Saturday, 28 November 2015

Cerita Rakyat Banten


“Legenda Prasasti Munjul”
Cerita Rakyat Banten


Dahulu,  perairan  Ujung  Kulon  di  sekitar  Selat  Sunda dikuasai oleh para bajak laut yang menjadi ancaman bagi para  nelayan  di  daerah  itu.Kaum  perompak  itu  sering merampas  ikan  hasil  tangkapan  para  nelayan.Pada  masa pemerintahan  Raja  Purnawarman,  terdapat  suatu gerombolan  bajak  laut  yang  beranggotakan  80  orang. Kelompok  bajak  laut  yang   sering  beraksi  di  perairan wilayah Kerajaan Tarumanegara itu dipimpin oleh seorang yang sakti, ia bisa berubah wujud sesuai kehendaknya.Pada suatu hari, gerombolan bajak laut itu sedang merampok perahu yang ditumpangi oleh tiga orang nelayan.Namun, baru saja para perompak itu memindahkan ikan hasil rampasan ke kapal mereka, tibatiba dari kejauhan terlihat sebuah kapal besar  berbendera naga sedang menuju ke arah mereka.Kapal besar itu ternyata adalah kapal milik Kerajaan Tarumanegara. Pemimpin bajak laut justru merasa senang karena  akan  memperoleh  harta  rampasan  yang  banyak. 
Tanpa  membuang  waktu  lagi,  ia  segera memerintahkan anak buahnya untuk menyerang kapal kerajaan itu. Terjadilah  pertempuran  sengit  antara  pasukan  kerajaan  yang  ada  di  dalam  kapal  dengan  bajak laut.Pasukan  kerajaan  dipimpin  oleh  seorang  menteri  dengan  dibantu  oleh  seorang  laksamana.Dalam pertempuran itu, kubu bajak laut ternyata lebih kuat daripada pasukan kerajaan. Menteri, laksamana, dan sejumlah awak kapal kerajaan tewas, dan mayat-mayat mereka dilemparkan ke tengah laut. Semua harta benda yang ada di kapal pun dikuras habis oleh para begundal itu.Seminggu  berselang,  terlihat  dua  nelayan  sedang  memancing  di  laut.Mereka  adalah  Wamana  dan Bhimaparakrama  atau  Bhima.Ketika  sedang  asyik  memancing,  tiba-tiba  Bhima  melihat  mayat  yang mengapung di atas air. “Hai lihat, ada orang hanyut!” seru Bhima yang segera menghampiri sesosok tubuh yang tertelungkup di atas sebuah tameng kayu itu.Ternyata orang itu masih hidup, hanya saja tubuhnya penuh dengan luka yang  amat  parah. 
Kedua  nelayan  itu  pun  segera  membawa  tubuh  orang  malang  tersebut  ke  pantai untuk diberi pertolongan. “Hai, sepertinya dia prajurit kerajaan,” kata Wamana saat melihat pakaian yang dikenakan orang itu.“Kamu benar,” sahut Bhima. Setelah  siuman,  prajurit  itu  pun  menceritakan  peristiwa  yang  telah  dialaminya  mengenai  kejadian perompakan seminggu yang lalu.Setelah mendengar cerita itu, Wamana dan Bhima segera mengantar prajurit itu ke istana untuk melapor kepada Raja Purnawarmana.“Betul-betul kejam dan biadab para bajak laut itu!” kata Raja Purnawarman geram begitu mendengar laporan tersebut. “Dengan ini,  aku menyatakan perang terhadap gerombolan bajak laut itu!” ucap sang Raja. Keesokan  harinya,  puluhan  kapal  perang  kerajaan  bertolak  meninggalkan  pelabuhan  dan  dipimpin langsung  oleh  Raja  Purnawarman  yang  didampingi  oleh  Panglima  Cakrawarman,  Senopati   Arwa jala, serta  Nagawarman.Wamana  dan  Bhima  pun  ikut  serta  dalam  rombongan  itu.Setelah  berlayar  selama beberapa hari, pada suatu malam armada kerajaan tiba di perairan Ujung Kulon.
Dalam kegelapan yang mencekam, tampak dua titik cahaya kecil di tengah lautan.“Hai,  lihat  cahaya  itu!Aku  yakin  itu  adalah penerangan  kapal bajak  laut,”  kata  Panglima  Cakrawarman kepada Senopati Arwajala. Bergegas mereka melaporkan hal ini kepada sang Raja.Raja  Purnawarman  kemudian  segera  memerintahkan  seluruh  pasukannya  untuk  bersiap-siap menyerang.Puluhan  kapal  perang  perlahan-lahan  mendekati  kapal  milik  bajak  laut  itu  dan  lalu mengepungnya.Sementara  itu,  gerombolan  bajak  laut  yang  berada  di  dalam  kapal  itu  tidak  menyadari  kehadiran pasukan kerajaan.Rupanya, mereka sudah terlelap, kecuali tiga orang yang terlihat masih terjaga.Itu pun mereka sedang asyik bermain judi di bawah penerangan lampu damar.Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara-suara  desingan  yang  begitu  ramai.Ketika  mereka  hendak  beranjak,  ratusan  mata  tombak menyerbu ke kapal mereka. “Kapal kita diserang... Kapal kita diserang!” seru ketiga bajak laut itu panik. Pemimpin bajak laut dan anak-anak buahnya yang lain terbangun dari tidur mereka. Salah seorang dari mereka  bertindak  cepat  dengan  melompat  ke  jendela  untuk  mencari  tahu  apa  yang  sedang  terjadi.
Alangkah terkejut ia saat melihat puluhan kapal milik kerajaan telah mengepung kapal mereka.“Kapal kita dikepung!Kapal kita dikepung!” teriaknya. Belum sempat mereka menyiapkan senjata, tiba-tiba terdengar bunyi terompet yang menggema. “Nguuunngggg..!!! Nguuunngggg..!!! Nguuunngggg..!!!”Begitu  terompet  itu  selesai  berbunyi  tiga  kali,  ratusan  tombak  dan  anak  panah  meluncur  ke  kapal gerombolan bajak laut.Bersamaan dengan itu, suara-suara kayu hancur dan pekikan orang-orang yang terkena  tombak  dan  anak  panah  pun  terdengar.Tidak  ada  perlawanan  yang  berarti  dari  para  bajak laut. Akhirnya,  mereka  pun  dapat  ditaklukkan  sebelum  pagi  menjelang.  Dari  80  anggota  bajak  laut tersebut, 27 orang di antaranya tewas, sedangkan sisanya menjadi tawanan kerajaan. Setelah suasana tenang, Wamana bersama Bhima dan beberapa prajurit lain segera naik kapal bajak laut untuk  mencari  sisa-sisa  gerombolan  yang  mungkin  masih  bersembunyi,  namun  tidak  seorangpun ditemukan. Ketika Wamana hendak turun dari kapal bajak laut, tiba-tiba terdengar suara yang mencurigakan. Cepatcepatlah  ia  kembali  masuk  ke  kapal. 
Ternyata  dugaannya  benar.Ia  menemukan  seorang  pria  yang berseragam prajurit kerajaan yang baunya amis sekali. Ketika Wamana menanyainya, prajurit itu justru melompat ke laut.Setelah kejadian itu, Wamana ke kapal untuk bergabung bersama pasukan kerajaan.Sementara itu, Raja Purnawarman dan para panglimanya sedang menanyai satu persatu para tawanan mengenai  siapa  pemimpin  mereka.Setelah  ditanya,  tak  seorang  dari  mereka  yang  mengetahuinya karena  pemimpin  mereka  selalu  berubah  wujud.  Namun,  salah  seorang  dari  tawanan  itu memberitahukan  mengenari  ciri-ciri  pemimpin  mereka  yaitu  berbau  amis  dan  berpenyakit  asma. Wamana yang mendengar keterangan tersebut curiga terhadap prajurit yang melompat ke laut tadi dan menceritakannya kepada Raja.Setelah  mendengar  keterangan  itu,  rombongan  sang  Raja  segera  bertolak  menuju  Pantai  Teluk  Lada.
Selanjutnya  mereka  menyusuri  aliran  Sungai  Cidangiang hingga masuk ke  daerah pedalaman.Setiba di sebuah  kampung  di  tepi  sungai  yang  kini  bernama  Desa  Lebak,  mereka  disambut  meriah  oleh  tetua kampung  dan  para  warga.  Untuk  merayakan  keberhasilan  para  pasukan  kerajaan  dalam  menumpas gerombolan bajak laut, pihak kerajaan dan penduduk kampung akan mengabadikan peristiwa tersebut. Para  prajurit  serta  penduduk  setempat  segera  mempersiapkan  segala  sesuatunya.Kaum  laki-laki  sibuk menyiapkan  puluhan  kerbau  untuk  disembelih.Sedangkan  kaum  perempuan  bertugas  memasak makanan. Saat  tiba  waktu  makan  siang,  kaum  perempuan  terlihat  sibuk  mengantarkan  makanan  untuk  para pekerja yang sedang beristirahat.Wamana dan Bhima terlihat berbaur dengan para pekerja lainnya yang duduk di dekat tangga pondok tetua kampung.Sang Raja bersama para panglimanya sedang beristirahat di dalam pondok itu. Tidak berapa lama, terlihat barisan wanita hendak mengantarkan makanan untuk sang  Raja. 
Di  antara  mereka,  tampak  seorang  gadis  cantik  berjalan  di  barisan  paling  belakang  sedang membawa dua buah kendi air minum.Ketika  gadis  itu  melewati  tangga  pondok  itu,  Wamana  tersentak  kaget.  Sejenak  ia  terdiam  sambil mengembang-kempiskan  hidungnya.  Indra  penciumannya  merasakan  bau  amis  persis  yang  pernah dikenalnya. Tanpa berpikir panjang, ia cepat-cepat berlari masuk ke dalam pondok dengan melompati beberapa anak tangga untuk menyusul gadis itu. Saat  tiba  di  dalam  pondok,  Wamana  langsung  melompat  dan  merangkul  si  gadis  yang  baru  saja meletakkan kendi di hadapan sang Prabu. Tubuh wanita itu pun terdorong dan terjerembab ke depan karena tertindih oleh tubuh Wamana. “Huh, kena kamu sekarang!” seru Wamana sambil menekan kepala gadis itu. Setelah  itu,  Wamana  segera  menendang  kendi  air  yang  dibawa  gadis  tadi  hingga  terpental  dan pecah. Semua terheran-heran melihat sikap Wamana, termasuk Bhima.“Hai, Wamana! Apa yang kamu lakukan terhadap gadis itu? Hentikan leluconmu itu!” seru Bhima.Dengan  nafas  tersengau-sengau,  Wamana  menjelaskan  bahwa  kendi  itu  berisi  air  minum  yang  telah dicampur racun.Ia juga mengatakan bahwa gadis itu berbau amis.“Masih  ingatkah  kalian keterangan  para  tawanan  tadi?  Bukankah  ciri-ciri  pemimpin  bajak  laut  berbau amis dan dapat berubah wujud?” kata Wamana.
Mendengar  penjelasan  tersebut,  sang  Raja  langsung  memerintahkan  panglimanya  untuk  meringkus gadis  jelmaan  pemimpin  bajak  laut  itu.  Ketika  hendak  diringkus,  tiba-tiba  gadis  itu  berubah  wujud menjadi  pria  bertubuh  besar.Ia  murka  dan  meronta-ronta  sehingga  Wamana  yang  berada  di  atas punggungnya pun terpental ke belakang.  Secepat kilat Bhima maju dan mencekik leher pemimpin bajak laut  itu  lalu  mengangkatnya  ke  atas  hingga  matanya  melotot  dan  wajahnya  memerah.Cekikan  Bhima amat  kuat  membuat  tubuh  pemimpin  perampok  itu  menjadi  lemas.Bhima  pun  segera  melepaskan cekikannya hingga tubuh pria itu terjatuh dengan lunglai ke lantai.“Prajurit, cepat ringkus dia!” seru Bhima.Setelah  itu,  sang  Raja  memerintahkan  para  prajuritnya  agar  pemimpin  gerombolan  itu  dihukum  mati lalu  dibuang  ke  laut. 
Dengan  tewasnya  pemimpin  gerombolan  itu,  maka  sempurnalah  penumpasan gerombolan  bajak  laut  oleh  pasukan  kerajaan.Untuk  mengabadikan  peristiwa  ini,  pasukan  kerajaan bersama  penduduk  Lebak  membangun  prasasti  di  tepi  Sungai  Cidangiang.Prasasti  itu  ditulis  langsung oleh Raja Purnawarman dengan menggunakan aksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta.  Bunyi prasasti itu antara lain seperti berikut:
“Vikrantayam vanipateh,  Prabbhuh satyaparakramah,Narendraddhvajabutena crimatah, Purnnavarmmanah”Hingga  saat  ini,  prasasti  tersebut  masih  dapat  kita  temukan  di  tepi  Sungai  Cidangiang,  Desa  Lebak, Kecamatan  Munjul,  Kabupaten  Pandeglang,  Provinsi  Banten.  Oleh  masyarakat  setempat,  prasasti tersebut dinamakan Prasasti Munjul.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






No comments:

Post a Comment