“Kisah
Telu Pak”
Cerita
Rakyat Lampung
Dahulu, di
daerah Lampung, ada seorang anak laki-laki yang masih berumur belasan
tahun.Anak itu bernama si Buyung.Ia adalah anak orang terkaya di kampungnya. Ia
pun amat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Apapun kemauannya selalu
dituruti.Semua kebutuhannya selalu tercukupi.Hal itulah yang membuat si Buyung
menjadi anak pemalas. Sepuluh tahun kemudian, si Buyung pun tumbuh menjadi
dewasa dan menikah dengan seorang wanita cantik.Tak berapa lama setelah
menikah, kedua orang tuanya meninggal dunia. Sebagai anak tunggal, ia pun
mewarisi seluruh harta kekayaan kedua orang tuanya. Namun sayang, ia tidak
pandai menjaga harta warisan tersebut. Hidupnya hanya diisi dengan
berfoya-foya.Lama-kelamaan hartanya pun habis digunakan untuk bersenang-senang.
Meskipun ia menyesal, si Buyung tetap saja tidak mau bekerja karena tabiatnya
yang pemalas. Suatu hari, tampak si Buyung sedang duduk termenung seorang
diri.Istrinya pun datang menghampirinya. “Sudahlah, Abang tidak perlu putus asa
seperti itu,” ujar sang istri, “Sebaiknya Abang pergi merantau dan berguru
kepada orang-orang pandai. Siapa tahu mereka dapat membantu kita bisa keluar
dari penderitaan ini.” Mendengar nasehat istrinya, pikiran si Buyung
terbuka.Apa yang dikatakan istrinya itu memang benar. “Kamu benar, istriku.Kita
harus bangkit dari penderitaan ini,” kata si Buyung, “Abang akan pergi
merantau.” Keesokan harinya, si Buyung akhirnya pergi merantau dan berguru
kepada seorang guru. Di hadapan gurunya, ia pun menyampaikan masalah yang
sedang dihadapinya. “Tuan, Guru. Ajarilah aku cara mengatasi masalah ini,”
pintanya. “Angon sukhhok bidi cutiku. Artinya, kalau mengerjakan sesuatu yang
baik, meskipun hati enggan, kamu harus memaksakan diri melakukannya,” petuah
sang guru, “Pelajaran ini harus kamu terapkan selama tiga bulan dan niscaya
hidupmu akan berubah.”
Mendengar
nasehat itu, si Buyung pun kembali ke kampungnya dan mengamalkan ajaran
itu.Namun, setelah tiga bulan kemudian, hidupnya tetap saja tidak berubah.Ia
merasa kecewa atas nasehat gurunya itu. Namun, sang istri terus memberinya
dorongan agar terus berguru. “Jangan putus asa, Bang.Abang harus berguru lagi,”
ujar istrinya. Si Buyung pun menuruti nasehat istrinya.Ia kemudian berguru
kepada guru yang lain. Pada gurunya itu, ia mengaku bahwa bahwa dirinya pernah
mendapat pelajaran dari gurunya yang pertama. “Saya sudah pernah berguru, tapi
belum mendapatkan hasil,” ungkapnya. “Baiklah, kalau begitu. Saya akan memberi
pelajaran yang lain,” kata guru keduanya itu, “Angon tilansu sepak cutik.
Artinya, jangan terlalu berangan-angan pada sesuatu yang tidak masuk akal.”
Guru kedua itu juga menyuruhnya untuk mengamalkan pelajaran itu selama tiga
bulan. Namun, hidup si Buyung tetap saja tidak berubah.Sang istri pun tak
henti-hentinya memberikan semangat kepadanya. “Jangan putus asa, Bang.Carilah
guru lagi ke negeri lain,” kata istrinya. Si Buyung pun kembali berguru kepada
guru yang ketiga. Oleh gurunya itu, ia dianjurkan untuk tidak menuruti
perkataan perempuan. “Cawani babai mak dapok titukhutkan, bila ditukhut kon
cadang pendirianmu.Artinya, perkataan perempuan sebaiknya jangan dituruti, bila
semua dituruti akan rusak pendirianmu,” titah gurunya yang ketiga. “Baik, Tuan
Guru,” jawab si Buyung seraya perpamitan kembali ke kampungnya. Setelah tiga
bulan lamanya mengamalkan ajaran itu, si Buyung tidak mendapatkan
apa-apa.Hidupnya masih saja miskin. Dengan semangat ini berubah, ia pun mencari
berguru yang keempat. Oleh guru yang keempatnya itu, ia diajarkan agar jangan
pernah menolak untuk menolong orang lain setiap ada orang yang meminta
pertolongan. “Kiwat kilu tulung tengah bingi semawas mak dapok ditulak.
Artinya, jika ada orang yang meminta pertolongan pada tengah malam atau dini
hari sekalipun, jangan ditolak,” kata sang guru, “Jika kamu mengamalkan ajaran
ini dengan sungguh-sungguh, niscaya hidupmu akan bahagia. Tapi ingat, setelah
berguru kepadaku, kuharap kamu tidak berguru lagi kepada orang lain. ” “Baik,
Tuan Guru,” jawab si Buyung seraya berpamitan. Setiba di kampung halamannya, si
Buyung pun menyadari bahwa dirinya memang tidak perlu lagi berguru.Ia yakin
bahwa dengan mengamalkan ajaran tersebut, hidupnya akan berubah. Sejak itulah,
ia mengganti namanya menjadi Telu Pak (telu: tiga, pak: empat), yang berarti
orang yang sudah berguru sebanyak empat kali.
Suatu malam yang
larut, saat Telu Pak sedang khusyuk berdoa, tiba-tiba terdengar suara ketukan
pintu.Mendengar suara ketukan itu, Telu Pak segera membuka pintu rumahnya.
Alangkah terkejutnya ia setelah melihat dua orang pegawai istana datang membawa
sesosok mayat. “Ada apa ini?” tanya Telu Pak. “Maaf, Tuan. Kami menemukan mayat
ini tergeletak di ujung kampung.Tolong, kuburkan mayat ini,” kata salah seorang
pegawai itu, “Kami harus segera kembali ke istana karena ada urusan penting.” Pekerjaan
itu tidaklah mudah bagi Telu Pak. Di samping suasana sangat gelap, ia pun harus
menguburkan mayat itu seorang diri. Namun karena teringat pada pesan gurunya,
ia segera mengambil cangkul. Ketika ia menggali kubur, cangkulnya mengenai
sebuah batu. Di luar dugaannya, tiba-tiba batu itu memancarkan sinar. Dengan
bantuan sinar itu, ia pun dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat.
Setelah itu, Telu Pak membawa pulang batu bersinar itu lalu disimpannya di
bawah jendelanya. Batu itu terus memancarkan sinar sehingga mengundang
perhatian dua orang tetangganya yang lewat di depan rumahnya. “Hai, lihat!”
seru salah seorang dari mereka, “Bukankah itu batu intan?” “Iya, kamu
benar.Batu intan pasti sangat mahal harganya,” kata seorang yang lainnya. Kedua
orang tersebut berniat ingin mengambil batu itu.Namun, ternyata istri Telu Pak
kebetulan terbangun mendengar percakapan mereka.Ia pun segera mengambil batu
intan dan membawanya masuk ke dalam rumah. Kedua orang itu pun pergi dengan
perasaan kecewa. Keesokan harinya, istri Telu Pak bertanya kepada suaminya
mengenai batu intan itu. “Dari mana Abang mendapatkan batu itu?” tanyanya. Telu
Pak pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya semalam. Namun, ia sama
sekali tidak tahu jika batu itu adalah batu intan. “Ketahuilah, Bang! Batu yang
Abang temukan semalam itu adalah batu intan.Harganya mahal sekali,” ungkap
istrinya. Betapa terkejutnya Telu Pak mendengar pernyataan istrinya. Karena
penasaran, ia pun segera memecah batu intan dan pecahannya mereka tunjukkan kepada
seorang saudagar perhiasan. Ternyata benar, saudagar itu membenarkan bahwa itu
adalah batu intan.Saudagar itu bahkan mau menukarkan tokonya dengan batu intan
itu.Kedua belah pihak akhirnya bersepakat meminta saksi dari pihak
kerajaan.Namun, rupanya Raja tertarik pada batu intan itu.Ia pun berniat untuk
berbuat curang kepada Telu Pak. “Hai, Telu Pak. Aku juga mempunyai batu intan
kecil. Sementara batu intan milikmu itu adalah induknya,” ungkap sang Raja,
“Kupikir induk intan itu sedang mencari anaknya.”
Telu Pak tidak
percaya pada pernyataan Raja.Ia tahu bahwa sang Raja menginginkan batu intan
miliknya. Ia pun membuat sebuah kesepakatan dengan raja itu. “Baiklah, Baginda.
Mari tunjukkan intan kita masing-masing. Jika intan milik hamba bergerak
mendekati intan milik Baginda, maka ambillah intan hamba,” tantang Telu Pak,
“Tapi, jika intan milik Baginda tidak bergerak, maka Baginda harus
menandatangani kesepekatan hamba dengan saudagar itu.” “Baik, Telu Pak. Aku
terima tantanganmu,” kata sang Raja. Telu Pak pun meletakkan intan miliknya di
tanah, sedangkan sang Raja menaruh intannya di telapak tangannya. Ternyata, tak
satu pun dari kedua intan tersebut yang bergerak. Dengan demikian, sang Raja
kalah dan terpaksa menandantangani kesepekatan antara Telu Pak dan saudagar
perhiasan itu. Teluk Pak dan istrinya kemudian pindah ke toko itu. Dengan modal
batu intan yang dimiliki, mereka akhirnya menjadi saudagar perhiasan yang kaya
dan dermawan. Karena kedermawanannya, ia amat dihormati dan dicintai oleh
masyarakat. Setelah sang Raja wafat, Telu Pak diangkat menjadi raja. Ia
memerintah dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya pun senantiasa hidup rukun,
damai, dan sejahtera.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment