“Ki Ageng Mangir Wanabaya”
Cerita Rakyat Yogyakarta
Setelah era Kesultanan Demak dan
Kesultanan Pajang berakhir, muncullah Kerajaan Mataram Islam di tanah Jawa yang
menjadi penerus garis keturunan dari Kerajaan Majapahit. Kerajaan ini dipimpin
oleh Panembahan Senopati alias Danang Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan.
Panembahan Senopati memiliki seorang putri yang cantik bernama Sekar Pembayun.
Pemerintahan Panembahan Senopati dibantu oleh patihnya, Ki Juru Martani, yang
terkenal sangat cerdas mengatur strategi. Panembahan Senopati berkeinginan
menguasai seluruh wilayah Mataram. Sudah beberapa kali Panembahan Senopati
berusaha menguasai seluruh wilayah Mataram, namun belum menemui hasil. Rupanya,
ada beberapa penguasa wilayah yang belum mau tunduk pada kekuasaannya. Salah satunya
adalah Ki Ageng Mangir Wanabaya. Ki Ageng Mangir Wanabaya adalah seorang
penguasa di daerah Mangir. Mangir merupakan sebuah perdikan (desa yang tidak
berkewajiban membayar upeti atau pajak kepada Kerajaan Mataram). Desa ini
terletak sekitar kurang lebih 30 km dari Mataram, tepatnya berada di dekat
pertemuan Sungai Bedok dan Sungai Progo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Ki Ageng
Mangir Wanabaya merasa berhak untuk tidak tunduk kepada kekuasaan Mataram.
Panembahan Senopati menganggap bahwa Ki Ageng Mangir Wanabaya sebagai duri
dalam daging yang harus ditaklukkan. Suatu hari, penguasa Mataram itu berunding
dengan Ki Juru Martani untuk membuat rencana penyerangan ke Mangir. Namun,
patih itu berpendapat lain. “Ampun, Baginda. Bukannya hamba bermaksud merendahkan
Baginda,” kata Ki Juru Martani, “Ki Ageng Mangir bukanlah lawan yang setara
buat Baginda. Ia memiliki tombak Kyai Baru Klinthing yang sakti. Di samping
itu, sebagai keturunan Majapahit, ia tentu memiliki pengaruh yang sangat kuat
di Mangir.” “Lalu, apa yang harus kita lakukan?” tanya Panembahan Senopati. Ki
Juru Martani terdiam sejenak, berpikir keras. Beberapa saat kemudian, ia pun
menawarkan sebuah siasat yang lebih halus, tapi licik. “Ampun, Baginda. Untuk
menghadapi Ki Ageng Mangir, kita harus menggunakan siasat,” kata Ki Juru
Martani.
“Siasat apakah itu?” Panembahan Senopati
penasaran. “Kita harus menggunakan siasat apus karma atau tipu daya halus.
Bukankah Ki Ageng Mangir sangat menggemari tarian ledhek (ronggeng). Jika
Baginda berkenan, kita utus putri Baginda, Putri Pembayun, ke Mangir dengan
menyamar sebagai penari,” usul Ki Juru Martani, “Bila terpikat pada kecantikan
sang Putri, Ki Ageng Mangir tentu akan menikahinya. Dengan begitu, penguasa
Mangir itu sudah pasti menjadi menantu Baginda dan niscaya dia akan menghadap
dan menghormati Mataram.” Panembahan Senopati tertegun. Ia paham bahwa siasat
itu bisa mengancam keselamatan putrinya. Namun, demi menjaga kewibawaan
Mataram, ia akhirnya setuju. Panembahan Senopati segera membujuk Sekar Pembayun.
Sang Putri pun tak kuasa menolak perintah ayahandanya itu. Sebelum berangkat ke
Mangir, Panembahan Senopati membentuk kelompok musik ledhek yang terdiri dari
para punggawa terkemuka Mataram. Adipati Martalaya ditunjuk sebagai dalang
sekaligus pemimpin kelompok dengan nama samaran Dalang Sandiguna. Ki
Jayasupanta ditunjuk sebagai penabuh gamelan dengan gelar Ki Sandisasmita, dan
Ki Suradipa sebagai penabuh gendang. Sementara itu, Sekar Pembayun berperan
menjadi penari sekaligus anak Ki Dalang yang bernama Waranggana, ia dikawal
oleh bupati wanita bernama Nyai Adirasa. Setelah tekun berlatih, grup kesenian
ledhek itu pun berangkat ke Mangir dengan membawa peralatan berupa gamelan dan
wayang. Selama dalam perjalanan, Sekar Pembayun bersama rombongannya selalu
mengadakan pertunjukan di desa-desa yang dilewati hingga mereka pun menjadi
terkenal. Suatu hari, rombongan ledhek itu akhirnya tiba di Mangir. Kebetulan,
di desa saat itu sedang diadakan acara merti dusun atau bersih desa, yaitu
pesta rakyat untuk mensyukuri hasil panen yang melimpah. Melihat kedantangan
grup ledhek itu, Ki Ageng Mangir Wanabaya segera menyambutnya dengan suka-cita.
Ia kemudian meminta kepada Dalang Sandiguna untuk menggelar pertunjukan ledhek
di halaman rumahnya. Ki Ageng Mangir terlihat gembira menyaksikan tarian
ledhek. Apalagi ketika melihat gerak tari Sekar Pembayun yang lemah lembut dan
suaranya yang merdu. Selama ini, belum ada seorang wanita pun yang mampu
memikat hatinya. Namun, ketika melihat kecantikan Sekar Pembayun, ia benar-benar
terpesona. Ia pun berniat untuk meminangnya. Usai pertunjukan, penguasa Mangir
itu pun menyampaikan niatnya Ki Dalang Sandiguna. “Wahai, Ki Dalang. Siapakah
gerangan wanita cantik itu?” tanya Ki Ageng Mangir. “Dia putri hamba, Tuan.
Namanya Waranggana,” aku Ki Dalang Sandiguna. “Jika berkenan, izinkanlah aku
meminang putri Ki Dalang,” pinang Ki Ageng Mangir. Ki Dalang Sandiguna tidak
perlu berpikir panjang untuk merestui pernikahan mereka. Sebab, memang itulah
yang diharapkan. Akhirnya, Waranggana menikah dengan Ki Ageng Mangir. Sejak
itulah, Waranggana menjadi bagian dari keluarga Mangir. Demikian pula
sebaliknya, Ki Ageng Mangir telah menjadi bagian dari keluarga Mataram.
Sementara itu, Ki Dalang Sandiguna
bersama rombongannya yang telah berhasil menyelesaikan tugasnya, akhirnya
kembali ke Mataram. Berbulan-bulan sudah Waranggana tinggal di Mangir. Kini, ia
sedang hamil tua. Ia merasa bahagia hidup bersama Ki Ageng Mangir yang tampan
dan perkasa itu. Putri Panembahan Senopati itu sangat mencintai suaminya. Meski
demikian, tetap harus melaksanakan amanat ayahandanya, yaitu membawa penguasa
Mangir itu ke Mataram. Suatu malam, ketika Ki Ageng Mangir sedang terlelap,
Waranggana mengusap tombak pusaka milik suaminya, tombak Kyai Baru Klinthing,
dengan sampur sonder (ikat pinggang untuk menari ledhek). Setelah kesaktian
tombak pusaka itu berkurang, ia pun membongkar jatidirinya di hadapan suaminya.
“Kanda, Dinda ingin mengatakan suatu hal kepada Kanda. Tapi, Dinda mohon Kanda
mau berjanji tidak akan marah setelah mendengarnya,” pinta Waranggana. “Ada
apa, Dinda? Katakanlah,” kata Ki Ageng Mangir, “Kanda berjanji tidak akan
marah.” “Sebenarnya, nama Dinda bukan Waranggana, tapi Putri Sekar Pembayun.
Dinda adalah putri Panembahan Senopati dari Mataram,” ungkap Putri Pembayun.
Alangkah terkejutnya Ki Agang Mangir mendengar pengakuan istrinya. Ia baru
sadar ternyata istri yang amat dicintainya itu adalah putri musuh besarnya.
Hati dan pikirannya menjadi tidak karuan. Apalagi ketika Putri Pembayun
mengajaknya sowan (menghadap) ke Mataram untuk membuktikan darma baktinya
sebagai menantu. Ki Ageng Mangir benar-benar berada di persimpangan jalan.
Namun, ia menyadari bahwa semua itu sudah menjadi suratan takdir. Maka, ia pun
menerima permintaan istrinya untuk sungkem kepada mertuanya di Mataram.
“Baiklah, Dinda. Demi cintaku pada Dinda dan demi hormatku kepada mertua, Kanda
bersedia sowan ke Mataram,” jawab Ki Ageng Mangir. Keesokan harinya,
berangkatlah Ki Ageng Mangir bersama Putri Pembayun ke Mataram dengan disertai sejumlah
kerabat dan pengawalnya. Sebagai seorang kesatria yang memiliki harga diri, ia
tak lupa membawa tombak pusakanya, Kyai Baru Klinthing. Rombongan Ki Ageng
Mangir terus berjalan menuju Mataram yang berpusat di Kotagede. Dalam
perjalanan, Ketika sampai di sebuah desa, Ki Ageng Mangir tiba-tiba mendapat
bisikan dari tombak pusakanya. “Kembalilah ke Mangir! Jika Tuan meneruskan
perjalanan hingga ke Mataram, nyawa Tuan di pal (dipastikan) akan melayang,”
demikian bisikan pusaka itu. Bisikan itu rupanya tidak menyurutkan niat Ki
Ageng Mangir untuk melanjutkan perjalanan ke utara, walaupun ia tahu bahwa
tindakannya itu beresiko. Sebelum meninggalkan desa tersebut, ia menamakan
daerah itu Palbapang, yaitu berasal dari kata pal atau ngepal. Setelah berjalan
beberapa lama, rombongan itu sampai lagi di suatu desa. Mereka berhenti untuk
beristirahat. Ki Ageng Mangir tiba-tiba teringat pada pesan tombak pusakanya.
Ia pun sadar bahwa Panembahan Senopati adalah musuhnya, tapi ia ngrumangsani
(merasa) bahwa dirinya adalah menantu yang harus berbakti kepada mertua
meskipun hatinya ngemban mentul (bimbang).
Konon, tempat beristirahat Ki Ageng
Mangir itu kemudian dinamakan Bantul, yaitu diambil dari suasana hatinya yang
ngemBan menTul. Ia akhirnya memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Setiba di
Mataram, Ki Ageng Mangir disambut oleh kerabat keraton dengan upacara
penyambutan yang disebut ngunduh mantu. Rupanya, upacara itu sudah diatur untuk
menjebak Ki Ageng Mangir. Di depan kraton terdapat sebuah bangsal tarub (teratak)
yang dijaga oleh Ki Juru Martani. Ketika Ki Ageng melewati tarub itu, patih itu
menghentikannya. “Maaf, Ki Ageng Mangir! Sungguhlah tidak sopan jika seorang
menantu membawa senjata saat sungkem kepada mertuanya,” ujar Ki Juru Martani.
Sebagai menantu yang baik, Ki Ageng Mangir melepas semua senjata yang
dibawanya, termasuk Kyai Baru Klinthing. Kemudian, ia bersama istrinya segera
sungkem kepada Panembahan Senopati. Sambutan Panembahan Senopati yang begitu
ramah dan penuh kasih sayang membuat Ki Ageng Mangir sedikit terlena. Di
hadapan mertuanya, ia duduk bersimpuh dan bersembah sebagai tanda penghormatan.
Namun, tiba-tiba suasana menjadi gaduh. Ketika kepala Ki Ageng Mangir hampir
menyentuh lantai, Pangeran Senopati langsung meraih kepala menantunya itu dan
langsung membenturkannya ke kursi singgasananya yang disebut Watu Gilang. Ki
Ageng Mangir pun tewas seketika. Putri Pembayun yang menyaksikan peristiwa itu
langsung menangis histeris. Ia amat menyesal berkunjung ke Mataram yang pada
akhirnya menjadi malapetaka bagi suami yang amat dicintainya. Jenazah Ki Ageng
Mangir kemudian dimakamkan di Keraton Mataram, Kotagede. Oleh karena dianggap
separuh jiwanya keluarga keraton dan separuh musuh Mataram, maka separuh
jasadnya (bagian atas) dimakamkan di dalam kompleks keraton, sedangkan
separuhnya (bagian bawah) berada di luar keraton, atau dimakamkan dengan posisi
melintang di antara batas wilayah keraton dengan daerah luar keraton. Sementara
itu, Watu Gilang yang merupakan singgasana Panembahan Senopati kini menjadi
situs bersejarah Kotagede. Batu yang berwarna hitam dan berbentuk persegi
dengan ukuran 2 x 2 meter ini terdapat cekungan pada salah satu sisinya akibat
benturan kepala Ki Ageng Mangir. Situs sejarah ini masih tersimpan di dalam
sebuah bangunan kecil yang terletak di Kampung Kedhaton (Dalem), sekitar 500
meter sebelah selatan Masjid Agung Mataram Kotagede.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment