Sunday, 29 November 2015

Cerita Rakyat Yogyakarta

“Bawang Merah dan Bawang Putih”
Cerita Rakyat Yogyakarta


Di Kampung Dadapan, Yogyakarta, hidup sebuah keluarga kecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak gadis mereka yang bernama Bawang Putih. Meskipun sang ayah hanya pedagang kecil, keluarga kecil itu senantiasa hidup rukun, damai, dan bahagia. Namun sayang, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena sang ibu harus pergi untuk selama-lamanya akibat terserang penyakit yang menyebabkan nyawanya melayang. Kepergian sang ibu benar-benar membuat anggota keluarga yang ditinggalkan amat berduka, terutama Bawang Putih.
Sejak kehilangan sosok ibu yang begitu sayang kepadanya, Bawang Putih merasa amat kesepian dan kerap menyendiri di kamarnya. Untung di desa itu ada seorang janda bernama Mbok Randha yang sering berkunjung ke rumahnya untuk membawa makanan atau sekadar menemani Bawang Putih dan ayahnya mengobrol. Bahkan, ia kerap membantu Bawang Putih membersihkan rumah dan memasak. Keberadaan Mbok Randha telah meringankan beban keluarga Bawang Putih. Hal itulah yang membuat ayah Bawang Putih tertarik untuk menikahi Mbok Randha agar putrinya tidak kesepian lagi. Sebagai ayah yang bijak, ia tidak mau bertindak sendiri dengan meminta pertimbangan kepada putri semata wayangnya. “Bawang Putih, Putriku. Ayah melihat Mbok Randha adalah sosok ibu yang baik. Barangkali akan lebih baik jika ia menjadi anggota keluarga kita,” kata ayah Bawang Putih. “Bagaimana pendapatmu, Anakku?” Bawang Putih memahami maksud ayahnya. Ia pun merasa bahwa kehadiran Mbok Randha dalam keluarganya akan membuat suasana menjadi ramai, sehingga dirinya tidak lagi kesepian. Apalagi Mbak Randha mempunyai seorang anak gadis yang bernama Bawang Merah dan sebaya dengannya. Dengan pertimbangan itu, Bawang Putih pun rela jika ayahnya menikah dengan Mbok Randha. Setelah menikah, Mbok Randha bersama putrinya tinggal di rumah Bawang Putih. Pada mulanya, Mbok Randha dan Bawang Merah sangat baik kepada Bawang Putih, terutama saat ayahnya ada di rumah. Namun, setelah beberapa lama tinggal di rumah itu, sifat asli mereka yang kejam dan bengis mulai kelihatan. Ketika sang ayah sedang pergi berdagang, mereka kerap memarahi Bawang Putih dan memberinya pekerjaan berat. Bahkan, Mbok Randha tidak segan-segan menampar Bawang Putih jika sedang beristirahat barang sejenak pun untuk melepaskan lelah.
Tidak hanya itu, setiap hari Bawang Putih hanya diperbolehkan makan sekali, itu pun berupa kerak nasi dengan air dan garam sebagai lauk. Di sisi lain, Mbok Randha amat sayang dan memanjakan Bawang Merah sehingga semua pekerjaan rumah tangga dibebankan kepada Bawang Putih. Bahkan, Bawang Merah juga kerap memerintahnya. Ketika Bawang Putih sedang sibuk bekerja, ia dan ibunya hanya duduk-duduk santai dan sesekali mengawasi hasil pekerjaan Bawang Putih kalau-kalau ada yang kurang beres. Meskipun diperlakukan demikian, gadis yang malang itu tetap tabah menghadapinya. Suatu hari, ayah Bawang Putih jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Sejak itulah, Bawang Merah dan ibunya semakin berkuasa dan semena-mena terhadap Bawang Putih. Setiap hari gadis malang itu seakan tidak pernah beristirahat. Ia harus bangun sebelum matahari terbit untuk menyiapkan segera keperluan mereka seperti menyiapkan air mandi dan sarapan untuk mereka, memberi makan ternak, membersihkan rumah, mencuci pakaian di sungai, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Pada suatu pagi, seperti biasanya setelah usai membereskan rumah, Bawang Putih pergi ke sungai dengan membawa satu bakul pakaian untuk dicuci. Setiba di sungai, ia pun mulai mencuci pakaian kotor tersebut satu persatu. Namun, Bawang Putih tidak menyadari salah satu dari cuciannya hanyut terbawa arus. Celakanya, pakaian yang hanyut itu adalah baju kesayangan Bawang Merah. Ia baru menyadari hal itu setelah selesai mencuci. Dengan panik, Bawang Putih segera menyusuri sungai untuk mencari baju itu. Sudah jauh ia berjalan ke hilir, namun belum juga menemukannya. “Aduh, matilah aku!” gumam Bawang Putih dengan cemas, “Apa jadinya nanti jika ibu tiriku dan Bawang Merah mengetahui hal ini?” Bawang Putih benar-benar kebingungan. Karena hari sudah siang, ia pun memutuskan untuk segera pulang karena belum menyiapkan makan siang. Setiba di rumah, ia dengan ketakutan menceritakan kejadian yang baru saja dialami kepada ibu tirinya. Betapa murkanya Mbok Randha saat mendengar cerita itu. Ia pun segera mengambil rotan dan memukul Bawang Putih hingga tubuhnya berwarna merah dan lebam. “Dasar, anak ceroboh! Cepat cari baju itu dan jangan kembali sebelum kau menemukannya!” hardik ibu tirinya yang kejam itu. Bawang Putih dengan hati sedih terpaksa kembali ke sungai untuk mencari baju itu. Di sepanjang perjalanan, air mata gadis itu terus mengalir membasahi pipinya karena tidak kuat lagi menahan rasa sakit di seluruh badannya. Setiba di sungai, ia pun mencari baju itu mulai dari tempatnya mencuci tadi hingga ke hilir sungai. Sudah cukup jauh ia berjalan, namun belum juga menemukan baju itu. Meskipun demikian, ia terus menyusuri sungai hingga bertemu dengan seorang penggembala sedang memandikan kerbaunya.
“Permisi, Paman! Apakah paman melihat ada baju berwarna merah yang hanyut di sungai ini?” tanya Bawang Putih dengan sopan. “Tidak, Nak. Coba kamu tanyakan pada orang yang sedang memancing itu,” ujar penggembala itu. “Terima kasih, Paman,” ucap Bawang Putih seraya menghampiri orang yang sedang memancing di tepi sungai. Namun rupanya nelayan itu juga tidak melihat baju yang sedang dicari Bawang Putih. Demikian Bawang Putih selalu bertanya kepada setiap orang yang ia temui di sepanjang aliran sungai itu dan tak seorang pun yang melihat baju itu. Hari sudah sore. Gadis itu terus menyusuri sungai dengan berjalan sempoyongan hingga akhirnya bertemu dengan seorang nenek yang sedang mencuci beras. Mulanya, Bawang Putih takut mendekati nenek itu karena tubuhnya amat besar. Rupanya, nenek itu adalah manusia raksasa. Namanya Nini Buto Ijo yang tinggal di pinggir sebuah hutan. Bawang Putih kemudian memberanikan diri untuk bertanya kepada nenek raksasa itu. “Ma... maaf, Nek. Apakah nenek melihat baju yang hanyut di sungai ini?” tanya Bawang Putih dengan gugup. “Apakah baju yang kamu cari itu warnanya merah kembang-kembang?” sang nenek balik bertanya. “Benar, Nek,” jawab Bawang Putih, “Apakah nenek menemukannya?” “Iya, Nduk. Tadi kutemukan tersangkut di batu,” jawab nenek itu, “Sebaiknya kamu menginap di rumah nenek karena hari sudah gelap.” Akhirnya, Bawang Putih menuruti ajakan nenek raksasa itu. Setiba di rumah nenek, ia diajak untuk membantu memasak. “Aku akan mengembalikan bajumu, tapi dengan syarat kamu harus membantuku memasak,” ujar nenek. “Baik, Nek,” jawab Bawang Putih menyanggupi. Alangkah terkejutnya Bawang Putih karena peralatan memasak nenek amat mengerikan. Centongnya terbuat dari tulang tangan manusia dan gayungnya pun terbuat dari tulang-tulang. Meskipun agak sedikit ngeri, ia tetap memasak dengan tenang. Selain itu, ia juga membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek hingga larut malam. Keesokan harinya, Bawang Putih pun mohon pamit kepada Nini Buto Ijo. Sesuai dengan janjinya, nenek itu mengembalikan baju Bawang Putih. Selain itu, sang nenek juga memberinya hadiah dengan menyuruh Bawang Putih memilih salah satu dari dua buah labu kuning yang ukurannya berbeda, satu berukuran besar sedangkan yang satunya berukuran kecil. Bawang Putih bukanlah gadis yang serakah sehingga ia hanya memilih labu yang lebih kecil. “Terima kasih, Nek,” ucap Bawang Putih.
“Sama-sama, Nduk! Tapi ingat, kamu baru boleh membuka labu itu setelah kamu sampai di rumah,” ujar Nini. “Baik, Nini,” jawab Bawang Putih seraya berpamitan. Sesampai di rumahnya, Bawang Putih segera menyerahkan baju yang berhasil ditemukannya kepada Bawang Merah. Setelah itu, ia bergegas ke dapur untuk memasak sayur labu. Betapa terkejutnya ia setelah membelah buah itu. Ternyata, labu kuning itu berisi perhiasan emas permata. Ibu tirinya dan Bawang Merah yang mengetahui hal itu segera merampas perhiasan tersebut. “Hai, Bawang Putih! Ceritakan bagaimana caramu bisa mendapatkan perhiasan sebanyak ini!” seru ibu tirinya dengan nada memaksa. Bawang Putih pun menceritakan semua dengan sejujurnya. Setelah mendengar cerita itu, Mbok Randha segera memerintahkan putri kesayangannya Bawang Merah untuk melakukan hal yang sama. Singkat cerita, Bawang Merah pun sampai di rumah Nini Buto Ijo. Saat disuruh memasak, ia tidak bisa melakukannya karena jijik menyentuh peralatan memasak si nenek yang semuanya terbuat dari tulang-tulang. Ia hanya bisa membantu mengerjakan pekerjaan rumah nenek yang lain, seperti menyapu dan mengepel. Itu pun dilakukannya dengan asal-asalan sehingga hasilnya pun tidak bersih. Meski demikian, Nini Buto Ijo tetap akan memberinya hadiah. Bawang Merah pun disuruh memilih salah satu dari dua labu kuning yang ditawarkan oleh nenek. Karena sifatnya yang serakah, ia dengan cepat memilih labu yang besar. Setelah itu, ia segera pulang ke rumahnya dengan penuh harapan bahwa ia dan ibunya akan menjadi kaya raya karena mengira labu yang telah dipilihnya berisi lebih banyak perhiasan. Karena itu, Bawang Merah menjadi lupa diri. Jangankan berpamitan, berterima kasih kepada nenek itu pun tidak ia lakukan. Setiba di rumah, Bawang Merah bersama ibunya segera membelah labuh itu. Begitu labu itu terbelah, bukannya perhiasan emas permata yang mereka dapatkan, melainkan binatang-binatang berbisa seperti ular, kalajengking, dan kelabang. Hewan-hewan beracun itu lantas menyerang ibu dan anak yang serakah itu hingga tewas. Akhirnya, Bawang Putih berhasil mendapatkan kembali semua perhiasan emas dan permatanya, kemudian menjualnya sedikit demi sedikit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






No comments:

Post a Comment