Monday, 30 November 2015

Cerita Dari Kalimantan Tengah

“Asal Mula Danau Malawen”
Cerita Dari Kalimantan Tengah



Dahulu kala di pedalaman Kalimantan, hiduplah sepasang suami istri dengan anak semata wayang mereka yang bernama Kumbang Bernaung. Keluarga mereka damai sejahtera dengan hasil bumi melimpah dan lauk pauk yang disediakan oleh danau bening tanpa nama. Tak ada keluh kesah, tak ada kekurangan. Semuanya lengkap. Kebahagiaan pasangan itu sangat sempurna ketika anak mereka Kumbang Bernaung adalah anak yang tumbuh sebagai anak penurut dan baik budinya. Semakin hari Kumbang Bernaung menjadi semakin cakap dalam berbagai hal. Bertani, berburu, dan banyak hal lainnya. Semuanya sempurna dan ia beranjak dewasa. “Bang, dengar-dengar di desa sebelah ada pertunjukan. Banyak gadis disana. Mari ikut bersamaku besok.” Kata Utuh temannya suatu ketika. Tak ada ketertarikan dari dalam diri Kumbang Bernaung, namun karena tidak enak selalu menolah ajakan temannya itu, berakhirlah dia dengan mengatakan “Iya”. Dari jauh di ujung desa, keramaian sudah mulai terlihat. Orang hilir mudik datang ke tempat itu. Sangat meriah. Benar kata Utuh, memang banyak wanita disitu. Wanita dengan berbagai gaya dan pakaian. “Tidak rugi aku berjalan jauh kesini.” Pikirnya dalam hati.
Beberapa saat acara pun di mulai. Beberapa wanita dengan kain berwarna dan berukir memasuki lepangan dan menari. Suara gelang mereka berpadu dengan tabuhan gong dan alat musik lain. Kumbang Bernaung benar-benar puas dengan apa yang di lihatnya itu. Wanita-wanita itu tidak hanya bagus dalam berpakaian, tapi juga dalam memoles wajah mereka. Bibir merah, kulit pipi putih kemerahan dengan hiasan bulu aneka warna di kepalanya. Rupawan, para gadis bunga Kalimantan. Di tengah riuhnya pertunjukan, matanya bertemu dengan mata seorang wanita di seberang. Mata terindah yang pernah di lihatnya. Apakah itu dewi yang selama ini dia sembah? Tak ada manusia yang secantik wanita itu. Lengah sekedip mata, si dewi menghilang. Menelusur di setiap tempat dan pojok desa tak juga bertemu tanda-tanda dimanakah sang dewi berada. Kumbang Bernaung pulang dengan hati hampa. “Bang, ada apa nak, melamun terus?” Sang Ibu mulai resah dengan tingkah putranya. Makan tak bernafsu, berburu berladang tak bersemangat, di waktu luang selalu melamun. “Tidak ada apa-apa Bu, jangan resahkan aku.” Ia menjawab tanpa menoleh.
“Hati Ibu mana yang tidak gelisah melihat anaknya seperti ini? Ceritakan apa yang terjadi nak.” Sang Ibu dengan sabar berusaha mengerti. Tak pernah anaknya seperti ini. “Aku bertemu wanita Bu.” Ia menarik nafas berat seakan sedang memikul gunung. Ibunya tertawa. “Anak ku sedang jatuh cinta.” “Apa yang Ibu tertawakan disaat anakmu sedang melara?” Ibunya tersedak menahan tawa, mengelus kepalanya, mengirimkan semangat tulus dengan do’a. “Mengapa tidak kau katakan sedari tadi anakku? Ibu akan senang mendapat menantu.” Ucap Ibunya dengan wajah berseri. Mendengar dorongan semangat dari yang Ibu, Kumbang Bernaung yang lama pun kembali lagi. Ia memutuskan mencari belahan jiwanya. Mencari sampai ia menemukannya. Berhari, bulan, tahun ia berkelana mencari sang dewi. Tak juga bertemu, dimanakah gerang wanita tercantik di dunia itu? Seperti kata pepatah, “Sekeras-kerasnya batu, jika di tetesi air dengan konstan akan berlubang pula.”
Begitulah yang terjadi pada Kumbang Bernaung. Kesabaran dan ketekunannya membuahkan hasil. Diketahuilah bahwa sang dewi adalah putri semata wayang kepala suku desa tempatnya berteduh tersebut. Putri kepala suku di desa kediamannya. Tidak di sangka memang. Ketika ia mencari ke berbagai penjuru, sang dewi malah berada setempat dengannya. Wanita jelita itu adalah Intan. Cantik, bening, bersahaja seperti namanya. Bak gayung bersambut, cinta yang dirasakan oleh Kumbang Bernaung ternyata dirasakan pula oleh Intan. Mereka memutuskan untuk bersama. Singkat cerita Kumbang Bernaung dan keluarganya memutuskan untuk melamar Intan. Malang, derajad keluarga Kumbang Bernaung tidak setimbang dengan sang kepala suku. Lamaran ditolak sekalipun mereka saling menyinta. Cinta memang gila. Cinta dapat melakukan segalanya. Hal ini memang sudah seperti ini dari dahulu kala. Dua muda-mudi itupun memutuskan harus bersama apapun yang terjadi “kawin lari” . Malam itu keputusan kawin lari telah dibuat. Dengan bekal seadanya mereka berjalan meninggalkan desa. Mereka meninggalkan desa untuk meraih kebahagiaan dan cinta.
Langkah mereka terhenti di tepian danau. Danau yang menghidupi mereka selama ini, danau tempat mereka bertumbuh dan dewasa. Suara kepala suku menggelegar membelah kegelapan meneriakan nama anak semata wayangnya. Ditengah kekalapan memikirkan rencana melarikan diri melewati danau ditengah keterpepetan, terdengarlah sebuah suara. Suara halus entah dari mana. “Piring malawen akan membawa kalian keseberang.” ----keterangan:piring malawen adalah piring khas suku dayak kalimantan tengah. Tak ada pilihan lain, mereka akhirnya menempatkan piring malawen dari bekal mereka di atas danau. Ajaib. Piring melebar dan mengapung. Mereka menggunakannya seperti perahu. Malang untuk yang kesekian kalinya. Perjalanan mereka dengan piring malawen terkejar oleh Ayah Intan. Sang kepala suku memanggil dengan segala cara, namun mereka mengayuh semakin cepat. “Baiklah jika itu keinginan kalian. Kalian akan bersama selamanya, tapi tak akan melewati tepian danau ini.” Suara kepala suku menggelegar disertai dengan berubahnya pasangan itu menjadi buaya dan piring malawen kembali mengecil tenggelam ke dalam danau. Sejak saat itu, danau tanpa nama itupun menjadi danau malawen. Konon katanya buaya jelmaan Intan dan Kumbang Bernaung masih ada hingga saat ini. Banyak masyarakat yang masih percaya dan menyampaikan sesajen ke dalam danau. Tak ada musim yang bisa menyurutkan danau malawen diyakini berkaitan dengan dongen ini. Danau malawen tepatnya terletak di Buntok Kalimantan Tengah kecamatan Barito Selatan.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”









No comments:

Post a Comment