“Legenda
Codet “
Cerita
Rakyat DKI Jakarta
Pada pertengahan
abad ke-18 M., di tanah Betawi ada seorang pangeran yang kaya-raya bernama
Pangeran Geger. Masyarakat sekitar lebih akrab memanggilnya dengan nama
Pangeran Codet karena terdapat bekas luka di dahinya. Wilayah kekuasaan sang
pangeran meliputi daerah yang kini dikenal sebagai wilayah Codet di Jakarta
Timur. Pangeran Codet memiliki istri bernama Polong dan lima orang anak. Salah
satunya adalah Maemunah yang memiliki paras yang cantik nan rupawan. Tidak mengherankan
jika banyak bangsawan yang datang melamarnya.
Suatu hari, datanglah seorang
pemuda tampan dan gagah perkasa bernama Astawana hendak melamar Maemunah.
Astawana berasal dari Makassar (Sulawesi Selatan), tapi ia sudah cukup lama
tinggal di Betawi, tepatnya di sebelah timur Condet. Astawana terkenal memiliki
kesaktian yang tinggi dan baik hati. Saat sampai di depan rumah Pangeran Codet,
Astawana memberi salam. “Assalamu’alaikum!” ucap pemuda itu dengan suara pelan.
Belum ada jawaban dari pemilik rumah. Salamnya baru mendapat jawaban setelah ia
mengucapkan salam yang ketiga kalinya dengan suara agak keras. “Waalaikum
salam...!” terdengar suara wanita dari dalam rumah menjawab salamnya. Beberapa
saat kemudian, tampaklah seorang gadis cantik berjalan dari dalam rumah. Gadis
yang tidak lain adalah Maemunah itu segera mempersilakan Astawana duduk di
kursi yang ada di teras rumah. Teras rumah merupakan ruang tamu bagi rumah
masyarakat Betawi. “Silakan duduk, Bang!” ujar Maemunah. Setelah itu, Maemunah
segera masuk ke dalam untuk memanggil kedua orangtuanya.Tak berapa lama
kemudian, Pangeran Codet bersama istrinya pun datang menemui Astawana. “Maaf,
Anak Muda. Anda siapa dan apa maksud kedatangan Anda ke mari?” tanya Pangeran
Codet. “Nama saya Astawana.Kedatangan saya kemari untuk melamar putri Tuan yang
bernama Maemunah,” ungkap Astawana.
Mendengar nama
pemuda itu, Pangeran Codet dan istrinya tersentak kaget. Nama itu tidak asing
lagi bagi mereka. “Pangeran Astawana yang terkenal sakti itu bukan?” tanya
istri Pangeran Codet. “I... Iya, Tuan!” jawab Astawana sedikit gugup,
“Kebetulan saja orang-orang di daerah ini banyak yang mengenal saya.” Begitulah
sifat Astawana. Meskipun memiliki kesaktian yang tinggi, ia selalu merendahkan.
Hal itulah yang membuat Pangeran Codet dan istrinya terpikat untuk
menjadikannya menantu.Tapi, semua itu tergantung pada Maemunah.Mereka tidak
bisa memutuskan atas kemauan mereka sendiri tanpa persetujuan dari putri
mereka. Ketika Maemunah datang membawa minuman, sang Ayah pun menyampaikan
maksud kedatangan Astawana. “Putriku, duduklah sebentar,” kata Pangeran Codet,
“Ayah ingin memperkenalkamu dengan pangeran muda ini. Apakah kamu pernah
mengenalnya?” Maemunah tersenyum sambil tertunduk malu dan kemudian menjawab
bahwa ia hanya sering mendengar nama itu, tapi belum pernah bertemu secara
langsung. “Aye hanya mengenal namanya, Be,” jawab Maemunah singkat.
“Ketahuilah, kedatangan Astawan kemari ingin melamarmu.Bagaimana pendapatmu,
Putriku?” Maemunah tidak langsung menjawab dan termenung sejenak. Setelah
berpikir bahwa Astawana adalah seorang yang sakti mandraguna, maka ia pun
menjawab dengan mengajukan sebuah persyaratan kepada pemuda sakti itu. “Iya,
lamaran aye terima jika Abang mampu membuatkan dua rumah di dua tempat yang
berbeda dalam waktu semalam,” pinta Maemunah, ”Dua rumah itulah sebagai mas
kawinnya.” Mendengar permintaan itu, Astawana tidak perlu berpikir panjang.Ia
yakin mampu memenuhi syarat itu dengan kesaktian yang dimilikinya. “Baiklah,
saya menyanggupi persyaratan itu,” jawab Astawana dengan penuh keyakinan.
Ketika hari mulai gelap, pemuda asal Makassar itu segera berdoa untuk memohon
pertolongan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Berkat doa dan dan kesaktiannya, ia
pun berhasil mewujudkan pemintaan Maemunah. Dua rumah tersebut kemudian disebut
sebagai Batuampar dan Balekambang. Kini, nama kedua rumah diabadikan menjadi
dua nama kelurahan di Kecamatan Kramat Jati, Jakarta Timur. Permintaan Maemunah
telah dipenuhi oleh Astawana.Perkawinan mereka pun dilangsung dengan
meriah.Tamu undangan dari berbagai penjuru memadati kediaman Pangeran
Codet.Kemeriahan pesta itu semakin terlihat ketika gambang kromong mulai
dipentaskan. Alunan musik khas Betawi itu pun terdengar merdu menghibur para
tamu undangan. Kedua mempelai yang duduk bersanding di kursi
pelaminan tampak tersenyum bahagia
menikmati kemeriahan pesta.
Demikian pula
Pangeran Codet dan istrinya turut bersuka-cita atas pernikahan putrinya. Selang
beberapa waktu setelah pernikahan putrinya, Pangeran Codet meninggal dunia
karena sakit.Seluruh harta kekayaannya, termasuk tanah dan kekuasaannya
diwarisi oleh Maemunah.Sejak itulah, istri Astawana itu menjadi penguasa di
wilayah itu menggantikan kedudukan ayahnya. Untuk menghormati sang Ayah,
Maemunah menyebut daerah kekuasaannya sebagai wilayah Codet yang lama-kelamaan
diucapkan dengan nama Condet. Maemunah adalah sosok yang adil dan
bijaksana.Atas kepemimpinannya, masyarakat di sekitarnya pun senantiasa hidup
damai dan tenteram.Namun, beberapa tahun kemudian, kedamaian Condet terusik
oleh kedatangan kompeni Belanda ke wilayah Betawi.Kaum penjajah itu mulai
merampas tanah milik penduduk secara paksa.Jika ada penduduk yang melawan,
mereka tidak segan-segan menganiaya, bahkan membunuh. Salah seorang Belanda
yang tinggal di sekitar Condet adalah Jan Ament.Ia terkenal kejam dan serakah.
Meskipun telah memiliki tanah yang luas dari hasil rampasan, ia tetap tidak
merasa puas. Ia ingin menjadi tuan tanah paling kaya dan menguasai wilayah
Condet. Mengetahui Maemunah memiliki tanah yang luas, Jan Ament pun ingin
merampasnya. Suatu hari, Jan Ament bersama antek-anteknya mendatangi rumah
Maemunah. Dengan sebilah pedang panjang terselip di pinggang, Jan Ament berseru
di depan rumah Maemunah. “Hai, perempuan pribumi, cepat keluar!Kalau tidak, aku
akan masuk memaksamu ke keluar!” teriaknya sambil berkacak pinggang. Maemunah
yang mendengar teriakan itu segera keluar bersama suaminya.Dengan tenang, putri
almarhum Pangeran Codet itu menyapa Jam Ament dengan ramah. “Maaf, Tuan!
Barangkali ada sesuatu yang bisa aye bantu?” tanya Maemunah. “Aku ke sini untuk
meminta seluruh tanah milikmu. Cepat serahkan semua surat-surat tanahmu
kepadaku! Kalau tidak, kamu akan tahu sendiri akibatnya. Pedang panjangku ini
akan menebas lehermu,” ancam Jan Ament. Astawana yang berdiri di samping
istrinya angkat bicara karena tidak tahan lagi melihat sikap Jan Ament. “Hai,
Belanda pengecut! Beraninya sama perempuan saja. Lawan aku jika kamu berani!”
tantang Astawana seraya melompat ke hadapan Jan Ament. Jan Ament tersentak
kaget dan mundur beberapa langkah. Ketika ia hendak mengunus pedangnya,
tiba-tiba sebuah tendangan keras melayang menghantam dadanya. Tentara Belanda
itu pun terpental ke belakang dan terjatuh ke tanah.Melihat tuannya tidak
berdaya, antek-antek Jan Ament hendak membantu. Namun, Jan Ament mencegah dan
mengajak mereka untuk meninggalkan tempat itu.
“Ayo kita pergi
dari sini!” ujar Jan Ament sambil memegang dadanya yang terkena tendangan
Astwana. Sebelum meninggalkan halaman rumah Maemunah, Jan Ament mengancam akan
kembali dengan jumlah orang yang lebih banyak. Beberapa hari kemudian, Jan
Ament kembali mendatangi rumah Maemunah untuk menantang Astawana. Namun, ia
tetap tidak mampu mengalahkan suami Maemunah yang sakti itu. Menurut cerita,
Jan Ament baru berhasil merebut tanah Maemunah setelah menggunakan akal
licik.Ia mengirim seorang anteknya untuk mengetahui kelemahan Astawana.
Alhasil, usaha tersebut berhasil sehingga suami Maemunah itu dapat
dikalahkan.Sejak itulah, Jan Ament menjadi penguasa di Condet dan dilanjutkan
oleh anak cucunya. Keturunan Jan Ament yang menjadi tuan tanah tinggal di rumah
besar di Kampung Gedong. Mereka membuat aturan yang memberatkan rakyat Condet
dengan mewajibkan membayar sewa tanah setahun sekali. Selain itu, para petani
diwajibkan melakukan kompenian, yaitu kerja bakti tanpa diberi upah untuk
kepentingan tuan tanah. Semakin hari, kesewenang-wenangan kompeni Belanda
terhadap rakyat Condet semakin menjadi-jadi.Jika ada warga yang tidak mampu
membayar sewa tanah, mereka tidak segan-segan merampas dan menyita
barang-barang atau pun rumah warga itu.Tapi, jika mendapat rumah sitaan yang
rusak, mereka langsung membakarnya. Kesewenang-wenangan itu membuat rakyat
Condet resah.Oleh karena itu, pada tahun 1916 M., rakyat Condet yang dipimpin
oleh Entong Gendut bersepakat untuk melakukan perlawanan.Entong Gendut adalah
seorang pendekar silat dari Batu Ampar yang juga bagian dari wilayah Condet.Ia
dibantu oleh Astawana dan dua orang pendekar sakti lainnya bernama Modin dan
Maliki yang keduanya juga berasal dari Batu Ampar. Entong Gendut bersama
kawan-kawannya mempersiapkan diri terlebih dahulu.Mereka melatih warga belajar
ilmu silat.Setelah anggotanya mencapai ratusan orang, perkumpulan silat yang
dipimpin oleh Entong Gendut itu pun mulai melakukan perlawanan. Mereka
dipersenjatai dengan golok, tombak, keris, dan panah. Sementara itu, kompeni
Belanda dilengkapi dengan senjata api dan senapan. Saat pertempuran sedang
berlangsung, anak buah Entong Gendut banyak yang tewas tertembus peluru. Tidak
sedikit pula anggota pasukan kompeni Belanda yang tewas, terluka terkena bacok,
atau tertembus anak panah. Dalam pertempuran itu, rakyat Condet akhirnya kalah
setelah tentara Belanda mendapat bantuan sekompi pasukan. Entong Gendut pun
tewas karena dadanya tertembus peluru.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment