“Asal
Mula Telaga Biru”
Cerita
Rakyat Maluku Utara
Di wilayah
Galela, Halmahera Utara, Maluku Utara, tersebutlah sebuah dusun bernama Lisawa.
Dusun ini masih tergolong sepi, karena hanya dihuni oleh beberapa keluarga yang
menempati beberapa dadaru (rumah). Dusun ini juga tergolong daerah yang sulit
air, karena hampir seluruh wilayahnya terdiri dari bebatuan. Untuk mendapatkan
air bersih untuk keperluan minum, masak, dan mandi, para penduduk harus
berjalan jauh. Meski demikian, penduduknya senantiasa hidup aman, damai, dan
tenang. Di dusun ini seorang pemuda tampan yang akrab dipanggil Magohiduuru,
dan seorang gadis cantik yang akrab dipanggil Majojaru. Mereka adalah sepasang
kekasih setia sehidup-semati. Sebenarnya, Magohiduuru ingin segera meminang
Majojaru. Namun, ia tidak berani menyampaikan niat itu kepada kekasihnya,
karena ia menyadari bahwa untuk menghidupi dirinya sendiri masih kesulitan,
apalagi jika berkeluarga. Menyadari keadaan dirinya, Magohiduuru pun memutuskan
untuk pergi merantau. Setelah berhasil, barulah ia akan kembali melamar
Majojaru. Niat itu pun ia sampaikan kepada kedua orang tuanya dan mendapat
restu. Setelah itu, ia segera menemui kesasihnya. `Adikku! Ada yang ingin
kukatakan kepadamu!” kata Magohiduuru. “Ada apa, Kak! Katakanlah!” desak
Majojaru. “Adikku! Kakak ingin pergi merantau mencari bekal untuk masa depan
kita berdua. Setelah berhasil, Kakak akan segera kembali untuk melamarmu.
Apakah Adik akan setia menunggu sampai Kakak pulang?” tanya Magohiduuru.
Majojaru tertegun sejenak. Ia terdiam dengan pandangan kosong. Pikirannya
terbang jauh membayangkan dirinya akan ditinggal oleh sang Kekasih yang sangat
dicintainya itu. Hatinya sangat sedih membayangkan hal itu. Namun, setelah
berpikir dengan akal jernih, ia pun menyadari bahwa yang dikatakan kekasihnya
itu benar, demi masa depan mereka yang lebih baik. “Baiklah, Kak! Jika Kakak
bersungguh hati hendak merantau, pergilah Kak! Adik akan setia menunggumu.
Kakaklah satu-satunya harapan Adik dalam hidup ini. Kakaklah cinta
sehidup-semati Adik,” ucap Majojaru. “Tapi, jangan lupa segera kembali jika
Kakak sudah berhasil!” pesannya.
Betapa senangnya
hati Magohiduuru mendengar janji setia dan restu dari sang Kekasih. “Iya,
Adikku! Kakak berjanji segera kembali, karena kamulah milik Kakak satu-satunya.
Semoga Tuhan Yang Mahakuasa mengabulkan ikrar kita untuk sehidup-semati,” kata
Magohiduuru. Keesokan harinya, Magohiduuru berpamitan kepada Majojaru. Meski
keduanya sudah saling merelakan berpisah untuk sementara waktu, Majojaru masih
menyimpan perasaan berat hati untuk melepas kepergian kekasih hatinya, begitu
pula Magohiduuru dengan perasaan berat hati harus meninggalkan sang kekasih
tercinta. Namun, apapun keadaannya, Magohiduuru sudah bertekad keras untuk
merantau. Ia pun berangkat ke negeri seberang dengan menumpang kapal layar.
Sudah satu tahun Magohiduuru di perantauan, belum juga kembali. Hati Majojaru
pun mulai gelisah. Suatu hari ketika berjalan-jalan ke dermaga, Majojaru
melihat sebuah kapal sedang berlabuh. Dengan penuh harapan, ia mendekat ke
kapal itu siapa tahu kekasih yang dinanti-nantikannya ada di antara para
penumpang. Ia mengamati setiap penumpang yang turun dari kapal dengan penuh
seksama. Seluruh penumpang sudah turun dari kapal, namun orang yang dicarinya
tidak juga kelihatan. Akhirnya, ia pun memberanikan diri untuk menanyakan
keberadaan kekasihnya kepada salah seorang awak kapal. “Permisi, Tuan! Bolehkah
saya menganggu sebentar?” sapa Majojaru. “Iya, ada apa? Ada yang dapat
kubantu?” bertanya awak kapal itu. “Iya, Tuan! Apakah Tuan mengenal kekasih
saya, Magohiduuru? Kalau tidak salah, setahun yang lalu ia menumpang kapal Tuan
menuju ke negeri seberang. Apakah Tuan pernah mendengar kabarnya?” Majojaru
balik bertanya. “Ooo... Magohiduuru, si pemuda tampan yang malang itu,” jawab
awak kapal itu. Mendengar jawaban itu, Majojaru pun tersentak kaget. “Hai, apa
maksud Tuan dengan si pemuda yang malang itu? Apa yang terjadi dengannya,
Tuan?” tanya Majojaru dengan penuh penasaran. Awak kapal itu pun bercerita
bahwa sebulan yang lalu Magohiduuru meninggal dunia di perantauan karena
kecelakaan saat sedang bekerja. Bagaikan disambar petir di siang bolong
Majojaru mendengar berita buruk itu. Ia seolah tidak percaya atas nasib yang
menimpa kekasihnya. Musnahlah segala harapannya. Janji setia untuk sehidup semati
yang pernah mereka ikrarkan pun menjadi sirna.
Dengan hati
sedih dan tubuh lemas, Majojaru berjalan sempoyongan pulang ke rumahnya.
Sebelum sampai di perkampungan, ia mencari tempat berteduh untuk menenangkan
hatinya. Ia duduk di atas bebatuan yang berada di bawah sebuah pohon beringin
meratapi nasib yang telah menimpa kekasihnya. Ia pun menangis sejadi-jadinya
hingga tiga hari tiga malam. Air matanya terus mengalir tak terbendung bagaikan
tanggul yang jebol. Lama-kelamaan, air matanya menggenangi dan menenggelamkan
bebatuan tempat ia duduk hingga ia pun ikut tenggelam dan meninggal dunia. Tak
berapa lama kemudian, terbentuklah sebuah telaga kecil yang airnya sebening air
mata dan berwarna kebiruan.
Beberapa hari
kemudian, seorang penduduk sedang mencari kayu bakar di sekitar tempat itu.
Betapa terkejutnya ia ketika melihat telaga kecil itu. “Hai, kenapa tiba-tiba
ada telaga di tempat ini?” gumamnya. Tanpa banyak pikir, orang itu segera
memberitahukan keberadaan telaga itu kepada penduduk Dusun Lisawa. Mendengar
berita tersebut, para penduduk pun menjadi gempar. Tetua adat (kepala kampung)
bersama beberapa orang warga segera berbondong-bondong untuk melihat telaga
itu. Setibanya di tempat itu, mereka terheran-heran dan kebingungan. “Hai,
apakah kamu mengerti kapan sumber mata air ini muncul?” tanya tetua adat kepada
warga yang pertama menemukan telaga itu. “Tidak, Pak! Telaga itu sudah ada saat
aku melewati tempat ini,” jawab warga itu. “Wah, apakah ini pertanda sesuatu
yang buruk akan terjadi di kampung kita, Pak?” sahut seorang warga lainnya.
“Entahlah. Tapi, kita harus menyelediki penyebab timbulnya telaga ini,” ujar
tetua adat. Akhirnya, tetua adat dan beberapa orang warga tersebut kembali ke
perkampungan. Tetua adat segera memukul dolodolo (kentongan) untuk mengumpulkan
seluruh warganya. Tak berapa lama, para warga pun telah berkumpul di halaman
rumahnya. “Wahai, seluruh wargaku! Ketahuilah! Di kampung kita baru saja
terjadi peristiwa aneh. Sebuah telaga kecil tiba-tiba muncul di pinggir
kampung. Oleh karena itu, kita harus mengadakan upacara adat untuk mengungkap
misteri keberadaan telaga itu!” seru tetua adat. Mendengar seruan tersebut,
para sepepuh kampung segera menyiapkan segala keperluan untuk mengadakan
upacara adat pemanggilan roh-roh leluhur dan penyembahan terhadap Jou Giki Moi
atau Jou Maduhutu (Tuhan Yang Esa atau Tuhan Sang Pencipta). Selang beberapa
saat upacara adat itu berlangsung, terdengarlah sebuah bisikan dari roh lehuhur
mereka yang bunyinya seperti berikut: “Timbul dari sininga irogi de itepi
sidago kongo dahulu de i uhi imadadi ak majobubu”. (Artinya: Timbul dari akibat
patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mangalir dan mengalir menjadi
sumber mata air). Mendapat jawaban tersebut, tetua adat pun menutup upacara
adat tersebut dan segera membunyikan dolodolo. Tak berapa lama, para warga pun
berkumpul untuk mendengarkan hasil temuan yang akan disampaikan oleh tetua
adat. “Wahai, wargaku! Ketahuilah! Keberadaan telaga itu disebabkan oleh air
mata seorang gadis akibat patah hati ditinggal mati oleh kekasihnya,” ungkap
tetua adat.
Begitu tetua
adat selesai menyampaikan keterangan itu, suasana pun menjadi hening. Seluruh
warga yang hadir bertanya-tanya dalam hati siapakah pasangan kekasih tersebut.
Di tengah keheningan tersebut, tetua adat kembali angkat bicara dan bertanya
kepada warga. “Hai, siapakah di antara kalian yang saat ini anggota keluarganya
tidak berada di kampung ini?” tanya tetua adat. Mendengar pertanyaan itu, para
warga pun saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota
keluarganya. Selang beberapa saat, seorang laki-laki setengah baya mengacungkan
tangan. Ia adalah ayah Magohiduuru. “Saya, Pak!” sahut ayah Magohiduuru. “Siapa
anggota keluargamu itu dan ke mana perginya?” tanya tetua adat. Ayah Magohiduuru
itu pun bercerita bahwa setahun yang lalu anak laki-lakinya yang bernama
Magohiduuru pergi merantau, namun belum kembali. Begitu lelaki setengah baya
itu usai bercerita, ayah Majojaru pun bercerita bahwa putrinya, Majojaru, sudah
tiga hari tidak pulang ke rumah. Ia sudah mencari ke mana-mana tapi tidak
menemukannya. Ia juga bercerita bahwa sebenarnya, putrinya dan Magohiduuru
adalah sepasang kekasih dan mereka telah saling berjanji untuk sehidup semati.
Dari keterangan ayah Magohiduuru dan Majojaru itulah, tetua adat menduga bahwa
ada sesuatu yang terjadi pada sepasang kekasih tersebut. Setelah diusut ke
mana-mana, akhirnya mereka pun mendapat kabar berita dari awak kapal bahwa
Magohiduuru telah meninggal dunia di perantauan. Mereka juga mendapat keterangan
bahwa Majojaru telah mengetahui perihal kematian kekasihnya. Mendengar semua
keterangan tersebut, maka tetua adat dan seluruh warga Dusun Lisawa pun
berkeyakinan bahwa terbentuknya telaga itu berasal dari air mata Majojaru
karena menangisi kepergian kekasihnya. Untuk mengenang peristiwa yang
menyedihkan itu, penduduk setempat menamai telaga itu Telaga Biru, karena
airnya sebening air mata dan berwarna kebiruan. Mereka pun berjanji akan
menjaga dan merawat telaga itu.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment