Sunday 29 November 2015

Cerita Rakyat Bali

“Jayaprana dan Layonsari”
Cerita Rakyat Bali


Di  sebuah  desa  di  Negeri  Kalianget,  Bali,  hiduplah sebuah  keluarga  miskin.Keluarga  itu  terdiri  dari sepasang  suami  istri  yang  memiliki  dua  anak  lakilaki  dan  seorang  anak  perempuan.Kehidupan keluarga tersebut sungguh memprihatinkan karena selalu  serba  kekurangan.  Kesengsaraan  keluarga itu  semakin  bertambah  ketika  suatu  ketika  desa mereka  diserang  wabah  penyakit  yang menyebabkan  empat  orang  dari  keluarga  itu meninggal  dunia.Satu-satunya  dari  anggota keluarga itu yang selamat adalah si anak laki-laki bungsu bernama Jayaprana yang saat itu masih kecil. Jayaprana menjadi seorang anak yatim piatu. Oleh karena tidak kuat menjalani hidup seorang diri, bocah itu  memberanikan  diri  menghadap  Raja  Kalianget  dan  memohon  agar  diangkat  menjadi  abdi kerajaan.Jayaprana  sungguh  beruntung  karena  Raja  Kalianget  mengambulkan  permintaannya.Sejak itulah,  Jayaprana  mengabdi  kepada  Raja  Kalianget.Meski  demikian,  Jayaprana  tetap  tinggal  di  rumah peninggalan  orang tuanya.Ia seorang  abdi  yang baik  dan  sangat  rajin. Setiap  pagi-pagi  sekali  ia  sudah berangkat  ke  istana  untuk  menjalankan  tugas-tugasnya  sebagai  abdi  raja.  Tidak  mengherankan  jika  ia menjadi abdi kesayangan sang raja. Waktu terus berjalan. Jayaprana telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang tampan. Karena itulah, ia menjadi idola para dayang-dayang istana. Suatu ketika, Raja Kalianget pun menitahkan Jayaprana untuk memilih  seorang  dayang-dayang  istana  untuk  dijadikan  istri.Namun,  rupanya  Jayaprana  lebih  memilih untuk mencari calon istri dari luar istana. “Ampun,  Baginda!  Hamba  bukan  bermaksud  untuk  menolak  titah  Baginda.Hamba  ingin  menikah,  tapi bukan  dengan  dayang-dayang  istana,”  kata  Jayaprana  dengan  penuh  hormat,  “Jika  diperkenankan, izinkanlah hamba untuk mencari calon istri hamba di luar istana ini.”
“Baiklah Jayaprana jika itu yang kamu inginkan.Aku pun tidak akan menghalangimu untuk memilih calon istri yang sesuai dengan pilihan hatimu,” jawab Raja Kalianget. Mendapat persetujuan tersebut, pada keesokan harinya Jayaprana berjalan-jalan ke pasar yang terletak  di  depan  istana  untuk  melihat-lihat  gadis  yang  lalu-lalang.  Setiba  di  pasar,  ia  sengaja  duduk  di  depan pasar sambil memperhatikan gadis-gadis yang lewat di depannya. Tak berapa lama kemudian, tampak dari kejauhan seorang gadis berjalan melenggang dengan mengenakan pakaian cukup sederhana. Gadis itu memiliki paras yang cantik serta senyum yang manis dan mempesona. Si gadis berjalan menuju ke pasar sambil menunduk malu-malu dan matanya sesekali melirik ke sekelilingnya.Jayaprana pun terpana  saat melihat gadis yang cantik jelita itu. “Oh,  gadis  itu  sungguh  cantik  dan  mempesona,”  puji  Jayaprana  dalam  hati  dengan  kagum,  “Siapakah perempuan itu dan dari mana asalnya?” Kecantikan  paras  Loyansari  benar-benar  memikat  hati  Jayaprana.
Pandangannya  terus  mengikuti lenggang gadis itu sampai lewat di depannya.Sementara itu, Loyansari yang merasa diperhatikan tiba tiba mengalihkan pandangannya kepada Jayaprana.Sepasang mata pun bertemu seakan saling menyapa dan saling bicara.Walaupun tak ada kata-kata yang terungkap, keduanya berbicara dengan bahasa jiwa. Tak dapat dipungkiri bahwa ungkapan rasa cinta dengan bahasa jiwa memang jauh lebih jujur, tulus, dan apa adanya. Begitulah yang dirasakan oleh Jayaprana dan gadis itu. Pandangan  pertama  itu  telah  membuat  mereka  saling  jatuh  hati.
Meski  demikian,  Jayaprana  sebagai anak  muda  tentu  berharap  cintanya  tidak  kandas  di  tengah  jalan.Demikian  pula  yang  dirasakan  oleh gadis itu. Karena cinta itu tidak berada di dalam khayal, tapi menjelma dalam kenyataan, maka ketika Jayaprana  melemparkan  senyum  kepada  sang  gadis,  gadis  itu  pun  membalasnya.  Ternyata  cinta keduanya gayung bersambut, cinta mereka terjalin erat di lubuk hati yang paling dalam seperti pepatah yang mengatakan, “ketika cinta sudah terurai jadi perbuatan, cinta itu sempurna seperti pohon; akarnya terhujam dalam hati, batangnya tegak dalam kata, dan buahnya menjumbai dalam perbuatan”. Setelah  gadis  itu  berlalu  dan  menyelinap  di  balik  keramaian  orang  di  dalam  pasar,  Jayaprana  segera mencari  informasi perihal gadis itu kepada orang-orang di sekitarnya.
Setelah memperoleh keterangan bahwa gadis itu bernama Loyansari, putri Jero Bendesa dari Banjar Sekar, ia pun bergegas kembali ke istana  untuk  melapor  kepada  Raja  Kalianget.  Mendengar  laporan  itu ,  Raja  Kalianget  segera  menulis sepucuk surat untuk Jero Bendesa. “Besok pagi-pagi kamu antar surat ini ke rumah orang tua gadis itu,” titah Raja Kalianget. “Baik, Baginda,” jawab Jayaprana. Keesokan hari, pagi-pagi sekali Jayaprana mengantar surat dari raja itu ke rumah Jero Bendesa. Setelah membaca isi surat itu dalam hati dan mengetahui isinya, Jero Bendesa pun setuju jika putrinya menikah  dengan  Jayaprana.  Isi  surat  itu  kemudian  ia  sampaikan  kepada  putrinya  yang  sedang  duduk  di sampingnya. ”Bagaimana  putriku,  apakah  kamu  bersedia  menikah  dengan  Jayaprana?”  tanya  Jero  Bendesa  kepada putrinya.
 Loyansari  hanya  tersenyum  malu-malu.  Walaupun  tak  terucap  sepatah  kata  dari  mulut  sang  gadis pujaan,  namun  Jayaprana  mengerti  bahwa  lamarannya  tidak  bertepuk  sebelah  tangan.  Setelah  itu, Jayaprana  memohon  diri  kembali  ke  istana  untuk  menyampaikan  berita  gembira  itu  kepada  Raja Kalianget.  “Ampun, Baginda! Lamaran hamba diterima oleh keluarga gadis itu,” lapor Jayaprana.
Mendengar  laporan  itu,  Raja  Kalianget  pun  langsung  mengumumkan  kepada  seluruh  keluarga  istana bahwa  perkawinan  Jayaprana  dengan  Loyansari  akan  dilaksanakan  pada  hari  Selasa  Legi,  Wuku Kuningan di halaman istana. Untuk itu, sang raja kemudian memerintahkan para patih dan punggawa istana untuk mendirikan balai-balai demi keperluan pesta pernikahan abdi kesayangannya. Saat  hari  pesta  perkawinan  itu  tiba,  Jayaprana  bersama  para  patih  dan  punggawa  istana  serta masyarakat sedesanya menuju ke rumah Jero Bendesa untuk menjemput calon istrinya.
Setelah melalui berbagai  macam  upacara  di  rumah  itu,  kedua  mempelai  kemudian  diiring  ke  istana  dengan menggunakan joli. Ketika rombongan pengantin itu tiba di depan istana, kedua mempelai turun dari atas joli  untuk  memohon  doa  restu  kepada  Raja  Kalianget.  Saat  kedua  mempelai  memberi  hormat  di hadapannya,  sang  raja  hanya  membisu.  Ia  terpana  melihat  kecantikan  Loyansari.  Rupanya,  Raja Kalianget jatuh hati kepada istri abdinya itu.Dari situlah muncul niat buruknya untuk merebut Loyansari dari Jayaprana. Setelah  pesta  perkawinan  itu  usai,  Jayaprana  bersama  istrinya  pun  memohon  diri  untuk  kembali  ke rumahnya. 
Setelah  keduanya  pergi,  Raja  Kalianget  segera  mengumpulkan  seluruh  patihnya  untuk meminta pertimbangan tentang bagaimana cara menghabisi nyawa Jayaprana secara diam-diam. “Jika  Loyansari  tidak  segera  menjadi  permaisuriku,  maka  aku  akan  menjadi  gila,”  ucap  Raja  Kalianget yang sudah dimabuk asmara. Mendengar  ucapan  sang  raja,  seorang  patih  yang  bernama  I  Saunggaling  memberikan  pertimbangan  bahwa raja harus menitahkan Jayaprana pergi ke Celuk Terima untuk menyelidiki perahu yang hancur dan  orang-orang  Bajo  yang  menembak  binatang  di  kawasan  Pengulan. Rencana  ini  hanya  merupakan siasat  agar  mereka  bisa  menghabisi  nyawa  Jayaprana  tanpa  sepengetahuan  orang  lain,  termasuk Loyansari. Pertimbangan Patih Saunggaling itu pun diterima oleh sang raja. Beberapa hari kemudian, Raja Kalianget pun memanggil Jayaprana agar menghadap ke paseban (balai penghadapan). Mendapat panggilan tersebut, Jayaprana pun segera menghadap sang raja yang teramat dihormatinya. “Ampun,  Baginda.  Ada  apa  gerangan  hamba  diminta  untuk  menghadap?”  tanya  Jayaprana  sambil memberi hormat.
 “Ada tugas penting untukmu. Besok pagi-pagi kamu harus berangkat ke Celuk Terima untuk menyelidiki perahu yang kandas dan kekacauan-kekacauan yang terjadi di sana!” titah sang raja. Tanpa merasa curiga sedikit pun, Jayaprana langsung saja menerima perintah itu dan segera kembali ke rumahnya untuk menyampaikan berita itu kepada sang istri. Mendengar berita itu, Loyansari tiba -tiba mendapat firasat buruk.
Apalagi tadi malam ia bermimpi melihat rumah mereka dihanyutkan oleh banjir besar. Karena alamat-alamat buruk itulah ia meminta agar Jayaprana membatalkan keberangkatannya ke Celuk Terima. “Kanda,  sebaiknya  urungkan  saja  niat  Kanda  itu.Dinda  khawatir  terjadi  sesuatu  yang  tidak  diinginkan pada diri Kanda,” ujar Loyansaridengan cemas. “Tidak,  Dinda.  Ini  perintah  raja.Kanda  harus  berangkat,”  kata  Jayaprana,  “Dinda  tidak  usah  cemas, kematian ada di tangan Tuhan.” Keesokan  hari,  berangkatlah  Jayaprana  ke  Celuk  Terima  bersama  Patih  I  Saunggaling  dan  sejumlah prajurit istana.
Saat mereka melewati sebuah hutan lebat, Patih I Saunggaling menikam Jayaprana atas perintah Raja Kalianget. Keris patih itu tepat mengenai lambung kiri Jayaprana hingga tewas seketika. Setelah  itu,  Patih  Saunggaling  bersama  rombongannya  kembali  ke  istana  untuk  menyampaikan  kabar palsu  bahwa  Jayaprana  tewas  karena  diserang  perampok.  Mendengar  kabar  itu,  Loyansari  tidak langsung mempercayainya. Ia tahu bahwa suaminya dibunuh atas pe rintah raja.
Meski demikian, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak berdaya menentang raja seorang diri. Ia hanya bisa berdoa semoga  kejahatan Raja Kalianget mendapat balasan dari Yang Maha Kuasa. Keesokan hari, Raja Kalianget datang menemui Loyansari.  Di hadapan istri abdinya itu, ia berpura-pura sedih  atas  kematian  Jayaprana.  Setelah  itu,  ia  mencoba  merayu  agar  mau  menjadi  permaisurinya. Namun, Loyansari menolaknya dengan kata-kata halus.“Maafkan hamba, Baginda.Hamba belum bisa melupakan suami hamba,” jawab Loyansari. Mendengar jawaban penolakan itu, Raja Kalianget menjadi murka.Ia langsung menarik tangan Loyansari agar  ikut  bersamanya  ke  istana.  Pada  saat  itulah,  Loyansari  mencabut  keris  yang  terselip  di  pinggang sang prabu.
“Lebih baik hamba mati daripada harus menikah dengan orang yang telah membunuh suamiku,” ucap Loyansari seraya menikam dirinya dengan keris itu.Raja Kalianget baru saja ingin mencegatnya, namun tubuh Loyansari sudah tergeletak di tanah. Melihat Loyansari tewas, sang raja pun menjadi kalap. Ia langsung menyerang setiap orang yang mendekatinya.
Kejadian  itu  berlangsung  hingga  berhari-hari  sehingga  banyak  orang  menjadi  korban  karena  tikaman kerisnya.Perilaku Raja Kalianget tersebut benar-benar meresahkan seluruh rakyat negeri itu. Akhirnya, para  punggawa  kerajaan  memutuskan  untuk  menangkap  sang  raja  dan  memasukkannya  ke  dalam penjara.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






No comments:

Post a Comment