“Masjid
Terate Udik yang Keramat”
Cerita
Rakyat Banten
Di
Kampung Terate Udik,
Provinsi Banten, terdapat sebuah mushola
kecil yang dibangun
oleh penduduk setempat secara
bergotong-royong. Rumah ibadah tersebut didirikan
di atas tanah
wakaf milik Ki Ahmad
yang merupakan sesepuh
desa sekaligus ulama
yang terkenal kaya. Selain
untuk tempat ibadah,
mushola tersebut kerap digunakan
sebagai tempat bermusyawarah untuk
menyelesaikan masalah-masalah
yang menyangkut masyarakat. Ki Ahmad selalu menjadi penengah di antara
pihak-pihak yang berselisih.Tidak lama setelah mushola dibangun, Ki Ahmad
wafat. Seumur hidupnya, ulama yang kharismatik itu tidak pernah
menikah. Ia hanya
meninggalkan harta kekayaan
berupa tanah kosong
yang terletak di belakang mushola. Tanah kosong itu tidak ada yang mengurusnya
sehingga menjadi rebutan oleh dua orang anak angkat Ki Ahmad.
Kedua orang tersebut adalah Pak Sidik
dan Pak Tio yang masing-masing mengakui kepemilikan tanah kosong warisan Ki
Ahmad itu.Mengetahui adanya perselisihan di antara kedua pihak tersebut, salah
seorang warga yang bernama Pak Rasyid
melapor kepada Ustadz
Wahid, seorang tokoh
agama sekaligus pengurus
mushola yang menggantikan Ki
Ahmad. Setiba di
depan mushola, Pak
Ahmad melihat Ustadz
Wahid sedang membersihkan lantai
mushola. “Assalamu’alaim, Ustadz Wahid!” salam Pak Rasyid.“Wa’alaikumsalam”
jawab Ustadz Wahid, “Eeeh, Pak Rasyid. Ada apa gerangan pagi-pagi begini sudah
datang kemari?” Mendengar pertanyaan itu, Pak Rasyid pun menceritakan peristiwa
yang terjadi di rumah tetangganya.“Begini,
Ustadz. Tadi, ketika
saya hendak berangkat
ke sawah, tetangga
saya Pak Sidik
dan Pak Tio sedang bertengkar. Mereka sedang
memperebutkan tanah kosong milik alhmarhum Ki Ahmad yang ada di belakang
mushola ini,” jelas Pak Rasyid. Mendengar
penjelasan tersebut, Ustadz
Wahid meminta kepada
Pak Sidik dan
Pak Tio serta
seluruh warga masyarakat untuk segera berkumpul di Balai Desa.
Saat semuanya berkumpul, Ustadz Wahid
pun memanggil kedua belah pihak yang berselisih untuk maju ke depan. “Pak Sidik
dan Pak Tio, saya ingin kalian untuk berkata sejujur-jujurnya,” ujar Ustadz
Wahid. “Baik, Ustadz,” jawab keduanya serentak. Pak Sidik dan Pak Tio pun
menyampaikan pengakuan masing-masing. Namun, keduanya tetap mengakui bahwa
tanah itu milik mereka. Karena keduanya
tidak ada yang mau mengalah, akhirnya Ustadz Wahid meminta kepada keduanya agar
tanah itu dibagi dua saja “Ah, tidak bisa begitu, Ustadz.
Tanah itu jelas-jelas adalah milik
saya,” sanggah Pak Sidik. “Hai, Pak Tio! Kamu jangan sembarangan mengaku
seperti itu. Almarhum Ki Ahmad telah mewasiatkan tanah itu kepada saya,” teriak
Pak Tio tidak terima.Suasana sidang semakin
panas. Kedua pihak
yang berselisih tetap
bersikeras pada pendirian
masingmasing. Bahkan, mereka hampir saja berkelahi di hadapan seluruh
warga. Untung Ustadz Wahid yang bijaksana
itu dapat menenangkan
suasana sehingga perkelahian
tersebut dapat dihindarkan.
Sampai larut malam, perkara
tersebut belum juga
selesai. Akhirnya, Ustadz
Wahid memutuskan agar
perkara tersebut
diselesaikan besok pagi
di mushola. Kedua
belah pihak diminta
untuk menyiapkan masingmasing satu saksi.
Keesokan
harinya, warga kembali
berkumpul di mushola
untuk menyaksikan penyelesaian
perkara tanah tersebut. Pak Sidik dan Pak Tio pun datang bersama saksi
mereka masing-masing. Saksi dari pihak Pak
Sidik bernama Pak
Rahmat, sedangkan saksi
dari pihak Pak
Tio bernama Pak
Randik. Setelah semuanya siap,
kedua saksi dari kedua belah pihak tersebut diminta maju ke depan untuk
disumpah di hadapan kitab suci Alquran. Saksi yang mendapat giliran pertama
untuk disumpah adalah Pak Rahmat. “Saya bersumpah di depan Alquran, demi Allah
bahwa tanah yang ada di belakang mushola ini adalah milik Pak Sidik. Saya telah
mendengar dan menyaksikan sendiri saat Ki Ahmad menyampaikan wasiatnya kepada
Pak Sidik sebelum beliau meninggal,” ucap Pak Rahmat. Mendengar sumpah Pak
Rahmat itu, Pak Randik pun langsung membantahnya.“Hai Pak Rahmat, apa bukti
dari penyataanmu itu?”Saksi dari Pak Sidik itu tidak bisa memberikan bukti
yang nyata. Sementara itu, Pak Randik
sebagai saksi dari Pak Tio, selain bersumpah di depan Alquran, ia juga dapat
menunjukkan bukti tertulis berupa surat wasiat untuk menguatkan sumpahnya di
hadapan Ustadz Wahid.“Maaf, Ustadz. Ini surat wasiat dari Ki Ahmad yang ditujukan kepada Pak Tio. Surat ini kami
dapatkan dari orang yang biasa membersihkan kamar Ki Ahmad.
Orang itu menemukannya di bawah kasur
tempat tidur beliau sehari setelah beliau meninggal,” ungkap Pak Randik seraya
menyerahkan surat wasiat itu kepada Ustadz Wahid. Dengan saksi
dan bukti yang
meyakinkan, akhirnya Pak
Tio berhasil memenangkan
perkara tanah tersebut. Sidang
yang telah berlangsung
alot itu pun
dianggap selesai. Pak
Tio bersama para pendukungnya pulang
ke rumah dengan
perasaan gembira. Sementara
itu, Pak Sidik
dan para pendukungnya
meninggalkan mushola dengan perasaan kecewa. Pada malam harinya, terdengar
kabar bahwa Pak Randik yang merupakan saksi Pak Tio tiba-tiba sakit,
terserang penyakit yang
sulit disembuhkan. Selang
beberapa hari kemudian,
saksi Pak Tio
itu pun meninggal dunia. Rupanya,
Pak Randik terkena oleh sumpahnya sendiri. Peristiwa itu membuat Pak Tio
ketakutan karena merasa
bersalah telah menyuruh
Pak Randik untuk
bersumpah palsu di
hadapan seluruh warga desa.
Ia pun akhirnya
mengaku bahwa dirinya
telah berdusta dan
dan membuat surat wasiat palsu. Namun, nasi telah menjadi
bubur.
Akibat perbuatannya, Pak Tio pun
mendapat ganjaran yang setimpal. Pada hari berikutnya, Pak Tio tewas bersama
rumahnya yang habis dilalap api. Untung istri dan anak-anaknya dapat
diselamatkan.Penduduk desa tersebut
hanya dapat mengambil
hikmah dari peristiwa
tersebut. Pak Sidik
pun merelakan tanah kosong
di belakang mushola
diwakafkan untuk kepentingan
umum. Sejak perstiwa tersebut, tidak
pernah lagi terdengar
adanya perselisihan perkara
tanah di kalangan
masyarakat Kampung Terate Udik.
Namun, beberapa tahun
kemudian, masalah-masalah lain
banyak yang bermunculan seperti
pencurian dan perampokan.Suatu malam, penduduk desa itu gempar karerna rumah
salah seorang warga yang bernama Bu Fatimah baru saja dirampok. Seluruh
perhiasannya dibawa kabur oleh si perampok. Mendengar kabar tersebut,
Ustadz Wahid segera
ke rumah Bu
Fatimah. Setibanya di
sana, ternyata sudah
banyak warga yang berkumpul.
Ustadz pun menenangkan Bu Fatimah yang
menangis tersedu-sedu.“Tenangkanlah hati, Ibu! Saya dan warga berjanji akan
menangkap perampok itu,” hibur Ustadz Wahid.Keesokan harinya, ketika Ustadz
Wahid hendak menyelidiki kasus perampokan itu, seseorang dari desa lain datang
menemuinya. Orang yang
belum dikenalnya itu
bernama Pak Fikar.
Rupanya, Pak Fikar adalah warga baru di desa itu dan
bermaksud mengajak Ustadz Wahid untuk menghadiri acara syukuran di rumahnya.
Ustadz Wahid bersama
beberapa warga lainnya
pun mengiyakan undangan
itu. Semua undangan merasa senang
karena mereka disuguhi berbagai macam makanan enak dan lezat, kecuali Pak Umar,
suami Bu Fatimah, yang tampak gelisah karena ia melihat cincin batunya yang
hilang tadi malam sedang dipakai Pak Fikar. Begitu pula, cincin emas milik
istrinya melingkar di jari manis istri Pak Fikar.Setelah acara syukuran itu
selesai, Pak Umar menemui Ustadz Wahid. Ia kemudian menceritakan semua
yang baru saja
dilihatnya di rumah
Pak Fikar. Namun,
Ustadz Wahid tidak
menanggapi lapor an Pak Umar. Ia beranggapan bahwa perhiasan yang
dikenakan Pak Fikar dan istrinya tersebut hanya kebetulan saja sama dengan
milik Pak Umar.Pak Umar tetap
kukuh menyatakan bahwa
perhiasan milik Pak
Umar dan istrinya
itu adalah miliknya karena cincin batu itu adalah
warisan dari ayahnya, sedangkan cincin emas itu ia pesan khusus untuk istrinya.
Mendengar penjelasan tersebut, akhirnya
Ustadz Wahid memutuskan untuk menemui Pak Fikar di rumahnya dan menanyakan
mengenai perhiasan yang mereka kenakan.Oleh karena Pak Fikar tetap mengakui bahwa perhiasan
tersebut adalah milik mereka, akhirnya Ustadz Wahid mengajak
Pak Fikar untuk
bersumpah di mushola
pada esok harinya.
Dengan disaksikan oleh seluruh warga, Pak Fikar pun menyatakan
sumpahnya. “Saya bersumpah, demi
Allah bahwa saya
tidak pernah mencuri
barang-barang di rumah
Pak Umar,” ucap Pak Fikar dengan
sungguh-sungguh.Beberapa hari kemudian,
terdengar kabar bahwa
Pak Fikar terserang
penyakit yang aneh.
Seluruh tubuhnya ditumbuhi bisul-bisul yang menjijikkan dan berbau amis. Selain itu, ia juga terkena
penyakit lumpuh. Sang istri
yang tidak kuat
merawatnya akhirnya pergi
meninggalkannya. Beberapa hari kemudian, Pak Fikar pun wafat karena
termakan sumpah palsunya.Sejak itu, penduduk
Kampung Terate Udik
menganggap bahwa mushola
tersebut merupakan tempat bersumpah yang keramat. Kabar itu
tersebar hingga ke desa-desa lain sehingga setiap warga desa yang sedang menghadapi
masalah, mereka akan
meminta bantuan Ustadz
Wahid untuk menyelesaikan perkara dengan
cara bersumpah di
mushola itu.
Lama-kelamaan, bangunan
mushola itu diperbesar menjadi masjid. Hingga kini,
Masjid Terate Udik
masih dapat kita
saksikan di Kampung
Terate Udik, Cilegon,
Banten. Ajaibnya, masjid yang
keramat ini tidak
dapat diabadikan oleh
kamera atau pun
sejenisnya karena hasilnya tidak
pernah jadi.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment