Sunday 29 November 2015

Cerita Rakyat Bali


“I Ceker Cipak”
Cerita Rakyat Bali


Di  sebuah  kampung  di  Pulau  Dewata  atau  Bali, Indonesia,  ada  seorang  pemuda  tampan  bernama  I Ceker  Cipak.  Ia  tinggal  bersama  ibunya  di  sebuah
gubuk  di  pinggir  kampung.  Ia  dan  ibunya  sangat teguh  memegang  dan  menjalankan  dharma.  Untuk memenuhi  kebutuhan  hidupnya,  ibu  dan  anak tersebut  mencari  kayu  bakar  dan  hasil-hasil  hutan lainnya.  Hidup  mereka  serba  kekurangan.  Oleh karena  tidak  ingin  terus  terbelenggu  oleh  keadaan
tersebut,  I  Ceker  Cipak  memutuskan  untuk berdagang  jagung.  Ia  ingin  pergi  ke  kota  untuk membeli jagung untuk direbus dan dijual kembali. “Bu, apakah Ibu mempunyai uang tabungan?” tanya I Ceker Cipak kepada ibunya. “Untuk apa uang itu, Anakku?” ibunya balik bertanya.
I Ceker Cipak pun menceritakan niatnya ingin berdagang ke kota. Alangkah bahagianya perasaan sang Ibu mendengar niat baik anaknya itu. “Wah, Ibu merasa senang dan mendukung niatmu itu, Anakku! Ibu ingin sekali membantu usahamu itu, tapi Ibu hanya mempunyai uang 200 kepeng. Uang tersebut Ibu tabung selama bertahun-tahun. Apakah uang itu cukup untuk membuka usaha barumu itu, Anakku?” tanya ibunya. “Cukup,  Bu!  Uang  tersebut  akan  Ceker  gunakan  untuk  membeli  jagung  secukupnya,”  jawab  I  Ceker Cipak. Mendengar  jawaban  itu,  ibu  I  Ceker  Cipak  segera  mengambil  uang  tabungannya,  lalu  memberikan kepada  anak  semata  wayangnya.  Keesokan  harinya,  I  Ceker  Cipak  pun  berangkat  ke  kota  dengan membawa  modal  200  kepeng  dan  sebuah  keranjang. 
Untuk  sampai  ke  kota,  ia  harus  melewati perkampungan, persawahan, dan hutan lebat yang jaraknya cukup berjauhan. Setelah berjalan setengah hari, sampailah I Ceker Cipak di sebuah perkampungan. Ketika akan melewati perkampungan  itu,  ia  melihat  seorang  warga  yang  sedang  menyiksa  seekor  kucing.  Melihat  tindakan warga  yang  tidak  berbelaskasihan  itu,  ia  segera  mendekati  dan  memintanya  agar  menghentikan penyiksaan terhadap kucing tersebut.  “Maaf,  Tuan!  Jangan  bunuh  kucing  itu!  Jika  Tuan  berkenan,  saya  akan  menebusnya  dengan  uang  50 kepeng,” pinta I Ceker Cipak. Warga  itu  pun  menerima  permintaannya.  Setelah  menyerahkan  uang  50  kepeng  kepada  warga  itu,  I Ceker  Cipak  melanjutkan  perjalanan  dengan  membawa  serta  kucing  itu. 
Tak  berapa  jauh  berjalan,  ia kembali melihat seorang warga sedang memukuli seekor anjing karena mencuri telur ayam. Melihat hal itu, ia pun menebus anjing itu dengan harga 50 kepeng. Setelah itu, ia kembali melanjutkan perjalanan dan membawa serta anjing itu. Kini, ia tidak berjalan sendirian. Ia ditemani oleh kucing dan anjing yang telah ditebusnya. Ketika hari menjelang sore, I Ceker Cipak bersama kucing dan anjing tebusannya tiba di sebuah hutan lebat.  Saat  melewati  hutan  lebat  itu,  ia  melihat  beberapa  orang  warga  sedang  memukuli  seekor  ular yang telah memangsa seekor bebek. Karena merasa kasihan, ia pun menebus ular itu dengan 50 kepeng.
Para warga yang telah memukuli ular itu terheran-heran melihat perilaku I Ceker Cipak. “Hai,  teman-teman!  Anak  Muda  itu  sudah  gila.  Untuk  apa  dia  menebus  ular  yang  tidak  ada  gunanya itu?” celetuk seorang warga. I  Ceker  Cipak  tidak  menghiraukan  celetukan  warga  itu.  Setelah  memasukkan  ular  itu  ke  dalam keranjangnya, ia segera berlalu dari tempat itu untuk melanjutkan perjalanan. Setelah menyusuri hutan lebat,  I  Ceker  Cipak  memasuki  daerah  persawahan.  Ketika  itu,  ia  menemui  para  petani  sedang menangkap seekor tikus dan memukulinya. I Ceker Cipak tidak sampai hati melihat tikus itu disiksa oleh mereka. “Maaf, Tuan-Tuan!  Tolong jangan  siksa  tikus itu!  Jika  Tuan-Tuan berkenan,  biarlah  aku tebus tikus itu dengan harga 25 kepeng,” pinta I Ceker Cipak.
Para  petani  itu  pun  mengabulkan  permintaannya.  Setelah  menyerahkan  uang  tebusan  sebesar  25 kepeng  kepada  para  petani  tersebut,  I  Ceker  Cipak  kembali  melanjutkan  perjalanan  dengan  ditemani oleh kempat hewan tebusannya, yaitu seekor anjing, kucing,  ular, dan tikus. Mereka tiba di pasar Kota
Raja  saat  hari  mulai  gelap.  I  Ceker  Cipak  merasa  sangat  lapar.  Setelah  memeriksa  sakunya,  ternyata  uangnya hanya tersisa 25 kepeng. Akhirnya, uang tersebut ia pakai membeli makanan untuk dirinya dan keempat binatang tebusannya. Ia terpaksa batal membeli jagung, karena sudah kehabisan uang.
Ketika  I  Ceker  Cipak  bersama  keempat  binatang  tebusannya  sedang  asyik  makan, tiba-tiba seorang prajurit istana yang sedang patroli datang menghampirinya. “Hai, Anak Muda! Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya prajurit itu. “Nama saya I Ceker Cipak, Tuan! Maaf jika kedatangan saya mengganggu ketenteraman kota ini,” jawab I Ceker Cipak sambil memberi hormat.
“Apa  maksud  kedatanganmu  ke  kota  ini?  Dan,  untuk  apa  kamu  membawa  hewan -hewan  piaraanmu itu?” prajurit itu kembali bertanya. “Maaf, Tuan! Sebenarnya, saya datang ke kota ini untuk membeli jagung, namun uang saya telah habis untuk menebus keempat binatang ini yang sedang dianiaya orang,” jawab I Ceker Cipak.
 “Wah, hatimu sungguh mulia, Anak Muda!” puji prajurit itu Prajurit itu kemudian mengajak I Ceker Cipak ke istana untuk menghadap sang Raja. Setibanya di istana,  prajurit  itu  menceritakan  maksud  kedatangan  I  Ceker  Cipak  ke  kota  dan  semua  peristiwa  yang dialaminya di perjalanan. Mendengar cerita tersebut, Raja yang baik hati itu pun mengizinkan I Ceker Cipak untuk menginap semalam di istana. Sang Raja juga memerintahkan kepada dayang-dayang istana  untuk melayani segala keperluan I Ceker Cipak dan keempat hewan piaraannya. Alangkah senang hati I  Ceker Cipak mendapat kehormatan tidur di dalam istana dan pelayanan istimewa dari sang Raja.
Malam telah larut, namun I Ceker Cipak belum bisa memejamkan matanya, karena memikirkan ibunya yang  tidur  sendirian  di  gubuk.  Ia  juga  memikirkan  uang  pemberian  ibunya  yang  telah  habis  untuk menebus keempat binatang tersebut. Ia bingung untuk menjelaskan semua itu kepada ibunya. Di tengah kebingungan itu, tiba-tiba si Ular merayap mendekatinya.“Wahai, Tuanku yang berbudi luhur! Jika besok saat pulang dan bertemu dengan seekor ular besar, Tuan jangan takut! Dia adalah ibuku yang bernama Naga Gombang. Meskipun terkenal sangat ganas, tapi dia tidak  akan  mengganggu  orang  yang  tekun  menjalankan  dharma.  Jika  ia  memintaku  darimu,  maka mintalah tebusan kepadanya!” ujar si Ular.
I  Ceker  Cipak  tersentak  kaget,  karena  tidak  pernah  mengira  sebelumnya  jika  ular  itu  dapat  berbicara seperti  manusia.  Namun,  ia  tidak  ingin  terlalu  memikirkan  hal  itu,  yang  penting  ia  berjanji  akan melaksanakan pesan ular itu. Keesokan  harinya,  I  Ceker  Cipak  pun  berpamitan  kepada  sang  Raja.  Raja  yang  baik  hati  itu membekalinya kain, uang, dan sepuluh ikat jagung. “Bawalah kain, uang dan jagung ini sebagai oleh-oleh untuk ibumu di rumah!” ujar sang Raja. “Terima kasih banyak atas semua kebaikan, Gusti! Semoga Tuhan senantiasa memberkahi Gusti!” ucap I Ceker Cipak seraya memberi hormat untuk memohon diri.
I  Ceker  Cipak  kembali  ke  kampung  halamannya  melewati  jalan  semula.  Ketika  ia  memasuki  hutan belantara, tiba-tiba ia dihadang oleh seekor ular yang sangat besar. “Hai, Anak Muda! Berhenti dan serahkan ular itu kepadaku!” seru ular besar itu. “Hai,  Ular  Besar! Pasti  kamu  yang bernama Naga  Gombang. Ketahuilah wahai  Naga  Gombang, akulah  yang  telah  menyelamatkan  anakmu!  Jika  kamu  hendak  mengambil  anakmu  dariku,  kamu  harus menebusnya!” kata I Ceker Cipak.  “Wahai, Anak Muda! Jika memang benar yang kamu katakan itu, ambillah cincin permata yang ada di ekorku sebagai penebus! Semua barang akan menjadi emas jika kamu gosokkan dengan cincin itu,” ujar Naga Gombang. I  Ceker  Cipak  pun  mengeluarkan  ular  yang  ada  di  dalam  keranjangnya  lalu  menyerahkannya  kepada Naga  Gombang. 
Setelah  itu,  ia  segera  mengambil  cincin  permata  di  ekor  Naga  Gombang,  kemudian menyelipkan di ikat pinggangnya dan melanjutkan perjalanan. Ketika sampai di gubuknya, ia dikejutkan oleh  sebuah  peristiwa  ajaib,  ikat  pinggangnya telah  berubah  menjadi  emas.  Ibunya  pun  sangat  heran menyaksikan peristiwa ajaib itu. “Bagaimana hal itu bisa terjadi, Anakku?” tanya ibunya heran. I Ceker Cipak pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya selama dalam perjalanan hingga tiba kembali  ke  rumah.  Ibunya  merasa  amat  bahagia  memiliki  anak  yang  taat  menjalankan  dharma.  Sejak memiliki cincin permata itu, kehidupan keluarga I Ceker Cipak berubah. Kini, ia telah menjadi kaya raya di kampungnya. Ia hidup berbahagia bersama ibu dan ketiga hewan piaraannya, yakni si tikus, kucing, dan ajingnya. Meskipun sudah menjadi orang kaya, I Ceker Cipak tetap rajin bekerja.
Pada  suatu  hari,  I  Ceker  Cipak  membantu  ibunya  menumbuk  padi,  namun  ia  lupa  melepas  cincin permata  dari  jari  tangannya.  Tanpa  disadarinya,  cincin  permata  itu  patah  dan  jatuh  ke  dalam  lesung. Maka seketika itu pula lesung dan alu itu tiba-tiba berubah menjadi emas. Ia dan ibunya sangat heran bercampur  gembira  menyaksikan  peristiwa  ajaib  terserbut.  Sejak  itu,  I  Ceker  Cipak  semakin  terkenal dengan kekayaannya hingga ke berbagai penjuru negeri. Setelah itu, I Ceker Cipak membawa cincinnya yang patah ke tukang emas untuk diperbaiki.
Rupanya, tukang  emas  itu  mengerti  bahwa  cincin  itu  memiliki  tuah  yang  dapat  mendatangkan  kekayaan.  Oleh karena itu, ia berniat untuk memilikinya. Agar tidak ketahuan oleh pemiliknya, ia pun membuat sebuah cincin  palsu  yang  sangat  mirip  dengan  cincin  permata  ajaib  itu.  Ketika  I  Ceker  Cipak  datang  hendak mengambil cincinnya, ia memberikan cincin yang palsu. I Ceker Cipak tidak merasa curiga sedikit pun. Setibanya  di  rumah,  ia  ingin  menguji  kesaktian  cincin  permata  itu.  Perlahan-lahan  ia  menggosokkan
cincin  itu  pada  sebuah  batu,  namun  batu  itu  tak  kunjung  berubah  menjadi  emas.  Dari  situlah  I  Ceker Cipak mulai curiga. “Bu! Coba periksa cincin permata ini! Sepertinya ia tidak sakti lagi,” kata I Ceker Cipak. “Wah, jangan jangan tukang emas itu telah menukarnya!” Setelah  diperiksa  oleh  ibunya,  ternyata  benar  cincin  itu  palsu. 
Ibunya  sangat  mengenal  bentuk  cincin permata yang asli itu.“Dugaanmu benar, Anakku! Tukang emas itu telah menukar cincinmu dengan cincin palsu,” kata ibunya. “Apa yang harus kita lakukan, Bu?” tanya I Ceker Cipak.  Ibu I Ceker Cipak pun bingung harus berbuat apa. Ia berpikir keras untuk mencari agar dapat mengambil kembali  cincin  permata  sakti  itu.  Suasana  di  rumah  itu  menjadi  hening.  Hingga  malam  larut,  mereka belum juga menemukan jalan keluar. Hati mereka diselimuti  perasaan sedih. Melihat tuannya bersedih, si  Tikus,  Kucing,  dan  Anjing  melakukan  musyawarah  secara  diam-diam. 
Mereka  ingin  membantu tuannya  untuk  mendapatkan  kembali  cincin  permata  tersebut  dari  si  tukang  emas.  Setelah  mengatur siasat, mereka pun berangkat ke rumah si tukang emas tanpa sepengetuhuan I Ceker Cipak dan ibunya. Setibanya di rumah si tukang emas, ketiga binatang piaraan I Ceker Cipak tersebut membagi tugas. Si Kucing bertugas menunggu di depan pintu, dan si Anjing menunggu di depan tangga. Sementara, si Tikus bertugas bersiap-siap untuk menyelinap masuk ke dalam rumah untuk mencari cincin tuannya.Setelah  semuanya  sudah  siap,  mereka  pun  mulai  menjalankan  tugas  masing-masing.  Si  Kucing  mulai mencakar-cakar  pintu  rumah,  sehingga  si  tukang  emas  terbangun. 
Begitu  tukang  emas  itu  membuka pintu, si Kucing mencakar-cakar kakinya hingga jatuh terguling-guling di tangga. Si Anjing yang sedang menunggu di depan tangga segera menggigitnya. Tukang emas itu pun tergeletak tak sadarkan diri. Pada saat  itulah,  si  Tikus  segera  masuk  ke  dalam  rumah.  Dengan  ganasnya,  ia  melubangi  peti  tempat penyimpanan perhiasan tukang emas itu, lalu mengambil cincin permata tuannya. Setelah itu, mereka segera kembali ke rumah untuk menyerahkan cincin itu kepada I Ceker Cipak. Ha ri sudah pagi, namun mereka belum juga sampai di rumah tuannya. Sementara itu, I Ceker Cipak yang baru bangun tidur sangat cemas, karena ketiga binatang piaraannya tidak ada di rumah. “Bu! Apakah Ibu tahu ke mana binatang piaraanku pergi?” tanya I Ceker Cipak. “Wah, Ibu tidak tahu, Anakku! Sejak tadi Ibu juga belum melihatnya,” jawab Ibunya. Baru  saja  I  Ceker  Cipak  akan  pergi  mencarinya  di  sekitar  gubuk,  ketiga  binatang  piaraannya  tersebut tiba-tiba muncul dari balik semak-semak. Alangkah terkenjutnya ia ketika melihat cincin permatanya ada di  mulut  si  Tikus.  Ia  baru  sadar  bahwa  ternyata  ketiga  binatang  piaraannya  pergi  ke  rumah  si  tukang emas untuk mengambil cincin permata itu. Ia pun menyambut mereka dengan perasaan gembira.
“Terima kasih, kalian telah membantuku mendapatkan kembali cincin permata ini,” ucap I Ceker Cipak setelah si Tikus menyerahkan cincin itu kepadanya.Sejak itu, I Ceker Cipak sangat berhati-hati dalam menjaga cincin permata saktinya. Semakin hari, harta kekayaannya pun semakin bertambah. Ia adalah orang kaya yang dermawan. Ia senantiasa membantu para warga di sekitarnya yang membutuhkan. Ia juga selalu mengingat semua orang-orang yang telah berbuat baik kepadanya. Pada  suatu  hari,  I  Ceker  Cipak  bersama  ibu  dan  ketiga  hewan  piaraannya  datang  menghadap  kepada sang  Raja  untuk  mengucapkan  terima  kasih.  Ia  datang  dengan  pakaian  yang  sangat  rapi  dan  bersih, sehingga terlihat tampan dan gagah. Sebagai ucapan terima kasih, ia persembahkan sebagian emasnya kepada  sang  Raja. 
Kedatangannya  pun  langsung  diterima  dan  disambut  baik  oleh  sang  Raja.  Melihat ketampanan  dan  kegagahan  I  Ceker  Cipak,  sang  Raja  tiba-tiba  terpikat  hatinya  ingin  menikahkan  dia dengan  putrinya  yang  bernama  Ni  Seroja.  I  Ceker  Cipak  pun  tidak  menolak  keinginan  sang  Raja. Akhirnya, I Ceker Cipak menikah dengan Putri Ni Seroja. Sejak itu, I Ceker Cipak tinggal di istana bersama  istri, ibu, dan hewan-hewan piaraannya. Mereka hidup bahagia dan sejahtera.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”





No comments:

Post a Comment