“Lona
Kaka dan Lona Rara”
Cerita
Rakyat NTT
Di Desa
Bukambero, Kodi, Sumba Barat, hiduplah sepasang suami-istri bersama dua orang
anak gadisnya. Yang sulung bernama Lona Kaka, sedangkan si bungsu bernama Lona
Rara. Kedua kakak-beradik tersebut senantiasa mendapat perlakuan yang sama dari
orang tua mereka. Namun, Lona Kaka selalu iri hati jika Lona Rara meraih sebuah
keberhasilan. Ia pun selalu berusaha untuk mencelakai adiknya itu jika
memperoleh keberhasilan. Pada suatu hari, ketika Lona Rara mendapat hadiah dendeng
istimewa dari orang tua mereka karena berhasil memenangkan lomba menumbuk padi,
Lona Kaka bermaksud untuk merampas dendeng itu dari tangan adiknya. Untuk itu,
ia membujuk adiknya agar mau menemaninya mengambil air di sungai. Ia pun
menyuruh adiknya untuk berjalan di depannya. Dengan begitu, ia akan lebih mudah
mengambil dendeng itu tanpa sepengetahuan adiknya. “Adikku! Maukah kamu
menemani Kakak mengambil air di sungai?” bujuk Lona Kaka. “Baiklah, Kak!” jawab
Lona Rara menuruti bujukan kakaknya. Keduanya pun berjalan menuju ke sungai
sambil memikul dua buah wadah air yang terbuat dari bambu. Lona Rara berjalan
di depan, sedangkan Lona Kakak mengikutinya dari belakang. Tanpa curiga sedikit
pun, Lona Rara menyimpan dendengnya di wadah airnya yang belakang. Beberapa
kali Lona Kaka berusaha untuk mengambil dendeng itu, namun tidak berhasil
karena selalu ketahuan Lona Rara. Meski begitu, Lona Kaka tidak kehabisan akal.
Setibanya di sungai, ia segera turun ke sungai mendahului adiknya untuk
mengambil air. Setelah mengisi wadah airnya hingga penuh, ia kembali naik ke
darat dan menyandarkan wadah airnya pada sebuah batang pohon. “Adikku, Kakak
sudah selesai. Kini giliranmu untuk mengisi wadah airmu. Sini Kakak bantu
membawakan dendengmu agar kamu dapat mengambil air dengan leluasa!” ujar Lona
Kaka. Lona Rara pun menyambut baik tawaran kakaknya. Setelah menitipkan dendeng
miliknya kepada Lona Kaka, ia segera turun ke sungai untuk mengambil air.
Namun, baru mengisi setengah wadah airnya, tiba-tiba ia mendengar kakaknya
berteriak. “Rara...! Rara..! Dendengmu dicuri dan dibawa lari anjing!” teriak
Lona Kaka seraya mengejar anjing itu.
Rupanya, Lona
Kaka sengaja memberikan dendeng milik adiknya ke anjing itu, lalu berpura-pura
mengejarnya. Lona Rara yang mendengar teriakan kakaknya segera naik ke darat
dan membiarkan tempat airnya tergeletak di pinggir sungai. Melihat kakaknya
mengejar anjing itu, ia pun turut mengejar hingga ke tengah hutan. Tanpa
disadarinya, ternyata kakaknya telah pergi meninggalkannya. Sementara ia terus
menyusuri hutan lebat itu hingga hari menjelang malam, namun ia tidak menemukan
anjing yang membawa dendengnya. Saat akan kembali ke rumahnya, ia tersesat. Ia
berjalan menyusuri hutan itu mengikuti ke mana arah kakinya melangkah hingga
akhirnya menemukan sebuah sungai dan memutuskan untuk beristirahat. Ia duduk di
atas sebuah batu besar di tepi sungai sambil bernyanyi mengungkapkan
kekesalannya terhadap tindakan kakaknya. Ou kagu pama nowo ragu Pai balimu
lolokingga neghe Mu gaiga zauwa kako kania Ou Gela wuamaroto padua pogawa
atenggu Gaika ku bali wainya Ou kakakku yang kucinta Mengapa kau membuat aku
begini Membiarkan aku jalan sendiri Ou Gela Wuamaroto berilah aku kedamaian
Tuntunlah aku kembali ke rumah Usai bernyanyi, Lona Rara membuka pakaiannya yang
sudah kotor lalu mencucinya dan mandi. Saat sedang asyik mandi, tiba-tiba ia
melihat sebatang pohon jeruk yang berbuah lebat tumbuh di tepi sungai. Setelah
melihat di sekelilingnya dan tidak melihat adanya orang lain di sekitar itu, ia
segera memetik satu buah jeruk untuk dijadikan pewangi tubuh. Betapa
terkejutnya ia ketika membelah buah jeruk itu, tiba-tiba muncul seorang pemuda
tampan dan gagah di hadapannya. Ia pun langsung menjerit karena ia masih dalam
keadaan tanpa busana. Ia sangat malu, karena pemuda itu telah melihat bagian
tubuhnya yang selama ini ditutupinya. Menyadari hal itu, dengan kesaktiannya,
pemuda tampan itu segera memberikan sebuah kain tenun Sumba yang indah kepada
Lona Rara. Lona Rara pun segera memakai kain tenun itu untuk menutupi tubuhnya.
“Hai, pemuda tampan! Kenapa engkau tiba-tiba muncul dari dalam buah jeruk itu?”
tanya Lona Rara dengan malu-malu.
“Maaf, Putri!
Bukankah Putri sendiri yang meminta bantuan kepadaku?” jawab pemuda itu sambil
menunduk untuk memberi hormat di hadapan Lona Rara. “Siapa sebenarnya engkau
ini?” Lona Rara kembali bertanya. “Saya adalah Gela Wuamaroto seperti yang
Putri dendangkan dalam lagu itu. Saya datang untuk mengantar Putri pulang ke
rumah dan memberikan ketenteraman kepada Putri,” ujar pemuda tampan yang
mengaku bernama Gela Wuamaroto. Hati Lona Rara menjadi senang bercampur heran,
karena tidak menyangka nyanyiannya telah menjadi kenyataan. Hari pun sudah
mulai gelap. Gela Wuamaroto mengajak Lona Rara mencari tempat beristirahat.
Setelah menemukan sebuah gua yang cukup luas, Gela Wuamaroto segera membuat api
unggun dan menangkap seekor ayam hutan untuk makan malam. Usai makan, mereka
pun langsung tertidur pulas. Keesokan harinya, Lona Rara sangat terkejut,
karena didekatnya telah tersedia ayam panggang. “Hai, kenapa masih ada ayam
panggang di sini? Bukankah ayam panggang yang tadi malam sudah habis?” gumam
Lona Rara. Melihat Lona Rara terbangun, Gela Wuamaroto yang sedang berdiri di
depan pintu gua segera menghampirinya. “Maaf Putri! Saya yang menyediakan ayam
panggang itu untuk sarapan kita berdua,” ujar Gela Wuamaroto sambil tersenyum.
Lona Rara dan Gela Wuamaroto pun segera menyantap ayam panggang itu. Setelah
itu, mereka saling berkenalan, saling jatuh cinta, dan akhirnya mereka pun
menikah. Karena asyik dimabuk cinta, Lona Rara menjadi lupa untuk kembali ke
rumahnya. Demikian pula, Gela Wuamaroto, ia lupa untuk mengantar pulang Lona
Rara. Sepasang pengantin baru itu keasyikan menikmati hari-hari yang indah
bersama di tengah hutan tersebut, sehingga tak terasa sudah satu bulan mereka
hidup bersama. Suatu hari, Lona Rara tiba-tiba teringat kepada keluarganya. Ada
kerinduan di hatinya ingin segera pulang dan bertemu dengan mereka. “Kanda!
Kapan Kanda akan mengantar Dinda menemui keluarga Dinda?” tanya Lona Rara.
“Besok, Dinda,” jawab Gela Wuamaroto. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Lona
Rara dan suaminya bersiap-siap pulang ke rumahnya. Sebelum berangkat, Gela
Wuamaroto memberikan pakaian tenun Sumba yang sangat indah kepada Lona Rara
untuk dihadiahkan kepada keluarganya. Setelah menempuh perjalanan selama
setengah hari, sampailah mereka di Desa Bukambaro. Saat Lona Rara memasuki
desa, seluruh warga terheran-heran melihat kedatangannya.
Apalagi ia
datang bersama dengan seorang pemuda yang gagah dan tampan. Sambil
tersenyum-senyum, Lona Rara berjalan di samping suaminya menuju ke rumahnya.
Saat tiba di halaman rumah, ia melihat rumahnya tampak sepi dan pintu rumahnya
tertutup rapat. “Ayah...Ibu...! Rara pulang!” teriak Lona Rara dengan perasaan
gembira. Berkali-kali Lona Rara berteriak, namun tak ada jawaban. Beberapa saat
kemudian, barulah pintu rumahnya terbuka pelan-pelan. Saat pintu terbuka,
tampaklah kakaknya, Lona Kaka, sedang membuka pintu dan berdiri di depan pintu
dengan wajah memerah. Ia seakan tidak percaya bahwa adiknya masih hidup. Ia pun
langsung memeluk Lona Rara. “Maafkan aku, Adikku! Kakak telah meninggalkanmu
seorang diri di tengah hutan,” ucap Lona Kaka. “Sudahlah, Kak! Yang penting
Adik selamat dan bisa kembali berkumpul bersama kalian,” bujuk Lona Rara. “O
iya, Kak! Ayah, Ibu ke mana? Kenapa mereka tidak kelihatan?” tanya Lona Rara
heran. Mendengar pertanyaan itu, Lona Kaka kembali memeluk adiknya dengan erat
sambil meneteskan air mata. “Adikku! Ayah dan Ibu sudah tiada. Mereka telah
meninggalkan kita untuk selama-lamanya,” jawab Lona Kaka dengan sedih. “Apa
yang terjadi dengan Ayah dan Ibu, Kak?” desak Lona Rara. Lona Kaka pun
menceritakan musibah yang telah menimpa kedua orang tua mereka. “Sebulan yang
lalu, Ayah dan Ibu mendapat celaka saat mencari Adik di tengah hutan. Seorang
warga menemukan mereka di tengah hutan dalam keadaan terluka parah dan tidak
bernyawa lagi akibat digigit binatang buas,” jelas Lona Kaka. Mendengar
keterangan itu, Lona Rara pun tidak sanggup menahan air mata. Ia menangis
tersedu-sedu meratapi kepergian Ayah dan Ibu yang sangat dicintainya. Sejenak,
suasana di depan rumah yang sederhana itu pun tiba-tiba menjadi hening.
Beberapa saat kemudian, Lona Rara meminta kepada kakaknya agar mengantarnya ke
tempat pemakaman kedua orang tua mereka. Sesampainya di depan kuburan kedua
orang yang dicintainya itu, Lona Rara kembali menangis tersedu-sedu menyesali
semua peristiwa yang telah terjadi. “Sudahlah, Dinda! Semuanya sudah diatur
oleh Yang Mahakuasa. Ayo kita kembali ke rumah!” bujuk Gela Wuamaroto. Lona
Rara bersama suami dan kakaknya pun kembali ke rumah. Beberapa hari kemudian,
setelah kesedihannya hilang, Lona Rara menceritakan semua peristiwa yang
dialaminya ketika tersesat di hutan kepada kakaknya.
Mendengar cerita
itu, timbullah keinginan Lona Kaka untuk pergi ke tempat di mana adiknya
bertemu dengan Gela Wuamarota, dengan harapan dirinya pun akan bernasib sama
seperti adiknya. Keesokan harinya, secara diam-diam, Lona Kaka pergi sendirian
ke tempat itu. Sebelum mandi, ia memetik satu buah jeruk yang sudah menguning.
Begitu ia membelah jeruk itu, bukannya pemuda tampan yang muncul, melainkan
seorang lelaki tua berjenggot putih. Ia pun langsung menjerit ketakutan dan
berlari meninggalkan tempat itu. Dalam hatinya tersimpan rasa penyesalan yang
begitu mendalam karena tidak memetik buah jeruk yang masih muda. Sesampainya di
rumah, Lona Kaka langsung duduk termenung di samping rumahnya. Dalam
ketermenungannya, tiba-tiba muncul dalam pikirannya ingin merebut suami adiknya.
Ia tinggal menunggu waktu yang paling tepat untuk menjalankan niat busuknya
itu. Pada suatu malam, Gela Wuamaroto meminta izin kepada Lona Rara untuk pergi
berdagang bersama beberapa warga desa lainnya ke negeri seberang. “Dinda! Kanda
ingin berdagang ke negeri seberang. Barangkali Kanda harus pergi dalam waktu
yang cukup lama. Apakah Dinda bersedia mengizinkan Kanda?” bujuk Gela
Wuamaroto. “Baiklah, Kanda! Dinda mengizinkan. Tapi jangan lupa mampir ke rumah
paman untuk memberinya oleh-oleh ketika kembali nanti,” ujar Lona Rara
tersenyum. “Baiklah, Dinda!” jawab Gela Wuamaroto sambil menatap wajah istrinya
dengan penuh cinta. Keesokan harinya, berangkatlah Gela Wuamaroto ke negeri
seberang bersama beberapa warga desa lainnya. Seminggu setelah kepergian Gela
Wuamaroto, Lona Kaka pun mulai menyusun siasat untuk menghilangkan nyawa Lona
Rara agar dapat merebut suaminya. Pada suatu hari, ia mengajak adiknya itu
mencari kayu bakar di hutan. Setelah berjalan cukup jauh ke tengah hutan,
sampailah mereka pada sebuah jurang yang cukup dalam. “Adikku! Kita
beristirahat di sini dulu. Kakak capek berjalan jauh,” ujar Lona Kaka. Lona
Kaka dan adiknya pun beristirahat tidak di dekat jurang itu. Setelah rasa lelah
mereka hilang, Lona Kaka memanjat sebuah pohon yang rantingnya telah kering di
tepi jurang yang terjal. Saat berada di atas pohon, ia meminta kepada adiknya
untuk membawakannya parang yang sengaja ditinggalkan di dekat adiknya. “Aduh,
Adikku! Kakak lupa membawa parang. Tolong ambilkan parang yang ada di dekatmu
itu!” seru Lana Kaka dari atas pohon. Tanpa curiga sedikit pun, Lona Rara ikut
memanjat pohon untuk memberikan parang itu kepada kakaknya. Sesampainya di atas
pohon, ia menyerahkan parang itu kepada kakaknya dengan tangan kirinya,
sementara tangan kanannya berpegangan pada sebuah ranting yang kering. Begitu
mengambil parang itu dari tangan kiri adiknya, pada saat yang bersamaan, Lona
Kaka juga menginjak ranting tempat Lona Rara berpegangan hingga patah.
Tak ayal lagi,
Lona Rara pun terjatuh dari atas pohon dan terguling-guling hingga ke dasar
jurang. Melihat kejadian itu, Lona Kaka bukannya menolong adiknya, melainkan
tersenyum sinis. “Rasakanlah itu, Rara! Gela Wuamaroto akan menjadi milikku!”
seru Lona Kaka. Dengan perasaan puas dan gembira, Lona Kaka turun dari pohon
itu dan kemudian pulang ke rumahnya. Sesampainya di desa, ia berpura-pura sedih
meratapi nasib adiknya. Seluruh warga pun turut berduka cita mendengar berita
duka tersebut. Namun, Lona Kaka tidak mengira jika ternyata adiknya masih
hidup. Rupanya, ketika Lona Rara terjatuh ke jurang itu, tubuhnya tersangkut
pada tanaman yang menjalar di tebing. Berkat usahanya memanjat tebing yang
curam itu, ia berhasil sampai ke puncak tebing dan selamat. Sesampainya di
atas, Lona Rara pun berteriak-teriak memanggil kakaknya. “Kakak! Kamu di mana?”
teriaknya. Beberapa kali Lona Rara berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari
kakaknya. Ia pun menyadari bahwa ternyata kakaknya telah berniat jahat
kepadanya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk langsung ke rumah pamannya.
Setelah dua hari menempuh perjalanan, sampailah ia di rumah pamannya. Ia pun
menceritakan semua peristiwa yang dialaminya dan rencana jahat sang Kakak
kepada pamannya. Beberapa hari kemudian, Gela Wuamaroto pun kembali dari
rantauannya untuk membawakan oleh-oleh kepada pamannya. Betapa terkejutnya ia
ketika melihat istrinya berada di tempat itu. “Hai, Dinda! Kenapa Dinda ada di
sini?” tanya Gela Wuamaroto dengan heran. Melihat suaminya datang, Lona Rara
pun langsung memeluknya dengan erat. Kemudian ia menceritakan semua peristiwa
yang telah dialaminya hingga ia bisa berada di rumah pamannya. Mendengar cerita
istrinya, Gela Wuamaroto pun bercerita bahwa selama ini Lona Kaka selalu
merayunya. “Ketahuilah, Dinda! Andai kata iman Kanda lemah, tentu Kanda telah
jatuh dipelukan kakak Dinda. Selama ini dia sering merayu Kanda saat Dinda
tidak berada di rumah. Itulah sebabnya, Kanda memutuskan untuk pergi merantau
agar Kanda terhindar dari rayuan manisnya,” ungkap Gela Wuamaroto. Mendengar
pengakuan suaminya, Lona Rara pun naik pitam. Ia sangat marah terhadap sikap
dan perbuatan kakaknya. “Huh, Dinda harus membalas perbuatan Kak Lona Kaka!”
seru Lona Rara dengan geramnya. Gela Wuamaroto pun sejenak. Ia mencoba untuk
memahami perasaan istrinya. Setelah itu, ia mencoba untuk membujuknya agar
mengurungkan niatnya membalas dendam.
“Maaf, Dinda!
Kanda tidak bisa berkata apa-apa. Lona Kaka adalah kakak Dinda satu-satunya.
Perbuatannya memang jahat, tapi apakah kita juga harus meniru perbuatan
jahatnya itu?” bujuk Gela Wuamaroto. “Tidak, Kanda! Sejak dulu Kak Lona Kaka
selalu iri dan dengki terhadap Dinda. Dia sudah berkali-kali berusaha ingin
mencelakai Dinda. Jika hal ini dibiarkan terus, suatu saat dia akan membunuh
Dinda,” ujar Lona Rara. Mendengar keteguhan tekad istrinya, Gela Wuamaroto pun
tak sanggup berbuat apa-apa. Akhirnya, pada malam harinya, Lona Rara dan
suaminya segera menyusun siasat untuk membalaskan dendamnya kepada Lona Kaka.
Mereka memesan dua buah peti yang berukir sangat indah. Peti yang satu akan
mereka isi dengan perhiasan emas dan berlian, sedangkan untuk peti yang satunya
Lona Rara akan masuk ke dalamnya sambil membawa sebuah pisau yang runcing dan
tajam. Keesokan harinya, berangkatlah Gela Wuamaroto ke kampung untuk menemui
Lona Kaka. Ia berangkat dengan menunggang kuda dan membawa serta seekor kuda
beban yang mengangkut kedua peti yang berisi perhiasan dan berisi Lona Rara
tersebut. Sesampainya di kampung halaman istrinya, Gela Wuamaroto segera menuju
ke rumah istrinya. Lona Kaka yang sedang asyik menenun segera bangkit untuk
menyambut kedatangan Gela Wuamaroto. “Maafkan aku, Gela Wuamaroto! Aku tidak
dapat menjaga Adik Lona Rara,” kata Lona Kakak sambil berpura-pura menangis.
“Apa yang terjadi dengannya, Kakak Ipar?” Gela Wuamaroto pun berpura-pura
bertanya. “Lona Rara meninggal dunia, karena dimakan buaya saat kami sedang
mandi di sungai,” jawab Lona Kaka dengan muka sedih. Mendengar keterangan itu,
Gela Wuamaroto berpura-pura terkejut dan terlihat murung. Ia kemudian turun
dari kudanya dan menambatkan kedua kudanya pada batang pohon di depan rumah.
Ketika ia menurunkan kedua peti itu dari kudanya, Lona Kaka menghampirinya.
“Apa isi peti itu, Gela?” tanya Lona Kaka ingin tahu. Dengan wajah murung, Gela
Wuamaroto menyuruh Lona Kaka untuk membuka salah satu dari kedua peti itu.
Ketika Lona Kaka membuka peti itu, matanya langsung terbelalat melihat isi peti
yang terdiri dari berbagai macam perhiasan emas dan berlian. Setelah Lona Kaka
melihat isi peti itu, Gela Wuamaroto menyuruhnya untuk membuka peti yang
satunya. “Kakak Ipar! Buka dan ambillah semua isi peti yang satu itu! Aku
hadiahkan untukmu,” ujar Gela Wuamaroto. Dengan perasaan senang dan gembira,
Lona Kaka pun segera membuka peti yang masih tertutup rapat itu. Begitu peti
itu terbuka, tiba-tiba Lona Rara meloncat keluar dan menikamkan pisaunya
berkali-kali ke arah dada kakaknya.
“Terimalah
pembalasanku ini, Kak!” teriak Lona Rara. Tak ayal lagi, Lona Kaka pun tewas
seketika dengan bersimbah darah. Melihat kakaknya terkapar di tanah dalam keadaan
tidak bernyawa, Lona Rara pun berteriak histeris. Ia sangat menyesal atas apa
yang baru saja dilakukannya. Namun, apalah guna menyesal kemudian. Nasi sudah
menjadi bubur. Nyawa kakaknya tidak dapat ditolong lagi.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment