Saturday, 28 November 2015

Cerita Rakyat Banten

“Masjid Terate Udik yang Keramat”
Cerita Rakyat Banten


Di  Kampung  Terate  Udik,  Provinsi  Banten,  terdapat sebuah  mushola  kecil  yang  dibangun  oleh  penduduk setempat  secara  bergotong-royong.  Rumah  ibadah tersebut  didirikan  di  atas  tanah  wakaf  milik  Ki  Ahmad yang  merupakan  sesepuh  desa  sekaligus  ulama  yang terkenal  kaya.  Selain  untuk  tempat  ibadah,  mushola tersebut  kerap  digunakan  sebagai  tempat bermusyawarah  untuk  menyelesaikan  masalah-masalah yang menyangkut masyarakat. Ki Ahmad selalu menjadi penengah di antara pihak-pihak yang berselisih.Tidak lama setelah mushola dibangun, Ki Ahmad wafat. Seumur hidupnya, ulama yang kharismatik itu tidak  pernah  menikah.  Ia  hanya  meninggalkan  harta  kekayaan  berupa  tanah  kosong  yang  terletak  di belakang mushola. Tanah  kosong itu tidak ada yang mengurusnya sehingga menjadi rebutan oleh dua orang anak angkat Ki Ahmad.
Kedua orang tersebut adalah Pak Sidik dan Pak Tio yang masing-masing mengakui kepemilikan tanah kosong warisan Ki Ahmad itu.Mengetahui adanya perselisihan di antara kedua pihak tersebut, salah seorang warga yang bernama Pak Rasyid  melapor  kepada  Ustadz  Wahid,  seorang  tokoh  agama  sekaligus  pengurus  mushola  yang menggantikan  Ki  Ahmad.  Setiba  di  depan  mushola,  Pak  Ahmad  melihat  Ustadz  Wahid  sedang membersihkan lantai mushola. “Assalamu’alaim, Ustadz Wahid!” salam Pak Rasyid.“Wa’alaikumsalam” jawab Ustadz Wahid, “Eeeh, Pak Rasyid. Ada apa gerangan pagi-pagi begini sudah datang kemari?” Mendengar pertanyaan itu, Pak Rasyid pun menceritakan peristiwa yang terjadi di rumah tetangganya.“Begini,  Ustadz.  Tadi,  ketika  saya  hendak  berangkat  ke  sawah,   tetangga  saya  Pak  Sidik  dan  Pak  Tio sedang bertengkar. Mereka sedang memperebutkan tanah kosong milik alhmarhum Ki Ahmad yang ada di belakang mushola ini,” jelas Pak Rasyid. Mendengar  penjelasan  tersebut,  Ustadz  Wahid  meminta  kepada  Pak  Sidik  dan  Pak  Tio  serta  seluruh warga masyarakat untuk segera berkumpul di Balai Desa.
Saat semuanya berkumpul, Ustadz Wahid pun memanggil kedua belah pihak yang berselisih untuk maju ke depan. “Pak Sidik dan Pak Tio, saya ingin kalian untuk berkata sejujur-jujurnya,” ujar Ustadz Wahid. “Baik, Ustadz,” jawab keduanya serentak. Pak Sidik dan Pak Tio pun menyampaikan pengakuan masing-masing. Namun, keduanya tetap mengakui bahwa tanah itu milik  mereka. Karena keduanya tidak ada yang mau mengalah, akhirnya Ustadz Wahid meminta kepada keduanya agar tanah itu dibagi dua saja “Ah, tidak bisa begitu, Ustadz.
Tanah itu jelas-jelas adalah milik saya,” sanggah Pak Sidik. “Hai, Pak Tio! Kamu jangan sembarangan mengaku seperti itu. Almarhum Ki Ahmad telah mewasiatkan tanah itu kepada saya,” teriak Pak Tio tidak terima.Suasana  sidang  semakin  panas.  Kedua  pihak  yang  berselisih  tetap  bersikeras  pada  pendirian  masingmasing. Bahkan, mereka hampir saja berkelahi di hadapan seluruh warga. Untung Ustadz Wahid yang bijaksana  itu  dapat  menenangkan  suasana  sehingga  perkelahian  tersebut  dapat  dihindarkan.  Sampai larut  malam,  perkara  tersebut  belum  juga  selesai.  Akhirnya,  Ustadz  Wahid  memutuskan  agar  perkara tersebut  diselesaikan  besok  pagi  di  mushola.  Kedua  belah  pihak  diminta  untuk  menyiapkan  masingmasing satu saksi.
Keesokan  harinya,  warga  kembali  berkumpul  di  mushola  untuk  menyaksikan  penyelesaian  perkara tanah tersebut. Pak Sidik dan Pak Tio pun datang bersama saksi mereka masing-masing. Saksi dari pihak Pak  Sidik  bernama  Pak  Rahmat,  sedangkan  saksi  dari  pihak  Pak  Tio  bernama  Pak  Randik.  Setelah semuanya siap, kedua saksi dari kedua belah pihak tersebut diminta maju ke depan untuk disumpah di hadapan kitab suci Alquran. Saksi yang mendapat giliran pertama untuk disumpah adalah Pak Rahmat. “Saya bersumpah di depan Alquran, demi Allah bahwa tanah yang ada di belakang mushola ini adalah milik Pak Sidik. Saya telah mendengar dan menyaksikan sendiri saat Ki Ahmad menyampaikan wasiatnya kepada Pak Sidik sebelum beliau meninggal,” ucap Pak Rahmat. Mendengar sumpah Pak Rahmat itu, Pak Randik pun langsung membantahnya.“Hai Pak Rahmat, apa bukti dari penyataanmu itu?”Saksi dari Pak Sidik itu tidak bisa memberikan bukti yang  nyata. Sementara itu, Pak Randik sebagai saksi dari Pak Tio, selain bersumpah di depan Alquran, ia juga dapat menunjukkan bukti tertulis berupa surat wasiat untuk menguatkan sumpahnya di hadapan Ustadz Wahid.“Maaf, Ustadz. Ini surat wasiat dari Ki Ahmad  yang ditujukan kepada Pak Tio. Surat ini kami dapatkan dari orang yang biasa membersihkan kamar Ki Ahmad.
Orang itu menemukannya di bawah kasur tempat tidur beliau sehari setelah beliau meninggal,” ungkap Pak Randik seraya menyerahkan surat wasiat itu kepada Ustadz Wahid. Dengan  saksi  dan  bukti  yang  meyakinkan,  akhirnya  Pak  Tio  berhasil  memenangkan  perkara  tanah tersebut.  Sidang  yang  telah  berlangsung  alot  itu  pun  dianggap  selesai.  Pak  Tio  bersama  para pendukungnya  pulang  ke  rumah  dengan  perasaan  gembira.  Sementara  itu,  Pak  Sidik  dan  para pendukungnya meninggalkan mushola dengan perasaan kecewa. Pada malam harinya, terdengar kabar bahwa Pak Randik yang merupakan saksi Pak Tio tiba-tiba sakit, terserang  penyakit  yang  sulit  disembuhkan.  Selang  beberapa  hari  kemudian,  saksi  Pak  Tio  itu  pun meninggal dunia. Rupanya, Pak Randik terkena oleh sumpahnya sendiri. Peristiwa itu membuat Pak Tio ketakutan  karena  merasa  bersalah  telah  menyuruh  Pak  Randik  untuk  bersumpah  palsu  di  hadapan seluruh  warga  desa.  Ia  pun  akhirnya  mengaku  bahwa  dirinya  telah  berdusta  dan  dan  membuat  surat wasiat palsu. Namun, nasi telah menjadi bubur.
Akibat perbuatannya, Pak Tio pun mendapat ganjaran yang setimpal. Pada hari berikutnya, Pak Tio tewas bersama rumahnya yang habis dilalap api. Untung istri dan anak-anaknya dapat diselamatkan.Penduduk  desa  tersebut  hanya  dapat  mengambil  hikmah  dari  peristiwa  tersebut.  Pak  Sidik  pun merelakan  tanah  kosong  di  belakang  mushola  diwakafkan  untuk  kepentingan  umum.  Sejak  perstiwa tersebut,  tidak  pernah  lagi  terdengar  adanya  perselisihan  perkara  tanah  di  kalangan  masyarakat Kampung  Terate  Udik.  Namun,  beberapa  tahun  kemudian,  masalah-masalah  lain  banyak  yang bermunculan seperti pencurian dan perampokan.Suatu malam, penduduk desa itu gempar karerna rumah salah seorang warga yang bernama Bu Fatimah baru saja dirampok. Seluruh perhiasannya dibawa kabur oleh si perampok. Mendengar kabar tersebut, Ustadz  Wahid  segera  ke  rumah  Bu  Fatimah.  Setibanya  di  sana,  ternyata  sudah  banyak  warga  yang berkumpul.
Ustadz pun menenangkan Bu Fatimah yang menangis tersedu-sedu.“Tenangkanlah hati, Ibu! Saya dan warga berjanji akan menangkap perampok itu,” hibur Ustadz Wahid.Keesokan harinya, ketika Ustadz Wahid hendak menyelidiki kasus perampokan itu, seseorang dari desa lain  datang  menemuinya.  Orang  yang  belum  dikenalnya  itu  bernama  Pak  Fikar.  Rupanya,  Pak  Fikar adalah warga baru di desa itu dan bermaksud mengajak Ustadz Wahid untuk menghadiri acara syukuran di  rumahnya.  Ustadz  Wahid  bersama  beberapa  warga  lainnya  pun  mengiyakan  undangan  itu.  Semua undangan merasa senang karena mereka disuguhi berbagai macam makanan enak dan lezat, kecuali Pak Umar, suami Bu Fatimah, yang tampak gelisah karena ia melihat cincin batunya yang hilang tadi malam sedang dipakai Pak Fikar. Begitu pula, cincin emas milik istrinya melingkar di jari manis istri Pak Fikar.Setelah acara syukuran itu selesai, Pak Umar menemui Ustadz Wahid. Ia kemudian menceritakan semua yang  baru  saja  dilihatnya  di  rumah  Pak  Fikar.  Namun,  Ustadz  Wahid  tidak  menanggapi  lapor an  Pak Umar. Ia beranggapan bahwa perhiasan yang dikenakan Pak Fikar dan istrinya tersebut hanya kebetulan saja sama dengan milik Pak Umar.Pak  Umar  tetap  kukuh  menyatakan  bahwa  perhiasan  milik  Pak  Umar  dan  istrinya  itu  adalah  miliknya karena cincin batu itu adalah warisan dari ayahnya, sedangkan cincin emas itu ia pesan khusus untuk istrinya.
Mendengar penjelasan tersebut, akhirnya Ustadz Wahid memutuskan untuk menemui Pak Fikar di rumahnya dan menanyakan mengenai perhiasan yang mereka kenakan.Oleh karena  Pak Fikar tetap mengakui bahwa perhiasan tersebut adalah milik mereka, akhirnya Ustadz Wahid  mengajak  Pak  Fikar  untuk  bersumpah  di  mushola  pada  esok  harinya.  Dengan  disaksikan  oleh seluruh warga, Pak Fikar pun menyatakan sumpahnya. “Saya  bersumpah,  demi  Allah  bahwa  saya  tidak  pernah  mencuri  barang-barang  di  rumah  Pak  Umar,” ucap Pak Fikar dengan sungguh-sungguh.Beberapa  hari  kemudian,  terdengar  kabar  bahwa  Pak  Fikar  terserang  penyakit  yang  aneh.  Seluruh tubuhnya ditumbuhi bisul-bisul yang menjijikkan dan  berbau amis. Selain itu, ia juga terkena penyakit lumpuh.  Sang  istri  yang  tidak  kuat  merawatnya  akhirnya  pergi  meninggalkannya.  Beberapa  hari kemudian, Pak Fikar pun wafat karena termakan sumpah palsunya.Sejak  itu,  penduduk  Kampung  Terate  Udik  menganggap  bahwa  mushola  tersebut  merupakan  tempat bersumpah yang keramat. Kabar itu tersebar hingga ke desa-desa lain sehingga setiap warga desa yang sedang  menghadapi  masalah,  mereka  akan  meminta  bantuan  Ustadz  Wahid  untuk  menyelesaikan perkara  dengan  cara  bersumpah  di  mushola  itu. 
Lama-kelamaan,  bangunan  mushola  itu  diperbesar menjadi masjid. Hingga  kini,  Masjid  Terate  Udik  masih  dapat  kita  saksikan  di  Kampung  Terate  Udik,  Cilegon,  Banten. Ajaibnya,  masjid  yang  keramat  ini  tidak  dapat  diabadikan  oleh  kamera  atau  pun  sejenisnya  karena hasilnya tidak pernah jadi.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






No comments:

Post a Comment