“Sidang
Belawan”
Cerita
Rakyat Lampung
Dahulu, di
daerah Lampung, ada seorang raja yang memiliki tujuh orang istri. Dari ketujuh
istri tersebut, hanya istri yang terakhir memiliki anak. Anak itu seorang
laki-laki dan diberi nama Sidang Belawan. Setelah tumbuh dewasa, Sidang Belawan
gemar menangkap ikan di sungai dengan menggunakan jala. Suatu hari, ketika ia
sedang menjala ikan di sungai, bukannya ikan yang diperoleh melainkan sebuntal
rambut yang amat panjang. “Hai, kenapa ada buntalan rambut di sungai ini?” tanyanya
dengan heran. Penasaran dengan buntalan rambut itu, Sidang Belawan pun
memasukkannya ke dalam saku celananya lalu berjalan menuju ke hulu sungai.
Ketika hendak menebar jalanya di sebuah lubuk di dekat pancuran, tiba-tiba
pandangan Sidang Belawan tertuju pada 7 bidadari yang sedang asyik mandi di
lubuk itu. Sebelum para bidadari itu melihat, Sidang Belawan cepat-cepat
bersembunyi di balik sebuah batu besar. Dari balik batu itu, ia mengamati
gerak-gerik para bidadari tersebut. Saat mereka lengah, Sidang Belawan
diam-diam mengambil salah satu selendang yang diletakkan pinggir lubuk.
Ternyata, selendang itu adalah milik Bidadari Bungsu. Selang beberapa saat
kemudian, keberadaan Sidang Belawan akhirnya tercium oleh para bidadari
tersebut. Ketika mereka hendak meninggalkan tempat itu, tampak Bidadari Bungsu
sedang kebingungan mencari selendangnya. “Kakak, apakah kalian melihat
selendangku?” tanya Bidadari Bungsu. “Tidak, Adikku. Kami tidak melihatnya,”
jawab bidadari sulung. Keenam bidadari itu pun pergi meninggalkan si Bungsu.
Bidadari yang malang itu hanya bisa meratapi nasibnya yang tidak bisa terbang
karena selendangnya hilang. Sidang Belawan yang sedang bersembunyi di balik
batu segera menghampirinya. “Hai, bidadari cantik. Kenapa kamu menangis?” tanya
Sidang Belawan yang berpura-pura tidak tahu keadaan yang sebenarnya.
“Selendangku hilang, Tuan. Sementara kakak-kakakku telah pergi meninggalkanku
seorang diri di sini,” jawab Bidadari Bungsu dengan hati sedih, “Aku tidak bisa
lagi kembali ke negeriku di Kahyangan.” “Sudahlah, Putri. Barangkali sudah
menjadi nasibmu berjodoh denganku,” kata Sidang Belawan. “Apa maksud perkataan,
Tuan?” tanya Bidadari Bungsu.
“Kebetulan aku
masih bujangan. Jika Putri berkenan, aku ingin Putri menjadi pendamping
hidupku,” bujuk Sidang Belawan. Bidadari Bungsu menghela nafas panjang lalu
termenung sejenak. Setelah berpikir bahwa dirinya tidak mungkin lagi kembali ke
kahyangan tanpa selendangnya, ia pun menerima bujukan Sidang Belawan. Akhirnya,
pangeran itu membawa Bidadari Bungsu ke istana untuk diperistri. Beberapa hari
kemudian, pesta pernikahan Sidang Belawan dengan sang Bidadari Bungsu pun
dilangsungkan dengan cukup meriah di istana. Setelah itu, keduanya pun hidup
bahagia. Namun, kebahagiaan mereka ternyata membawa duka bagi keenam istri
ayahnya yang lain. Mereka pun semakin benci kepada Sidang Belawan dan ibunya.
Maka, dengan berbagai tipu daya, mereka berhasil membujuk Raja agar
mengasingkan Sidang Belawan dan keluarganya ke luar istana. Sejak itu, Sidang
Belawan bersama istri dan ibunya tinggal di sebuah kampung. Kini, ia harus
lebih giat bekerja dengan bercocok tanam dan mencari ikan di sungai. Hasilnya
pun cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bahkan, sebagian hasil panen
tersebut disimpan di lumbungnya jika mendapat hasil yang lebih. Setahun
kemudian, Bidadari Bungsu melahirkan seorang anak laki-laki. Kehadiran buah
hati itu membuat Sidang Belawan semakin bahagia dan giat bekerja. Demikian pula
sang Istri, ia semakin sayang pada keluarganya. Suatu hari, Bidadari Bungsu
hendak ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Sebelum berangkat, ia
berpesan kepada sang Suami. “Kanda, tolong jangan buka panci di atas tungku itu
sebelum Dinda pulang!” ujar Bidadari Bungsu. Sidang Belawan hanya menganggukkan
kepala. Setelah sang Istri pergi, Sidang Belawan yang penasaran dengan apa yang
dimasak istrinya segera membuka panci itu. Saat tutup panci itu dibuka,
ternyata isinya hanya sebutir beras. “Jadi, selama ini istriku menanak sebutir
beras. Pantas saja padi di lumbung tidak berkurang,” gumam Sidang Belawan
dengan heran. Saat siang menjelang, Bidadari Bungsu pun kembali dari pasar dan
langsung membuka panci itu. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebutir beras
itu tidak tanak menjadi nasi. Ia amat marah kepada suaminya yang telah
melanggar janjinya. “Kenapa Kanda melanggar janji? Coba lihat, beras yang Dinda
tanak tidak jadi nasi!” ujar Bidadari Bungsu dengan kesal. “Maafkan Kanda,
Dinda!” ucap Sidang Belawan. Ternyata, Bidadari Bungsu tidak bisa menumbuk padi
seperti halnya penduduk bumi lainnya. Maka, ia pun menggunakan kesaktiannya
dengan menanak sebutir beras menjadi satu panci nasi. Namun, kesaktian itu akan
hilang jika diketahui oleh manusia. Oleh karena suaminya sudah mengetahui hal
itu, ia pun harus menumbuk padi sendiri.
Ketika hendak mengambil padi di lumbung,
tiba-tiba ia tersentak kaget saat matanya tertuju pada sebuah kain berwarna
ungu di antara tumpukan padi. “Hai, sepertinya aku mengenal kain itu,” gumamnya
dengan tersentak. Ternyata dugaannya benar. Kain itu tak lain adalah
selendangnya yang disembunyikan oleh Sidang Belawan. Ia pun cepat-cepat
menggendong anaknya lalu terbang ke kahyangan. Sidang Belawan berusaha mengejar
tapi tidak bisa karena terhalang oleh lautan api. Namun, ia tidak berputus asa.
Ia segera menangkap seekor ayam jantannya lalu berdoa kepada Tuhan Yang
Mahakuasa. “Ya, Tuhan. Jika hamba keturunan raja sakti, ubahlah ayamku ini
menjadi rajawali!” pinta Sidang Belawan. Doa Sidang Belawan terkabulkan. Ayam
jantannya pun berubah menjadi seekor burung rajawali raksasa. Ia lalu
mengikatkan tubuhnya pada rajawali itu dengan rambut yang pernah ditemukan di
sungai agar tidak terjatuh saat rajawali itu membawanya terbang ke kahyangan.
Namun, ketika ia melewati lautan api itu, belitan rambut itu terbakar satu per
satu hingga ia pun terjatuh dan terbakar api. Melihat kejadian itu, rajawali
itu segera terbang mencari pertolongan. Akhirnya, rajawali menemukan seorang
tua bertongkat di tepi pantai. “Hai, Pak Tua! Tolong selamatkan Tuanku yang
tercebur ke dalam lautan api,” pinta rajawali yang ternyata bisa berbicara
layaknya manusia. Orang tua sakti itu pun memeritahkan rajawali mencari 7
batang lidi daun kelapa hijau dan 7 tangkai ketan hitam. Setelah kedua jenis
benda itu didapatkan, orang tua itu segera membakarnya lalu berdoa. “Ya, Tuhan.
Jika Sidang Belawan keturunan raja yang sakti, mohon hidupkanlah dia kembali!”
pinta orang tua itu. Permohonan orang tua itu terkabulkan. Sidang Belawan pun
hidup kembali. Setelah itu, lelaki tua sakti itu membakar tujuh tangkai ketan
hitam lalu kembali berdoa kepada Tuhan. “Ya, Tuhan. Jika Sidang Belawan
keturunan raja yang sakti, mohon antarkan ia ke Kahyangan!” Permohonan orang
tua itu kembali dikabulkan oleh Tuhan. Maka, seketika itu pula tubuh Sidang
Belawan menghilang lalu tiba-tiba muncul di kahyangan berhadapan dengan 7
bidadari cantik dengan wajah dan gaya yang serupa. Sidang Belawan pun bingung
mengenali istrinya di antara ketujuh bidadari tersebut. “Hai, Sidang Belawan!
Jika ingin mendapatkan istrimu, engkau harus melalui tiga ujian dari kami,”
ujar salah seorang bidadari itu. “Apapun syarat itu, akan kupenuhi demi
mendapatkan kembali istriku,” kata Sidang Belawan. Ketujuh bidadari itu
kemudian menghidangkan tiga jenis makanan untuk Sidang Belawan yang salah satunya
telah diberi racun. Jika ia salah memilih, maka tamatlah riwayatnya. Ketika ia
hendak memilih salah satu dari makanan itu, ia didahului oleh seekor kucing.
Ternyata, kucing itu menyantap makanan yang beracun hingga akhirnya tewas. Maka
selamatlah Sidang Belawan dan ia pun dianggap lulus ujian pertama. Ujian kedua
yang harus dilalui Sidang Belawan adalah mengisi bak kosong yang berlubang. Ia
segera ke sungai mengambil air untuk mengisi bak itu. Namun, pekerjaan sia-sia
karena setiap kali diisi, bak itu kembali kosong. Ketika ia mulai putus asa,
tiba-tiba gerombolan belut datang menolongnya. Belut-belut tersebut
menggosok-gosokkan badannya pada lubang bak itu hingga lendirnya menutupinya.
Akhirnya, Sidang Belawan berhasil mengisi bak itu dengan air hingga penuh.
“Engkau dinyatakan lulus ujian kedua. Sebagai ujian terakhir, silakan pilih
salah satu dari kami yang kamu yakini istrimu!” ujar salah seorang bidadari.
Sidang Belawan pun bingung untuk memilih di antara 7 bidadari yang serupa itu.
Di tengah-tengah kebingungannya, datang seekor kunang-kunang. “Hai, Sidang
Belawan. Aku akan membantumu. Jika aku hinggap di salah satu sanggul bidadari
tersebut, berarti itulah istrimu,” ujar kunang-kunang itu. “Terima kasih,
kunang-kunang,” ucap Sidang Belawan. Kunang-kunang itu kemudian terbang dan
hinggap di sanggul bidadari yang berdiri paling ujung kiri. Tanpa ragu-ragu
lagi Sidang Belawan pun segera mendekapnya. “Maafkan Kanda, Dinda. Kanda
berjanji tidak akan ingkar janji lagi,” ucap Sidang Belawan dengan perasaan haru.
“Iya, Kanda. Dinda pun berjanji akan hidup bersama Kanda,” kata Bidadari
Bungsu. Sementara itu, keenam bidadari lainnya mendekati Sidang Belawan. “Kamu
lulus ujian, Sidang Belawan. Bawalah istrimu ke bumi!” ujar bidadari sulung.
“Terima kasih, wahai para Bidadari,” ucap Sidang Belawan. Akhirnya, Sidang
Belawan memboyong istri dan anaknya ke bumi. Para warga pun menyambut gembira
kedatangan mereka. Sejak itu, Sidang Belawan hidup berbahagia bersama anak
istri dan ibunya.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment