“Si Bugu
yang Pandir”
Cerita
Rakyat Lampung
Dahulu, di suatu
kampung di Lampung, ada seorang pemuda pandir bernama si Bugu. Ia tinggal
bersama ibunya sebuah gubuk yang terletak di pinggir hutan. Sehari-hari ia
membantu ibunya bercocok tanam di ladang peninggalan ayahnya. Hasilnya pun
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Suatu hari, si Bugu bersama ibunya
sedang duduk di depan gubuk. Sang Ibu sedang menambal pakaian si Bugu yang
sudah bolong. Sementara si Bugu yang pandir itu sedang asyik menggores-gores tanah
dengan sebatang ranting kayu kering. Saat si Bugu sedang asyik, tiba-tiba
ibunya berkata kepadanya. “Bugu, anakku. Bukankah kamu sudah dewasa? Alangkah
baiknya jika kamu mencari seorang gadis untuk kamu jadikan istri!” ujar ibu
Bugu. Tanpa berkata-kata, Bugu langsung menuruti nasehat ibunya. Namun, setiap
gadis yang ia temui, tidak seorang pun yang bersedia menikah dengannya. Dengan
perasaan kecewa, ia pulang ke rumah untuk mengadukan nasibnya kepada sang Ibu.
“Ibu, aku sudah berusaha, tapi semua gadis yang kutemui menolak,” keluh si
Bugu. “Jangan putus asa, anakku,” ujar sang Ibu, “Teruslah mencoba, siapa tahu
ada yang mau menerimamu. Besok, jika kamu menemukan seorang gadis dan ia hanya
diam, itu tandanya setuju.” “Baik, Bu,” jawab si Bugu. “Hari sudah sore, Nak.
Sebaiknya, kamu mandi dan istirahat dulu. Besok kamu bisa mencoba lagi,” ujar
ibunya. Bugu pun menuruti nasehat ibunya. Keesokan harinya, pemuda pandir itu
kembali melanjutkan pencarian jodohnya. Ketika ia menyusuri sebuah jalan yang
sepi, tiba-tiba ia melihat seorang gadis sedang tergeletak di pinggir jalan. Ia
pun langsung menanyai gadis itu, namun tidak menjawab. “Gadis ini hanya diam
saja. Berarti dia pasti mau menjadi istriku,” gumam si Bugu dengan perasaan
senang. Dikiranya gadis itu sedang tidur untuk melepas, padahal ia sudah
meninggal dunia karena terjatuh. Tanpa berpikir panjang, si Bugu pun mengangkat
gadis itu pulang ke rumahnya. Betapa senangnya hati ibunya ketika ia sampai di
rumah.
“Bu, Anakku.
Ternyata kamu berhasil juga menemukan jodohmu,” ujar ibunya tanpa memperhatikan
keadaan gadis itu. Sementara itu, si Bugu langsung membawa gadis itu ke dalam
kamarnya. Ketika hari sudah sore, sang Ibu ingin menemui gadis itu. Namun, ia
mengurungkan niatnya karena mengira gadis itu sedang beristirahat. Ia tidak
ingin mengganggunya. Hingga tengah malam, ibu Bugu terus menunggu gadis itu
keluar dari dalam kamar. “Kenapa gadis itu mengurung diri terus di dalam
kamar?” gumam ibu Bugu. Rupanya, ibu Bugu sudah kuat menahan rasa kantuk hingga
ia pun terlelap. Saat terbangun pada pagi harinya, tiba-tiba ia mencium bau
busuk yang amat menyengat dari dalam kamar. Oleh karena penasaran, janda itu
pun memberanikan diri masuk ke dalam kamar. Betapa terkejutnya ia saat melihat
tubuh gadis itu terbujur kaku dan berbau busuk. “Buguuu… Buguuu… ternyata gadis
yang kamu bawa itu sudah meninggal,” gumam ibu Bugu sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Perempuan tua itu pun segera menemui anaknya. “Bugu, rupanya kamu
membawa mayat ke rumah ini. Gadis itu berbau busuk. Itu artinya ia sudah sudah
meninggal dunia,” ungkap ibu Bugu. “Oh, begitu,” jawab Bugu dengan lugunya.
Akhirnya, Bugu dan ibunya segera mengubur mayat gadis itu. Begitu usai mengubur
gadis itu, tiba-tiba ibunya kentut. “Aduh, Ibu bau sekali. Rupanya Ibu sudah
mati juga,” kata Bugu. Pemuda pandir itu langsung mengangkat ibunya untuk
dikubur. Ibunya pun meronta-ronta lalu pergi meninggalkan Bugu. Tak berapa lama
kemudian, kini giliran Bugu yang kentut. “Hmm… aku bau sekali. Berarti aku juga
sudah mati,” gumam Bugu, “Tapi, siapa yang akan menguburku?” Bingung karena
tidak orang yang menguburnya, Bugu kemudian terjun ke sungai dan terus
menyelam. Namun karena tidak tahan di dalam air, ia pun segera mengapung. Saat
itu, ia melihat seorang pria yang sudah dikenalnya. Namun, pria yang bernama
Bakhetih itu rupanya seorang pencuri. Saat itu Bakhetih sedang berdiri di bawah
pohon mangga di tepi sungai. Bugu lalu menghampirinya. “Hai, Bakhetih. Apa yang
sedang kamu lakukan di sini?” tanya Bugu. “Aku sedang menunggu mangga jatuh,
Bugu,” jawab Bakhetih.
Akhirnya,
Bakhetih pun mengajak Bugu ikut bersamanya pergi mencuri. Mula-mula Bugu diajak
mencuri ayam karena ia amat menyukai hati ayam. Namun, Bugu menolak. “Aku ingin
hati yang lebih besar,” kata Bugu. “Baiklah, kalau begitu. Sebaiknya kita
mencuri kerbau saja,” ujar Bakheti. Malam harinya, kedua orang itu mendatangi
rumah seorang warga untuk mencuri kerbau. Namun, ketika hendak mengeluarkan
kerbau itu dari kandangnya, tiba-tiba Bugu batuk-batuk sehingga kehadiran
mereka ketahuan oleh si pemilik kerbau. Rencana mereka pun gagal. Malam
berikutnya, Bakhetih menyuruh si Bugu seorang diri untuk mencuri uang di istana
raja. Sebelum ia pergi, Bakheti berpesan kepadanya. “Bugu, ketahuilah bahwa
ciri-ciri uang itu adalah berat, licin jika dipegang, dan berbunyi jika
dipukul!” ujar Bakhetih. “Baik, Bakheti,” jawab si Bugu. Setelah itu,
berangkatlah si Bugu ke istana raja. Sesampai di sana, ia pun berhasil
menyelinap masuk ke dalam kamar tempat penyimpanan uang raja melalui loteng. Karena
suasana gelap, Bugu pun meraba dan merasakan ada benda menonjol dan licin.
“Benda ini pasti uang,” pikirnya. Untuk menyakinkan dirinya bahwa benda itu
adalah benar-benar uang, si Bugu memukul-mukul benda itu. “Ting…. Ting…
Ting…!!!” demikian suara uang logam itu. Karena suaranya nyaring sekali,
penjaga kamar yang sedang terlelap pun terbangun. Tak ayal, aksi Bugu pun
ketahuan dan akhirnya ditangkap. Ia kemudian dilaporkan kepada sang Raja.
“Cepat masukkan ke dalam pencuri itu!” titah sang Raja. Malam itu juga, si Bugu
dimasukkan ke penjara. Pada esok harinya, raja memerintahkan kepada pengawalnya
untuk memberi hukuman mati kepada si Bugu. “Bawa pemuda itu ke hutan dan
bakarlah dia!” titah sang Raja. Bugu pun dibawa ke hutan oleh beberapa pengawal
istana. Setiba di hutan, Bugu diikat di sebatang pohon. Sementara para pengawal
pergi mencari kayu bakar. Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang
pedagang lewat dan bertanya kepada Bugu. “Hai, kenapa kamu diikat seperti itu?”
tanya pedagang itu. “Saya sedang berobat, Tuan. Pinggang saya sekali karena
terlalu sering berdagang,” jawab Bugu.
Rupanya,
pedagang itu terpengaruh oleh ucapan si Bugu. Ia pun ingin berobat seperti
halnya si Bugu. “Kalau begitu, bolehkah saya ikut berobat? Pinggang saya sakit
sekali,” pinta pedagang itu. “Tentu, Tuan,” jawab si Bugu, “Tapi, lepaskan dulu
tali ini!” Akhirnya, pedagang itu melepaskan tali ikatan Bugu. Setelah itu, ia
diikat di batang pohon itu menggantikan si Bugu. Sementara itu, si Bugu segera
meninggalkan tempat itu. Selang beberapa saat kemudian, para pengawal telah
kembali. Tanpa memperhatikan tawanannya, mereka langsung menimbuni pedagang itu
dengan kayu lalu membakarnya. Pedagang itu pun akhirnya tewas karena hangus
terbakar. Sementara itu, si Bugu kembali ke istana untuk membalas dendam kepada
Raja. Alangkah terkejutnya sang Raja saat melihat si Bugu masih hidup. “Hai,
anak muda. Kenapa kamu masih hidup? Bukankah seharusnya kamu sudah mati
terbakar?” tanya raja dengan heran. “Benar, Baginda. Hamba memang sudah mati
dibakar, tapi para bidadari mengangkat hamba ke kahyangan. Di sana hamba
bertemu dengan kerabat Baginda. Mereka sangat rindu dan ingin bertemu dengan
Baginda,” kata si Bugu, “Tapi, Baginda harus mati dulu dengan cara membakar
diri.” “Benarkah begitu, wahai anak muda?” tanya sang Raja seolah-olah tidak
percaya. “Benar, Baginda. Silakan saja jika Baginda Raja ingin ke kahyangan
menemui mereka!” ujar si Bugu. Sang Raja pun ingin sekali ke kahyangan untuk
menemui kerabatnya. Ia lalu membakar diri hingga akhirnya tewas. Melihat
peristiwa itu, permaisuri raja amat sedih. Si Bugu pun berusaha menenangkan
hatinya. “Sudahlah, Permaisuri! Restuilah kepergian Baginda, semoga hidupnya
tenang di surga,” ujar si Bugu. “Bagaimana dengan kerajaan ini?” tanya
permaisuri bingung. “Tenang, Permaisuri! Selama Baginda berada di surga, saya
diminta menggantikannya sebagai raja dan engkau menjadi permaisuriku,” ujar si
Bugu. Sang Permaisuri pun tak kuasa menolak kenyataan itu. Maka, sejak itulah
si Bugu menjadi raja dan kemudian mengangkat Bakhetih si pencuri menjadi
pengantar surat istana.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment