“Jayaprana
dan Layonsari”
Cerita
Rakyat Bali
Di
sebuah desa di
Negeri Kalianget, Bali,
hiduplah sebuah keluarga miskin.Keluarga itu
terdiri dari sepasang suami
istri yang memiliki
dua anak lakilaki
dan seorang anak
perempuan.Kehidupan keluarga tersebut sungguh memprihatinkan karena
selalu serba kekurangan.
Kesengsaraan keluarga itu semakin
bertambah ketika suatu
ketika desa mereka diserang
wabah penyakit yang menyebabkan empat
orang dari keluarga
itu meninggal dunia.Satu-satunya dari
anggota keluarga itu yang selamat adalah si anak laki-laki bungsu
bernama Jayaprana yang saat itu masih kecil. Jayaprana menjadi seorang anak
yatim piatu. Oleh karena tidak kuat menjalani hidup seorang diri, bocah
itu memberanikan diri
menghadap Raja Kalianget
dan memohon agar
diangkat menjadi abdi kerajaan.Jayaprana sungguh
beruntung karena Raja
Kalianget mengambulkan permintaannya.Sejak itulah, Jayaprana
mengabdi kepada Raja
Kalianget.Meski demikian, Jayaprana
tetap tinggal di
rumah peninggalan orang tuanya.Ia
seorang abdi yang baik
dan sangat rajin. Setiap
pagi-pagi sekali ia
sudah berangkat ke istana
untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai
abdi raja. Tidak
mengherankan jika ia menjadi abdi kesayangan sang raja. Waktu
terus berjalan. Jayaprana telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan.
Karena itulah, ia menjadi idola para dayang-dayang istana. Suatu ketika, Raja
Kalianget pun menitahkan Jayaprana untuk memilih seorang
dayang-dayang istana untuk
dijadikan istri.Namun, rupanya
Jayaprana lebih memilih untuk mencari calon istri dari luar
istana. “Ampun, Baginda! Hamba
bukan bermaksud untuk
menolak titah Baginda.Hamba
ingin menikah, tapi bukan
dengan dayang-dayang istana,”
kata Jayaprana dengan
penuh hormat, “Jika
diperkenankan, izinkanlah hamba untuk mencari calon istri hamba di luar
istana ini.”
“Baiklah Jayaprana jika itu yang kamu
inginkan.Aku pun tidak akan menghalangimu untuk memilih calon istri yang sesuai
dengan pilihan hatimu,” jawab Raja Kalianget. Mendapat persetujuan tersebut,
pada keesokan harinya Jayaprana berjalan-jalan ke pasar yang terletak di
depan istana untuk
melihat-lihat gadis yang
lalu-lalang. Setiba di
pasar, ia sengaja
duduk di depan pasar sambil memperhatikan gadis-gadis
yang lewat di depannya. Tak berapa lama kemudian, tampak dari kejauhan seorang
gadis berjalan melenggang dengan mengenakan pakaian cukup sederhana. Gadis itu
memiliki paras yang cantik serta senyum yang manis dan mempesona. Si gadis
berjalan menuju ke pasar sambil menunduk malu-malu dan matanya sesekali melirik
ke sekelilingnya.Jayaprana pun terpana saat
melihat gadis yang cantik jelita itu. “Oh,
gadis itu sungguh
cantik dan mempesona,”
puji Jayaprana dalam
hati dengan kagum,
“Siapakah perempuan itu dan dari mana asalnya?” Kecantikan paras
Loyansari benar-benar memikat
hati Jayaprana.
Pandangannya terus
mengikuti lenggang gadis itu sampai lewat di depannya.Sementara itu,
Loyansari yang merasa diperhatikan tiba tiba mengalihkan pandangannya kepada
Jayaprana.Sepasang mata pun bertemu seakan saling menyapa dan saling
bicara.Walaupun tak ada kata-kata yang terungkap, keduanya berbicara dengan
bahasa jiwa. Tak dapat dipungkiri bahwa ungkapan rasa cinta dengan bahasa jiwa
memang jauh lebih jujur, tulus, dan apa adanya. Begitulah yang dirasakan oleh
Jayaprana dan gadis itu. Pandangan
pertama itu telah
membuat mereka saling
jatuh hati.
Meski
demikian, Jayaprana sebagai anak
muda tentu berharap
cintanya tidak kandas
di tengah jalan.Demikian pula
yang dirasakan oleh gadis itu. Karena cinta itu tidak berada
di dalam khayal, tapi menjelma dalam kenyataan, maka ketika Jayaprana melemparkan
senyum kepada sang
gadis, gadis itu
pun membalasnya. Ternyata
cinta keduanya gayung bersambut, cinta mereka terjalin erat di lubuk
hati yang paling dalam seperti pepatah yang mengatakan, “ketika cinta sudah
terurai jadi perbuatan, cinta itu sempurna seperti pohon; akarnya terhujam dalam
hati, batangnya tegak dalam kata, dan buahnya menjumbai dalam perbuatan”. Setelah gadis
itu berlalu dan
menyelinap di balik
keramaian orang di
dalam pasar, Jayaprana
segera mencari informasi perihal
gadis itu kepada orang-orang di sekitarnya.
Setelah memperoleh keterangan bahwa
gadis itu bernama Loyansari, putri Jero Bendesa dari Banjar Sekar, ia pun
bergegas kembali ke istana untuk melapor
kepada Raja Kalianget.
Mendengar laporan itu ,
Raja Kalianget segera
menulis sepucuk surat untuk Jero Bendesa. “Besok pagi-pagi kamu antar
surat ini ke rumah orang tua gadis itu,” titah Raja Kalianget. “Baik, Baginda,”
jawab Jayaprana. Keesokan hari, pagi-pagi sekali Jayaprana mengantar surat dari
raja itu ke rumah Jero Bendesa. Setelah membaca isi surat itu dalam hati dan
mengetahui isinya, Jero Bendesa pun setuju jika putrinya menikah dengan
Jayaprana. Isi surat
itu kemudian ia
sampaikan kepada putrinya
yang sedang duduk
di sampingnya. ”Bagaimana
putriku, apakah kamu
bersedia menikah dengan
Jayaprana?” tanya Jero
Bendesa kepada putrinya.
Loyansari hanya
tersenyum malu-malu. Walaupun
tak terucap sepatah
kata dari mulut
sang gadis pujaan, namun
Jayaprana mengerti bahwa
lamarannya tidak bertepuk
sebelah tangan. Setelah
itu, Jayaprana memohon diri
kembali ke istana
untuk menyampaikan berita
gembira itu kepada
Raja Kalianget. “Ampun, Baginda!
Lamaran hamba diterima oleh keluarga gadis itu,” lapor Jayaprana.
Mendengar laporan
itu, Raja Kalianget
pun langsung mengumumkan
kepada seluruh keluarga
istana bahwa perkawinan Jayaprana
dengan Loyansari akan
dilaksanakan pada hari
Selasa Legi, Wuku Kuningan di halaman istana. Untuk itu,
sang raja kemudian memerintahkan para patih dan punggawa istana untuk
mendirikan balai-balai demi keperluan pesta pernikahan abdi kesayangannya. Saat hari
pesta perkawinan itu
tiba, Jayaprana bersama
para patih dan
punggawa istana serta masyarakat sedesanya menuju ke rumah
Jero Bendesa untuk menjemput calon istrinya.
Setelah melalui berbagai macam
upacara di rumah
itu, kedua mempelai
kemudian diiring ke
istana dengan menggunakan joli.
Ketika rombongan pengantin itu tiba di depan istana, kedua mempelai turun dari
atas joli untuk memohon
doa restu kepada
Raja Kalianget. Saat
kedua mempelai memberi
hormat di hadapannya, sang
raja hanya membisu.
Ia terpana melihat
kecantikan Loyansari. Rupanya,
Raja Kalianget jatuh hati kepada istri abdinya itu.Dari situlah muncul
niat buruknya untuk merebut Loyansari dari Jayaprana. Setelah pesta
perkawinan itu usai,
Jayaprana bersama istrinya
pun memohon diri
untuk kembali ke rumahnya.
Setelah
keduanya pergi, Raja
Kalianget segera mengumpulkan
seluruh patihnya untuk meminta pertimbangan tentang bagaimana
cara menghabisi nyawa Jayaprana secara diam-diam. “Jika Loyansari
tidak segera menjadi
permaisuriku, maka aku
akan menjadi gila,”
ucap Raja Kalianget yang sudah dimabuk asmara. Mendengar ucapan
sang raja, seorang
patih yang bernama
I Saunggaling memberikan
pertimbangan bahwa raja harus
menitahkan Jayaprana pergi ke Celuk Terima untuk menyelidiki perahu yang hancur
dan orang-orang Bajo
yang menembak binatang
di kawasan Pengulan. Rencana ini
hanya merupakan siasat agar
mereka bisa menghabisi
nyawa Jayaprana tanpa
sepengetahuan orang lain,
termasuk Loyansari. Pertimbangan Patih Saunggaling itu pun diterima oleh
sang raja. Beberapa hari kemudian, Raja Kalianget pun memanggil Jayaprana agar
menghadap ke paseban (balai penghadapan). Mendapat panggilan tersebut,
Jayaprana pun segera menghadap sang raja yang teramat dihormatinya. “Ampun, Baginda.
Ada apa gerangan
hamba diminta untuk
menghadap?” tanya Jayaprana
sambil memberi hormat.
“Ada
tugas penting untukmu. Besok pagi-pagi kamu harus berangkat ke Celuk Terima
untuk menyelidiki perahu yang kandas dan kekacauan-kekacauan yang terjadi di
sana!” titah sang raja. Tanpa merasa curiga sedikit pun, Jayaprana langsung
saja menerima perintah itu dan segera kembali ke rumahnya untuk menyampaikan
berita itu kepada sang istri. Mendengar berita itu, Loyansari tiba -tiba
mendapat firasat buruk.
Apalagi tadi malam ia bermimpi melihat
rumah mereka dihanyutkan oleh banjir besar. Karena alamat-alamat buruk itulah
ia meminta agar Jayaprana membatalkan keberangkatannya ke Celuk Terima.
“Kanda, sebaiknya urungkan
saja niat Kanda
itu.Dinda khawatir terjadi
sesuatu yang tidak
diinginkan pada diri Kanda,” ujar Loyansaridengan cemas. “Tidak, Dinda.
Ini perintah raja.Kanda
harus berangkat,” kata
Jayaprana, “Dinda tidak
usah cemas, kematian ada di
tangan Tuhan.” Keesokan hari, berangkatlah
Jayaprana ke Celuk
Terima bersama Patih
I Saunggaling dan
sejumlah prajurit istana.
Saat mereka melewati sebuah hutan lebat,
Patih I Saunggaling menikam Jayaprana atas perintah Raja Kalianget. Keris patih
itu tepat mengenai lambung kiri Jayaprana hingga tewas seketika. Setelah itu,
Patih Saunggaling bersama
rombongannya kembali ke
istana untuk menyampaikan
kabar palsu bahwa Jayaprana
tewas karena diserang
perampok. Mendengar kabar
itu, Loyansari tidak langsung mempercayainya. Ia tahu bahwa
suaminya dibunuh atas pe rintah raja.
Meski demikian, ia tidak bisa berbuat
apa-apa karena tidak berdaya menentang raja seorang diri. Ia hanya bisa berdoa
semoga kejahatan Raja Kalianget mendapat
balasan dari Yang Maha Kuasa. Keesokan hari, Raja Kalianget datang menemui
Loyansari. Di hadapan istri abdinya itu,
ia berpura-pura sedih atas kematian
Jayaprana. Setelah itu, ia
mencoba merayu agar
mau menjadi permaisurinya. Namun, Loyansari menolaknya
dengan kata-kata halus.“Maafkan hamba, Baginda.Hamba belum bisa melupakan suami
hamba,” jawab Loyansari. Mendengar jawaban penolakan itu, Raja Kalianget
menjadi murka.Ia langsung menarik tangan Loyansari agar ikut
bersamanya ke istana.
Pada saat itulah,
Loyansari mencabut keris
yang terselip di
pinggang sang prabu.
“Lebih baik hamba mati daripada harus
menikah dengan orang yang telah membunuh suamiku,” ucap Loyansari seraya
menikam dirinya dengan keris itu.Raja Kalianget baru saja ingin mencegatnya,
namun tubuh Loyansari sudah tergeletak di tanah. Melihat Loyansari tewas, sang
raja pun menjadi kalap. Ia langsung menyerang setiap orang yang mendekatinya.
Kejadian
itu berlangsung hingga
berhari-hari sehingga banyak
orang menjadi korban
karena tikaman kerisnya.Perilaku
Raja Kalianget tersebut benar-benar meresahkan seluruh rakyat negeri itu.
Akhirnya, para punggawa kerajaan
memutuskan untuk menangkap
sang raja dan
memasukkannya ke dalam penjara.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment