“Ratna
Ayu Wideradin dan Monyeh”
Cerita
Rakyat NTB
Di Lombok, Nusa
Tenggara Barat, berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Raja Indrapandita.
Raja itu memiliki sembilan putri yang cantik-cantik.Putri sulungnya bernama
Denda Wingi, sedangkan si bungsu bernama Ratna Ayu Wideradin.Dari kesembilan
putri raja tersebut, si bungsulah yang paling cantik dan mempesona.Maka, tidak
mengherankan jika si bungsu menjadi idola bagi pemuda dari berbagai negeri. Rupanya,
kecantikan Ratna Ayu Wideradin membuat iri kedelapan kakaknya, terutama si
sulung, Denda Wingit. Oleh karena itu, ia mengajak adik-adiknya yang lain untuk
menyingkirkan si bungsu. “Si Bungsu harus kita singkirkan dari istana ini,”
kata Denda Wingit, “Keberadaannya telah menganggu ketenteraman kita
semua.Setiap pangeran yang datang, Putri Bungsu yang selalu menjadi pilihan
mereka.” “Setuju, Kakak,” sahut putri yang ketiga, “Tapi, bagaimana cara kita
mengusir si Bungsu dari istana ini?” “Tenang, adikku.Kita bilang saja kepada
Ayahanda bahwa ia telah berbuat tidak senonoh dengan pemuda kampung,” usul
Denda Wingit. “Apakah Ayahanda mau mempercayai kita?” tanya putri yang lainnya.
“Tidak usah khawatir,” ujar Denda Wingit, “Kita akan membayar seorang pemuda
kampung untuk mengaku di hadapan Ayahanda bahwa ia telah melakukan hal-hal yang
tidak baik dengan si Bungsu.” Akhirnya, kedelapan putri raja tersebut
bersepakat untuk menghasut Ayahanda mereka.Keesokan harinya, seorang pemuda
kampung yang sebenarnya telah dibayar oleh para putri itu datang menghadap
raja. Pemuda itu mengaku bahwa ia telah berbuat yang tidak senonoh dengan Putri
Ratna Ayu. Sang Raja langsung murka, dan memerintahkan agar si Bungsu segera
dipanggil untuk menghadapnya.Sementara putri-putri lainnya yang juga ada di
ruangan itu tampak saling memandang dan tersenyum senang. “Cepat panggilkan
Putri Bungsu ke mari!” titah sang Raja.
“Baik, Ayah,”
kata putri ketujuh. Tidak berapa lama kemudian, putri ketujuh itu kembali
bersama si Bungsu. “Dasar anak tidak tahu diri!” bentak sang Raja kepada putri
bungsunya itu, “Kamu telah membuat malu kerajaan ini. Sebagai hukuman atas
perbuatanmu, mulai saat ini kamu tinggal di gubuk yang ada di belakang
lingkungan istana ini!” Betapa terkejutnya si Bungsu mendengar titah itu.Ia
benar-benar heran pada sang ayah yang tiba-tiba mengusirnya dari istana. Merasa
tidak bersalah, ia pun berusaha melakukan pembelaan di hadapan ayahandanya.
“Apa salah Ananda? Kenapa Ayah tiba-tiba murka?” tanya si Bungsu. “Ah, tidak
usah banyak omong! Cepat keluar dari istana ini dan tinggallah di gubuk itu!” tukas
sang Raja. Sungguh malang nasib Putri Ratna Ayu. Putri Bungsu ini pun harus
tinggal di gubuk bambu di halaman belakang istana. Di gubuk itu, ia hanya
ditemani oleh seorang inang (pengasuh) yang bernama Rangda Sayoman. Meskipun
berada dekat istana, namun tak seorang pun keluarganya yang peduli
kepadanya.Pakaian yang dimiliki hanya yang melekat di badannya.Makan pun
seadanya. Oleh karena itulah, sang inang menjulukinya dengan nama Winangsia,
yaitu putri yang tersia-sia. Winangsia mengisi hari-harinya dengan melukis dan
menulis syair yang indah. Bakat itu sudah ia miliki sejak masih kecil. Suatu
hari, Winangsia melukis wajahnya pada sehelai kertas. Kemudian di bawah lukisan
itu, ia menuliskan syair tentang nasibnya yang merana. Syair itu sangat indah
dan menyentuh hati siapa saja yang membacanya.Namun, ketika hendak menggulung
kertas itu, tiba-tiba angin kencang datang menerbangkannya. Kertas itu terus
melayang tinggi ke angkasa menuju Pulau Jawa dan akhirnya tersangkut di pohon
yang ada di dekat kolam pemandian seorang pangeran yang bernama Raden
Witarasari.Ia adalah putra sulung Raja Indrasekar, seorang penguasa di sebuah
kerajaan di Jawa. Raja Indrasekar ternyata bersaudara dengan Raja Indrapandita,
ayahanda Putri Ratna Ayu.Raden Witarasari mempunyai seorang adik laki-laki yang
sakti bernama Raden Kitabmuncar. Keesokan paginya, Raden Witarasari hendak
mandi di kolam pemandiannya.Tiba-tiba pandangannya tertuju pada kertas yang
tersangkut di atas pohon.“Kertas apa itu?Siapa yang meletakkannya di situ?” gumamnya.
Setelah mengamati kertas itu lebih dekat, Raden Witarasari melihat sebuah
lukisan wanita cantik di dalamnya. Karena penasaran, cepat-cepat ia memanjat
pohon lalu mengambil kertas itu. Setelah turun, ia terus memandangi lukisan itu
tanpa berkedip sedikit pun. “Cantik sekali gadis ini,” kata Raden Witarasari
takjub, “Tapi, siapakah dia?”
Raden Witarasari
kemudian membaca syair-syair yang tertulis di atas kertas itu. Maka tahulah ia
bahwa gadis itu adalah sepupunya. Begitu ia menyelami isi syair itu dari bait
ke bait, tiba-tiba hatinya terenyuh dan sedih. Saking sedihnya, Raden
Witarasari jatuh pingsan.Untung Raden Kitabmuncar datang menolongnya. Setelah
siuman, Raden Witarasari menunjukkan lukisan itu kepada adiknya. “Adikku,
bacalah syair-syair di kertas ini,” kata Raden Witarasari. Raden Kitabmuncar
pun tak kuasa menahan air matanya saat membaca syair-syair itu. “Kanda, kita
harus segera menolongnya,” ujar Raden Kitabmuncar. “Benar.Tapi sebaiknya hal
ini kita beritahukan Ayahanda terlebih dahulu,” kata Raden Witarasari. Kedua
pengeran itu pun segera menghadap sang Ayahanda. Raden Witarasari kemudian
menceritakan isi syair itu sekaligus memohon izin pergi ke Lombok untuk
menolong Winangsia. “Baiklah. Segeralah kalian menolong saudara sepupumu yang
malang itu,” kata sang Raja. Raden Witarasari kemudian meminta bantuan adiknya
yang sakti itu agar dibuatkan sebuah kapal dagang yang megah dengan barang
dagangan yang indah.Dalam sekejap, tugas itu pun berhasil diselesaikan.Keesokan
harinya, kedua pangeran itu bertolak menuju Lombok. Raden Witarasari menyamar
sebagai pedagang dengan nama Jamal Malik. Sementara Raden Kitabmuncar
berpura-pura sebagai pembantunya. Setiba di pelabuhan Lombok, Raden Kitabmuncar
segera meminta bantuan syahbandar (kepala pelabuhan) untuk melapor kepada raja
bahwa ada kapal yang membawa barang dagangan yang bagus-bagus dengan harga
murah.Syahbandar itu pun segera menuju ke istana raja.Tak lama kemudian,
syahbandar itu kembali bersama rombongan Raja Indrapandita yang datang bersama
kedelapan putrinya.Jamal Malik pun menyambut mereka dengan penuh hormat.
“Silahkan, Baginda! Barangkali ada barang hamba yang cocok dengan Baginda atau
putri-putri Baginda,” sambut Jamal Malik. Raja Indrapandita pun membelikan
pakaian yang indah-indah untuk kedelapan putrinya. Setelah rombongan Raja
kembali ke istana, ratusan penduduk berdesak-desak naik ke kapal untuk
berbelanja barang murah.Salah seorang di antaranya adalah inang Randa Sayoman.
Raden Kitabmuncar yang sakti itu tahu bahwa Rangda Sayoman adalah inangnya
Winangsia. Maka, cepat-cepatlah ia memberitahu kakaknya. Raden Witarasari
meminta agar dirinya diubah menjadi monyeh (monyet).Setelah itu, Raden
Kitabmuncar segera menawarkan monyeh itu kepada inang Randa Sayoman.Monyet itu
ajaib, bisa berbicara laksana manusia.Randa Sayoman pun tertarik membelinya
untuk diberikan kepada Winangsia. “Berapa harga monyet ini, tuan?” tanta Randa
Sayoman. “Berapa pun uang yang Anda miliki, monyet ini boleh dibawa pulang,”
ujar Raden Kitabmuncar.
Inang Rangda pun
menyerahkan uangnya, lalu membawa pulang monyet itu untuk diberikan kepada
Winangsia.Alangkah senangnya hati Winangsia karena memiliki monyet yang pandai
bicara. Monyet itu juga cerdik, bisa melakukan apa saja yang diperintahkan
kepadanya. Saking sayangnya kepada monyet itu, Winangsia selalu membawanya ke
mana pun pergi. Rupanya, kedelapan saudaranya kembali iri kepada
Winangsia.Maka, timbullah niat mereka ingin merebut monyet itu.Mereka kemudian
menyusun siasat dengan meminta ayahandanya agar menyuruh seluruh putrinya
menari bersama-sama di pendapa.Tapi, syaratnya harus berpakaian bagus dan
indah.Tentu saja Putri Winangsia tidak dapat memenuhi syarat itu karena tidak
memiliki pakaian yang indah seperti kakak-kakaknya. “Hai, Putri Bungsu. Jika
kamu tidak ikut menari dengan pakaian yang indah, maka kamu akan celaka dan
monyet itu akan menjadi milik kami,” ancam putri sulung. Putri bungsu yang
malang itu pun hanya bisa pasrah. Malam harinya, monyet penjelmaan Raden
Witarasari itu diam-diam pergi ke kapalnya.Ia mengambil pakaian tari dan segala
perlengkapannya untuk Winangsia. Sebelum pergi, ia menanggalkan pakaian
monyetnya di dekat gubuk Winangsia. Malam itu, Putri Winangsia belum tidur
karena sulit memejamkan matanya. Ketika berjalan keluar gubuknya, ia menemukan
pakaian monyet milik Raden Witarasari. Pakaian itu langsung dibakarnya karena
dikiranya sampah. Tak lama kemudian, Raden Witarasari pun kembali namun ia
tidak menemukan pakaian monyetnya. Akhirnya, penyamarannya pun ketahuan oleh
Winangsia. Terpaksa dengan jujur ia menceritakan perihal dirinya dan memberikan
pakaian tari itu kepada Winangsia. Putri bungsu itu pun amat senang karena
ternyata monyet itu adalah sepupunya yang ingin menolongnya. Keesokan harinya,
acara menari bersama di pendapa pun dimulai.Kedelapan kakaknya terlihat sudah
menunggu dengan mengenakan pakain tari yang indah.Namun, betapa terkejutnya
mereka saat melihat Winangsia berjalan menuju ke pendapa bersama seorang pemuda
tampan.Adik bungsu mereka itu tampak begitu cantik dan anggun dengan pakaian
tarinya. Saat menari, ia tampil dengan penuh percaya diri dan sungguh menghibur
para penonton, terutama sang Raja. Setelah acara selesai, Raden Witarasari pun
menceritakan semua perlakuan kedelapan putrinya terhadap Putri Ratna Ayu
Wideradin. Mendengar laporan itu, sang Raja berbalik menghukum mereka karena
telah memfitnah si Bungsu. Sementara itu, Putri Ratna Ayu Wideradin akhirnya
dilamar oleh Raden Witarasari. Setelah menikah, mereka pun berangkat ke Jawa
dan hidup berbahagia di sana.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment