“Arya
Penangsang”
Cerita
Rakyat Jawa Tengah
Pada masa
pemerintahaan Kesultanan Demak, tersebutlah seorang adipati yang bernama Arya
Penangsang.Ia berkedudukan di Kadipaten Jipang Panolan, Jawa Tengah. Arya
Penangsang adalah putra Raden Kikin atau yang biasa dikenal dengan sebutan
Pangeran Sekar Seda ing Lepen (bunga yang tewas di tepi sungai Bengawan Solo). Menurut
cerita, Raden Kikin tewas di tangan Raden Mukmin atau Sunan Prawata dalam
sebuah peperangan karena memperebutkan tahta Kerajaan Demak untuk menggantikan
Sultan Trenggana yang telah wafat (1546 M). Setelah itu, Sunan Prawata pun
dinobatkan sebagai Sultan Demak. Adipati Arya Penangsang yang mendapatkan
dukungan gurunya, Sunan Kudus, berniat untuk merebut tahta Kesultanan Demak
dari tangan Sunan Prawata. Keinginan tersebut muncul bukan saja karena ia ingin
menguasai Kerajaan Demak, tetapi juga untuk membalas dendam atas kematian
ayahnya. Pada suatu malam di tahun 1549 M, Arya Penangsang memerintahkan
pasukan khusus Jipang Panolan yang dikenal dengan nama Pasukan Sureng untuk
membinasakan Sunan Prawata. Pasukan itu dipimpin oleh Rangkud.Setibanya di
kediaman Sunan Prawata, Rangkut berhasil menyelinap masuk ke dalam kamar tidur
Sunan Prawata sementara para anak buahnya berjaga-jaga di luar. Ketika itu,
Sunan Prawata sedang menderita sakit sehingga tidak dapat berbuat banyak selain
pasrah.Ia pun mengakui kesalahannya dan rela untuk diakhiri hidupnya oleh orang
yang tidak dikenalnya itu. “Hai, Kisanak, habisilah nyawaku! Aku akan
bertanggung jawab atas kematian Raden Kikin. Tapi, tolong kamu jangan melukai
istriku!” iba Sunan Prawata. Rangkud mengabulkan permintaan itu. Namun, ketika
ia menghujamkan kerisnya ke tubuh Sunan Prawata, ternyata keris itu tembus
hingga mengenai tubuh istri Sunan Prawata yang berlindung di balik punggung
suaminya. Tak ayal lagi, istri Sunan Prawata pun tewas. Melihat istrinya
meninggal, Sunan Prawata menjadi marah. Dalam keadaan terluka parah, ia segera
mencabut keris yang menancap di tubuhnya lalu dilemparkannya ke arah Rangkud.
Sunan Prawata pun berhasil membinasakan Rangkud sebelum dirinya menghembuskan
nafas terakhir.
Sementara itu,
Arya Penangsang yang telah menguasai Demak semakin bengis.Ia pun berniat
membinasakan menantu Sultan Trenggana yang bernama Sultan Hadiwijaya atau Jaka
Tingkir di Pajang. Untuk itu, ia mengutus empat orang anak buahnya ke Pajang.
Setibanya di sana, keempat utusan tersebut justru tertangkap oleh Sultan
Hadiwijaya. Namun, mereka tidak dihukum melainkan diberi hadiah dan disuruh
kembali ke Jipang. Kepulangan keempat utusan yang membawa hadiah tersebut tentu
saja membuat Arya Penangsang tersinggung dan sangat marah.Ia pun memutuskan
untuk menghabisi nyawa Hadiwijaya dengan tangannya sendiri. Sultan Hadiwijaya
yang mengetahui kabar tersebut menganggap Arya Penangsang telah memberontak
terhadap Pajang. Namun, ia tidak ingin memerangi Arya Penangsang secara
langsung karena mereka sama-sama anggota keluarga Demak dan saudara
seperguruan, yaitu sama-sama murid Sunan Kudus. Untuk menghadapi pemberontak
itu, Sultan Hadiwijaya mengadakan sayembara. Barang siapa mampu membinasakan
Arya Penangsang, maka ia akan diberi hadiah tanah di daerah Pati dan hutan
Mataram. Atas desakan Ki Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan dan adik angkatnya,
Ki Penjawi, yang merupakan abdi dalem Sultan Hadiwijaya, pun ikut dalam
sayembara tersebut.Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani segera menyusun
rencana dan taktik peperangan melawan Arya Penangsang. Ki Juru Martani
menyarankan kepada Ki Ageng Pamanahan untuk mengusahakan agar mereka dapat
membawa tombak pusaka Kyai Plered milik Sultan Hadiwijaya ke medan perang
karena hanya tombak itulah yang mampu melukai Arya Penangsang. Atas saran Ki
Juru Martani, Ki Ageng Pamanahan memohon kepada Sultan Hadiwijaya untuk membawa
serta anak angkat sang Sultan yang bernama Danang Sutawijaya ke medan perang.
Dengan begitu, Sultan Hadiwijaya akan meminjamkan keris pusakanya kepada putra
angkatnya itu. Sultan Hadiwijaya pun menyetujuinya. Pada hari yang telah
ditentukan, Ki Ageng Pamanahan bersama rombongannya berangkat menuju daerah
Jipang.Penyerangan itu dipimpin oleh Ki Juru Martani.Setibanya di tepi sungai
Bengawan Solo yang merupakan tapal batas wilayah Sela dan Jipang, Ki Juru
Martani segera mengatur siasat. Danang Sutawijaya tampak berdiri di samping
seekor kuda putih yang akan ditungganginya untuk menghadapi Arya Penangsang. Di
tangannya tergenggam tombak pusaka Kyai Plered yang ujungnya ditutupi kain
putih dan diberi rangkaian bunga melati. Tak jauh dari tempat pasukan Pajang
bersembunyi, tampak seorang pekatik (pemelihara kuda) yang sedang mencari
rumput untuk kuda milik Arya Penangsang. Ki Juru Martani pun segera menangkap
pekatik itu lalu melukai telinganya dan mengalunginya surat tantangan. Setelah
itu, si pekatik disuruh segera kembali ke Jipang untuk menghadap Arya
Penangsang. Setibanya di Jipang, pekatik itu segera menyerahkan surat itu
kepada Patih Matahun untuk dibaca di hadapan Arya Penangsang. Isi surat itu
berbunyi seperti berikut:
“Hei,
Penangsang! Yen sira nyata lanang sejati, payo tandhing lawan ingsun.Dak anti
sapinggiring bengawan tapel wates. Yen ora wani nekani, nyata sira wandu kang
memba rupa! Budhala tanpa rowang! Ingsun wong Sela wus tan bisa suwe nahan
sedyaning tyas kapeing nigas janggamu!” Artinya: “Hai, Penangsang! Jika kamu
nyata lelaki sejati, mari bertanding denganku! Aku tunggu di pinggir sungai
tapal batas. Jika tidak berani datang, jelaslah kamu seorang banci yang
menyamar sebagai lelaki! Berangkatlah tanpa prajurit! Aku orang Sela sudah
gatal ingin memenggal kepalamu!” Mengetahui isi surat itu, Arya Penangsang
langsung menggebrak meja di sampingnya. Ia lalau segera mengenakan pakaian
perang dan keris pusakanya yang bernama Kyai Setan Kober. “Prajurit!Siapkan
Kyai Gagak Rimang!” seru Arya Penangsang. Kyai Gagak Rimang adalah kuda andalan
Arya Penangsang yang biasa dipakai untuk mengalahkan musuh-musuhnya dalam
peperangan.Gagak Rimang perawakannya gagah dan tegap, badannya tinggi dan besar
serta sangat lincah.Warna bulunya yang hitam mengkilap membuatnya tampak
berwibawa. Dengan mata merah penuh amarah, Arya Penangsang segera menunggangi
Kyai Gagak Rimang menuju sungai tapal batas wilayah Jipang.Setibanya di tepi
sungai, Arya Penangsang melihat seorang anak kecil yang sedang menunggang kuda
putih di seberang sungai. Anak kecil itu tak lain adalah Sutawijaya yang sudah
siap dengan tombak pusakanya. Melihat kedatangan Arya Penangsang, Danang
Sutawijaya berteriak dengan suara nyaring. “Hai, Penangsang! Lawanlah aku kalau
kamu berani!” Dada Arya Panangsang bagai dibakar api mendengar suara anak kecil
yang menantangnya itu. Ia tidak sanggup lagi menahan emosinya. Dengan segera ia
menarik tali kekang Kyai Gagak Rimang sehingga kuda itu meringkik dan berlari
menapaki dasar Sungai Bengawan yang hanya setinggi lutut. Betapa senangnya hati
Danang Sutawijaya melihat Arya Penangsang mendahuluinya mencebur ke sungai.
Konon, jika terjadi peperangan atau pertarungan di Sungai Bengawan, pihak yang
lebih dahulu turun ke sungai pasti akan kalah. Tanpa ragu lagi, Sutawijaya
segera menghela kuda putihnya turun ke sungai. Begitu ia berhadap-hadapan
dengan Arya Penangsang, putra Ki Ageng Pamanahan itu segera memutar arah
kudanya sehingga membelakangi kuda Arya Penangsang. Kuda hitam kesayangan Arya
penangsang pun tiba-tiba bertingkah aneh dan menjadi liar karena kuda yang
ditunggangi Sutawijaya ternyata kuda betina.Kemaluan kuda putih terlihat dengan
jelas karena ekornya sengaja diikat ke atas. Semakin lama Kyai Gagak Rimang
semakin liar dan berontak hingga Arya Penangsang kerepotan
mengendalikannya.Melihat Arya Penangsang sibuk mengendalikan kudanya,
Sutawijaya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.Ia segera menusukkan tombak
pusaka Kyai Plered ke perut Arya Penangsang hingga robek hingga sebagian
ususnya terburai.
Meski demikian,
Arya Penangsang yang sakti itu masih hidup.Ia berusaha meraih ususnya yang
terburai itu lalu dikalungkannya pada warangka keris pusaknya. Setelah itu, ia
segera menarik tali kekang kudanya untuk mengejar Sutawijaya. Begitu mendekat,
Arya Penangsang meraih tubuh Sutawijaya yang kecil itu dan membantingnya ke
tanah hingga tak berdaya.Arya Penangsang segera turun dari kudanya lalu
menginjak dada Sutawijaya. Melihat putranya dalam keadaan bahaya, Ki Ageng
Pamanahan segera keluar dari tempat persembunyiannya.Ia segera menggunakan
siasatnya dengan berpura-pura memihak kepada Arya Penangsang. “Hai, Arya
Penangsang! Habisi saja nyawa putra Sultan Hadiwijaya itu!” teriak Ki Ageng
Pamanahan. Arya Penangsang pun baru sadar bahwa ternyata anak kecil yang
diinjak dadanya itu adalah putra musuhnya. Dengan geram, ia segera mencabut
keris Kyai Brongot Setan Kober dari pinggangnya. Namun, ia lupa jika sebagian
ususnya tersampir di warangka keris pusaka itu. Begitu ia mengangkat keris itu,
seketika itu pula ususnya terputus. Tak ayal lagi, tubuh Adipati Jipang itu
tersungkur ke tanah dan tewas seketika. Setelah Arya Penangsang tewas, Ki Ageng
Pemanahan beserta rombongannya kembali ke Pajang untuk melapor kepada Sultan
Hadiwijaya bahwa Arya Penangsang telah tewas. Sultan Hadiwijaya sangat gembira
mendengar kabar gembira itu. Sesuai dengan janjinya, maka ia pun menghadiahi Ki
Ageng Pamanahan dan Ki Penjawi tanah di Pati dan tanah di hutan Mataram.
Setelah melalui perundingan, Ki Ageng Pamanahan mendapatkan bagian tanah di
hutan Mataram sedangkan Ki Penjawi mendapatkan bagian tanah di Pati.Atas restu
Sultan Hadiwijaya, keduanya menuju ke bagian masing-masing.Ki Ageng Pamanahan
pun mengajak putranya, Danang Sutawijaya, untuk ikut serta pindah dan menetap
di daerah yang menjadi bagiannya. Di sana, mereka mengubah hutan belantara itu
menjadi pusat kerajaan besar yang bernama Kerajaan Mataram.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment