“Asal
Mula Danau Malawen”
Cerita
Dari Kalimantan Tengah
Dahulu kala di
pedalaman Kalimantan, hiduplah sepasang suami istri dengan anak semata wayang
mereka yang bernama Kumbang Bernaung. Keluarga mereka damai sejahtera dengan
hasil bumi melimpah dan lauk pauk yang disediakan oleh danau bening tanpa nama.
Tak ada keluh kesah, tak ada kekurangan. Semuanya lengkap. Kebahagiaan pasangan
itu sangat sempurna ketika anak mereka Kumbang Bernaung adalah anak yang tumbuh
sebagai anak penurut dan baik budinya. Semakin hari Kumbang Bernaung menjadi
semakin cakap dalam berbagai hal. Bertani, berburu, dan banyak hal lainnya.
Semuanya sempurna dan ia beranjak dewasa. “Bang, dengar-dengar di desa sebelah
ada pertunjukan. Banyak gadis disana. Mari ikut bersamaku besok.” Kata Utuh
temannya suatu ketika. Tak ada ketertarikan dari dalam diri Kumbang Bernaung,
namun karena tidak enak selalu menolah ajakan temannya itu, berakhirlah dia
dengan mengatakan “Iya”. Dari jauh di ujung desa, keramaian sudah mulai
terlihat. Orang hilir mudik datang ke tempat itu. Sangat meriah. Benar kata
Utuh, memang banyak wanita disitu. Wanita dengan berbagai gaya dan pakaian. “Tidak
rugi aku berjalan jauh kesini.” Pikirnya dalam hati.
Beberapa saat
acara pun di mulai. Beberapa wanita dengan kain berwarna dan berukir memasuki
lepangan dan menari. Suara gelang mereka berpadu dengan tabuhan gong dan alat
musik lain. Kumbang Bernaung benar-benar puas dengan apa yang di lihatnya itu.
Wanita-wanita itu tidak hanya bagus dalam berpakaian, tapi juga dalam memoles
wajah mereka. Bibir merah, kulit pipi putih kemerahan dengan hiasan bulu aneka
warna di kepalanya. Rupawan, para gadis bunga Kalimantan. Di tengah riuhnya
pertunjukan, matanya bertemu dengan mata seorang wanita di seberang. Mata
terindah yang pernah di lihatnya. Apakah itu dewi yang selama ini dia sembah?
Tak ada manusia yang secantik wanita itu. Lengah sekedip mata, si dewi
menghilang. Menelusur di setiap tempat dan pojok desa tak juga bertemu
tanda-tanda dimanakah sang dewi berada. Kumbang Bernaung pulang dengan hati hampa.
“Bang, ada apa nak, melamun terus?” Sang Ibu mulai resah dengan tingkah
putranya. Makan tak bernafsu, berburu berladang tak bersemangat, di waktu luang
selalu melamun. “Tidak ada apa-apa Bu, jangan resahkan aku.” Ia menjawab tanpa
menoleh.
“Hati Ibu mana yang tidak gelisah
melihat anaknya seperti ini? Ceritakan apa yang terjadi nak.” Sang Ibu dengan
sabar berusaha mengerti. Tak pernah anaknya seperti ini. “Aku bertemu wanita
Bu.” Ia menarik nafas berat seakan sedang memikul gunung. Ibunya tertawa. “Anak
ku sedang jatuh cinta.” “Apa yang Ibu tertawakan disaat anakmu sedang melara?” Ibunya
tersedak menahan tawa, mengelus kepalanya, mengirimkan semangat tulus dengan
do’a. “Mengapa tidak kau katakan sedari tadi anakku? Ibu akan senang mendapat
menantu.” Ucap Ibunya dengan wajah berseri. Mendengar dorongan semangat dari
yang Ibu, Kumbang Bernaung yang lama pun kembali lagi. Ia memutuskan mencari
belahan jiwanya. Mencari sampai ia menemukannya. Berhari, bulan, tahun ia
berkelana mencari sang dewi. Tak juga bertemu, dimanakah gerang wanita
tercantik di dunia itu? Seperti kata pepatah, “Sekeras-kerasnya batu, jika di
tetesi air dengan konstan akan berlubang pula.”
Begitulah yang
terjadi pada Kumbang Bernaung. Kesabaran dan ketekunannya membuahkan hasil.
Diketahuilah bahwa sang dewi adalah putri semata wayang kepala suku desa
tempatnya berteduh tersebut. Putri kepala suku di desa kediamannya. Tidak di
sangka memang. Ketika ia mencari ke berbagai penjuru, sang dewi malah berada
setempat dengannya. Wanita jelita itu adalah Intan. Cantik, bening, bersahaja
seperti namanya. Bak gayung bersambut, cinta yang dirasakan oleh Kumbang
Bernaung ternyata dirasakan pula oleh Intan. Mereka memutuskan untuk bersama. Singkat
cerita Kumbang Bernaung dan keluarganya memutuskan untuk melamar Intan. Malang,
derajad keluarga Kumbang Bernaung tidak setimbang dengan sang kepala suku.
Lamaran ditolak sekalipun mereka saling menyinta. Cinta memang gila. Cinta
dapat melakukan segalanya. Hal ini memang sudah seperti ini dari dahulu kala. Dua
muda-mudi itupun memutuskan harus bersama apapun yang terjadi “kawin lari” . Malam
itu keputusan kawin lari telah dibuat. Dengan bekal seadanya mereka berjalan
meninggalkan desa. Mereka meninggalkan desa untuk meraih kebahagiaan dan cinta.
Langkah mereka
terhenti di tepian danau. Danau yang menghidupi mereka selama ini, danau tempat
mereka bertumbuh dan dewasa. Suara kepala suku menggelegar membelah kegelapan
meneriakan nama anak semata wayangnya. Ditengah kekalapan memikirkan rencana
melarikan diri melewati danau ditengah keterpepetan, terdengarlah sebuah suara.
Suara halus entah dari mana. “Piring malawen akan membawa kalian keseberang.”
----keterangan:piring malawen adalah piring khas suku dayak kalimantan tengah. Tak
ada pilihan lain, mereka akhirnya menempatkan piring malawen dari bekal mereka
di atas danau. Ajaib. Piring melebar dan mengapung. Mereka menggunakannya
seperti perahu. Malang untuk yang kesekian kalinya. Perjalanan mereka dengan
piring malawen terkejar oleh Ayah Intan. Sang kepala suku memanggil dengan
segala cara, namun mereka mengayuh semakin cepat. “Baiklah jika itu keinginan
kalian. Kalian akan bersama selamanya, tapi tak akan melewati tepian danau
ini.” Suara kepala suku menggelegar disertai dengan berubahnya pasangan itu
menjadi buaya dan piring malawen kembali mengecil tenggelam ke dalam danau. Sejak
saat itu, danau tanpa nama itupun menjadi danau malawen. Konon katanya buaya
jelmaan Intan dan Kumbang Bernaung masih ada hingga saat ini. Banyak masyarakat
yang masih percaya dan menyampaikan sesajen ke dalam danau. Tak ada musim yang
bisa menyurutkan danau malawen diyakini berkaitan dengan dongen ini. Danau
malawen tepatnya terletak di Buntok Kalimantan Tengah kecamatan Barito Selatan.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment