikutnya tidak akan mungkin menemukan kita di sini!” ujar
Raden Jaka Bandem kepada pengikutnya.
Setelah
memeriksa keadaan kedua bukit tersebut, akhirnya Raden Jaka Bandem bersama
pengikutnya memilih Bukit Pemancingan untuk tempat tinggal. Di atas bukit itu,
mereka mendirikan padepokan, dan Raden Jaka Bandem diangkat menjadi ketua
padepokan. Mereka kemudian membuka lahan pertanian di sekitar bukit dan
memperoleh hasil padi dan pangan lainnya yang melimpah. Keberhasilan Raden Jaka
Bandem tersebut mengundang simpati penduduk sekitar yang sering lewat ketika
sedang berburu atau hendak menangkap ikan di pesisir Pantai Selatan. Banyak di
antara mereka yang datang ke padepokannya untuk belajar cara bercocok tanam
yang baik. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang tertarik ingin belajar baca
tulis dan ilmu bela diri kepadanya. Raden Jaka Bandem pun menerima mereka
sebagai murid dengan senang hati. Selang beberapa tahun kemudian, datanglah
seorang ulama bernama Syekh Maulana Mahgribi. Ia adalah utusan Raden Patah yang
diperintahkan untuk menyiarkan agama Islam di wilayah itu. Setelah menyaksikan
keindahan alam Pantai Parangtritis dan mengetahui bahwa banyak orang yang
tinggal di puncak Bukit Pemancingan, ia dan para pengikutnya memutuskan untuk
menetap dan mendirikan pondok di atas Bukit Sentana. Setelah pembangunan pondok
itu selesai, Syekh Maulana Maghribi mulai mengajak dan menarik sempati penduduk
sekitar, terutama kepada Raden Jaka Bandem untuk datang belajar agama Islam di
pondoknya. “Jika aku berhasil mengajak Raden Jaka Bandem masuk Islam, tentu
para pengikut dan murid-muridnya akan mengikutinya,” pikir Syekh Maulana
Maghribi. Alhasil, Syekh Maulana Maghribi berhasil menarik simpati Raden Jaka
Bandem dan mengangkatnya menjadi murid. Raden Jaka Bandem seorang murid yang
cerdas dan tekun, sehingga ia dapat menguasai pelajaran yang didapatkan dari
gurunya dengan cepat. Setelah beberapa lama mendalami ajaran Islam, Raden Jaka
Bandem memutuskan untuk masuk agama Islam. Dengan demikian, para pengikut dan
murid-muridnya pun berbondong-bondong memeluk agama Islam. Syekh Maghribi
kemudian mengganti nama Raden Jaka Bandem menjadi Syekh Belabelu dan
memperkenankannya mengajarkan agama Islam di padepokannya. Syekh Belabelu pun
merubah fungsi padepokannya menjadi pondok. Dalam waktu tak berapa lama,
orang-orang pun berdatangan berguru kepadanya. Di sela-sela kesibukannya
mengajar di pondoknya, Syekh Belabelu mengisi waktunya dengan bertapa. Namun,
cara bertapanya berbeda dari yang biasa dilakukan orang-orang pada umumnya. Ia
bukannya menjauhkan diri dari kesenangan dunia dengan cara berpuasa, melainkan
lebih mementingkan kepuasan dirinya, terutama pada masalah makan. Sebenarnya,
kebiasaan tersebut sudah dilakoni sejak ia masih muda. Tak heran jika seluruh
atap dan dinding pondoknya dipenuhi oleh kerak nasi. Semakin hari, ia pun
bertambah gemuk. Syekh Maulana Maghribi yang mengetahui hal itu masih
memakluminya, karena Syekh Belabelu masih menjalankan kewajibannya, seperti
shalat lima waktu. Namun, lama-kelamaan, ia merasa jengkel karena kebiasaan
buruk muridnya itu semakin menjadi-jadi. Semakin hari porsi makannya semakin
berlebihan. Suatu hari, sang Guru mendatangi pondoknya untuk menasehatinya.
“Hai, Belabelu!
Hentikan kebiasaanmu makan berlebihan itu!” seru Syekh Maulana Maghribi dengan
nada marah. “Begitu pula cara bertapamu berbeda dengan cara yang pernah
kuajarkan kepadamu!” tambah Sykeh Maulana Maghribi. Syekh Belabelu menjawab
bahwa setiap orang mempunyai cara sendiri-sendiri bertapa untuk mencapai
tujuannya. Rupanya, ia tetap ingin bertapa dengan caranya sendiri dan tidak mau
meninggalkan kegemarannya makan nasi. “Maaf, Tuan Guru! Aku akan tetap bertapa
dengan caraku sendiri,” jawab Syekh Belabelu. Mendengar jawaban itu, Syekh
Maulana Maghribi bertambah jengkel dan menantang muridnya itu untuk saling adu
kesaktian. “Baiklah kalau begitu, Belabelu! Bagaimana kalau kita saling adu
kesaktian untuk membuktikan siapakah di antara kita yang paling sakti?” tantang
Syekh Maulana Maghribi. Syekh Belabelu tidak bersedia menerima tantangan
gurunya. “Maaf, Tuan Guru! Jika bertanding hanya untuk mengetahui siapa di
antar kita yang terkuat, saya kira tidak ada gunanya, Guru! Bukankah sudah ada
yang terkuat, yaitu Allah SWT?” jawab Syekh Belabelu. Syekh Maulana Maghribi
tidak puas dengan jawaban itu. Akhirnya, ia kembali menantang muridnya itu
dengan cara yang lain. “Bagaimana kalau aku tantang kamu berlomba adu cepat?”
ajak Syekh Maulana Maghribi. Syekh Belabelu menerima tantangan itu. Kemudian
guru dan murid itu pun bersepakat akan berlomba adu cepat sampai ke Mekah untuk
mengikuti shalat Jum’at. Perlombaan itu baru akan dilaksanakan pada pekan
keempat bulan depan, karena keduanya harus mengasah kekuatan mereka dengan cara
bertapa selama satu bulan. Guru dan murid itu pun mulai bertapa dengan cara
mereka masing-masing. Syekh Maulana Maghribi bertapa dengan cara meninggalkan
segala kesenangan dunia, tidak makan dan minum. Sementara Syekh Belabelu
melaksanakan tapanya seperti biasanya, yaitu menanak nasi dan makan. Bahkan, ia
masih terlihat sibuk menanak nasi hingga hari yang telah ditentukan telah tiba.
“Hai, Belabelu! Apakah engkau sudah lupa bahwa sekarang sudah hari Jum’at?
Bukankah pagi ini kita akan berlomba adu cepat sampai ke Mekah untuk
melaksanakan shalat Jum’at di sana?” tanya Syekh Maulana. Syekh Belabelu hanya
tersenyum. Ia kemudian menjawab dengan nada santai. “Saya tidak lupa ketentuan
itu, Guru! Tapi saya harus menunggu sampai nasiku matang dan makan dulu. Jika
Guru tidak keberatan, silahkan berangkat terlebih dahulu, saya akan segera
menyusul, dan saya pasti terlebih dahulu tiba di sana!” ujar Syekh Belabelu
sambil meneruskan menanak nasi.
Tanpa
menghiraukan lagi perkataan sang Murid, Syekh Maulana Mahgribi pun berangkat ke
Mekah dengan membawa bekal seperlunya. Ia merasa yakin bahwa dia pasti akan
sampai terlebih dahulu di Mekah. Sementara Syekh Belabelu masih asyik menikmati
nasinya yang sudah matang. Di wajahnya sama sekali tidak terlihat perasaan
cemas atau khawatir akan dikalahkan oleh gurunya. Sementara itu, Syekh Maulana
Maghribi telah tiba di Mekah. Ia melihat sudah banyak orang yang datang ke
Masjidil Haram hendak menunaikan shalat Jum’at. Ia pun segera masuk ke dalam
masjid. Alangkah terkejutnya ia ketika menoleh ke kanan dan ke kiri mencari
tempat duduk, tiba-tiba pandangannya tertuju kepada seorang jamaah yang sangat
dikenalnya. “Hai, bukankah itu Syekh Belabelu? Bagaimana mungkin dia bisa
sampai di sini terlebih dahulu? Bukankah tadi dia masih sibuk memasak nasi
ketika aku meninggalkannya?” gumam Syekh Maulana Maghribi dengan heran. Syekh
Belabelu yang melihat gurunya sedang berdiri di antara jamaah segera
melambaikan tangan dan memberi isyarat agar sang Guru duduk di sampingnya.
Dengan perasaan malu, Syekh Maulana Maghribi pun segera duduk di samping Syekh
Belabelu. “Hai, Belabelu! Bagaimana kamu bisa mendahuluiku tiba di sini?” bisik
Syekh Maulana Maghribi. “Maaf, Tuan Guru! Tuan Guru berangkat ke sini dengan
kekuatan sendiri, sedangkan saya hanya dengan menyandarkan diri kepada kekuatan
Allah SWT, karena kekuatan Allah SWT berada di atas segala-galanya,” jawab Syekh
Belabelu sambil tersenyum. Akhirnya, Syekh Maulana Maghribi menyadari bahwa
dirinya mempunyai batas kemampuan dan mengakui keunggulan Syekh Belabelu,
meskipun dia bekas muridnya.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment