Sunday, 29 November 2015

Cerita Rakyat Bali

“Asal Mula Selat Bali”
Cerita Rakyat Bali




Di  Kerajaan  Daha,  Kediri,  Jawa  Timur,  hiduplah  seorang brahamana (pendeta) yang bernama Empu Sidi Mantra. Ia seorang  pendeta  yang  kaya  raya  dan  terkenal  sakti mandraguna. Selain itu, ia  juga memiliki seorang istri yang cantik  jelita  dan  seorang  putra  yang  gagah  dan  tanpan bernama  Manik  Angkeran.  Meski  demikian,  pendeta  itu tidak bisa hidup tenang dan bahagia, karena anak semata wayangnya,  Manik  Angkeran,  memiliki  sifat  tidak  terpuji, yaitu  gemar  berjudi.Ia  selalu  mempertaruhkan  harta kekayaan  orang  tuanya  dan  berhutang  kepada  orang  lain ketika  kalah  berjudi.  Hal  inilah  yang  membuat  Empu  Sidi
Mantra  dan  istrinya  merasa  resah,  karena  hampir  setiap hari  orang-orang  mendatangi  rumahnya  untuk  menagih hutang  putranya.  Keadaan  tersebut  berlangsung  hingga bertahun-tahun,  sehingga  lambat-laun  harta  kekayaan sang Empu terkuras habis.Pada suatu sore, Manik Angkeran pulang ke rumahnya dengan nafas tersengal-sengal.“Bapa, Ibu! Tolong aku!” seru Manik Angkeran. “Ada apa, Putraku? Apa yang terjadi denganmu?” tanya ibunya dengan perasaan cemas.“A...a... aku dikejar-kejar orang, Bu!” jawab Manik Angkeran dengan nafas yang masih terengah-engah.“Hmm... kamu pasti kalah berjudi lagi ya!” timpa bapanya.“Iya,  Bapa!  Aku  kalah  berjudi  dan  tidak  sanggup  membayar  taruhan.  Tolong  aku,  Bapa!  Mereka  ingin membunuhku,” Manik Angkeran mengiba kepada bapanya. Tak  berapa  lama  kemudian,  datanglah  beberapa  orang  pemuda  membawa  golok.  Mereka  berteriakteriak di depan rumah menyuruh Manik Angkeran keluar.“Hai,  Manik  Angkeran!  Keluar  dan  bayarlah  hutangmu!”  teriak  salah  seorang  pemuda  sambil mengacung-acungkan goloknya. Manik Angkeran pun semakin ketakutan.Ia segera masuk ke kamarnya untuk bersembunyi. Sementara itu,  dengan  tenangnya,  Empu  Sidi  Mantra  segera  menemui  para  pemuda  yang  berdiri  di  depan rumahnya.“Tenang, wahai Anak Muda! Percayalah, saya akan membayar semua hutang putraku. Tapi, berilah saya waktu tiga hari untuk mencari uang dulu,” pinta Empu Sidi Mantra. “Baiklah,  Empu!  Kami  menerima  permintaan  Empu.Tiga  hari  lagi,  kami  akan  kembali  kemari  untuk menagih janji Empu,” kata salah seorang pemuda, lalu membubarkan diri bersama teman-temannya. Pada  malam  harinya,  Empu  Sidi  Mantra  berdoa  untuk  memohon  pertolongan  kepada  Tuhan  Yang Mahakuasa. Saat tengah malam, tiba-tiba ia mendengar suara bisikan yang sangat jelas di telinganya. “Hai, Sidi Mantra! Pergilah ke kawah Gunung Agung! Di sana ada harta karun yang dijaga oleh seekor naga bernama Naga Besukih,” demikian suara bisikan itu. Keesokan harinya, berangkatlah Empu Sidi Mantra itu ke kawah Gunung Agung. Setelah berjalan cukup jauh  dengan  berbagai  rintangan,  sampailah  ia  di  tempat  tersebut.  Ia  pun  duduk  bersila  sambil  membunyikan  genta  (lonceng)  saktinya  seraya  mulutnya  komat-kamit  menyebut  nama  Naga  Besukih. Tak berapa lama kemudian, naga itu pun keluar dari tempat persembunyiannya.“Hai, kisanak! Kamu siapa dan ada apa kamu memanggilku?” tanya Naga Besukih itu. “Saya  Empu  Sidi  Mantra  dari  Tanah  Jambudwiba.Maksud  kedatangan  saya  kemari  untuk  meminta bantuanmu,” kata Empu Sidi Mantra.“Apa yang bisa kubantu, hai Mpu?Katakanlah!” seru Naga Besukih.Empu Sidi Mantra pun mengutarakan maksud kedatangannya.Karena merasa iba, Naga Besukih segera menggeliatkan tubuhnya.Seketika itu pula, emas dan berlian pun berhamburan keluar dari balik sisiknya.“Bawalah emas dan intan ini Mpu!Semoga cukup untuk membayar hutang-hutang putramu.
Tapi, ingat! Jangan lupa untuk menasehati putramu agar dia mau merubah perilakunya!” seru sang Naga.“Baik, Naga! Terima kasih atas bantuannya,” ucap Empu Sidi Mantra.Setelah mengambil semua perhiasan emas dan intan tersebut, Empu Sidi berpamitan kepada sang Naga. Setibanya di rumah, ia langsung memanggil putranya. “Wahai,  putraku  Manik  Angkeran!Bapa  akan  memberikan  semua  emas  dan  intan  ini  kepadamu,  tapi dengan satu syarat, kamu harus berjanji untuk tidak berjudi lagi,” ujar Empu Sidi Mantra.‘Baik, Bapa! Manik berjanji untuk tidak berjudi lagi,” ucap Manik Angkeran.
Empu  Sidi  Mantra  pun  percaya  begitu  saja  pada  ucapan  putranya.  Akhirnya,  ia  menyerahkan  semua perhiasan  emas  dan  intan  tersebut  kepada  putranya.  Dengan  perasaan  senang  dan  gembira,  Manik Angkeran  segera  menjual  semua  perhiasan  emas  dan  intan  tersebut.  Setelah  itu,  ia  pergi  membayar hutang-hutangnya. Ternyata, uang hasil penjualan emas dan intan tersebut tidak habis digunakan untuk melunasi  seluruh  hutangnya.  Melihat  jumlah  uang  yang  masih  tersisa  begitu  banyak,  akhirnya  ia  pun tergiur untuk kembali bermain judi. Dengan uang itu, ia berharap a kan menang dan memperoleh uang yang  lebih  banyak  lagi.  Tapi,  nasib  berkata  lain,  ia  kalah  berjudi  dan  uangnya  pun  habis.  Bahkan,  ia kembali dililit hutang. Akhirnya, ia kembali ke rumahnya dengan wajah lesu. “Bapa!Aku  sudah  membayar  semua  hutangku  kepada  mereka,”  kata  Manik  Angkeran  dengan  nada lemas.“Ya, baguslah kalau begitu! Tapi, kenapa wajahmu tampak kusut begitu?” tanya bapanya heran. “Maafkan  aku,  Bapa!Tadi  aku  bermain  judi  dan  berhutang  lagi,”  jawab  Manik  Angkeran  sambil  menundukkan kepalanya.“Apa katamu!Dasar anak keras kepala, tidak mau mendengar nasehat orang tua!” bentak bapanya. “Maafkan  aku,  Bapa!Tolong  bantu  aku  sekali  ini  saja,  Bapa!”Manik  Angkeran  mengiba  di  hadapan ayahnya. “Tidak!Bapa tidak dapat membantumu lagi.Bayar sendiri hutang-hutangmu itu!” seru bapanya dengan wajah memerah. Manik Angkeran pun tidak bisa berbuat apa-apa.Ia kebingungan mencari cara untuk membayar hutanghutangnya.  Di  tengah  kebingungannya,  tiba-tiba  ia  teringat  bahwa  bapanya  memperoleh  perhiasan emas dan intan di kawah Gunung Agung. Ia pun nekad mencuri genta milik bapanya, lalu pergi ke kawah gunung  itu.  Setibanya  di  sana,  ia  bingung  lagi  karena  tidak  mengerti  doa  dan  mantra  yang  harus diucapkan. 
Akhirnya,  ia  mencoba  membunyikan  genta  itu  tanpa  mengucapkan  mantra.  Setelah beberapa  kali  membunyikannya,  tiba-tiba  seekor  naga  besar  keluar  dari  sarangnya  dan menghampirinya. “Ampun, Naga! Jangan memangsaku!” pinta Manik Angkeran. “Hai, Anak Muda! Kamu siapa? Kenapa kamu membunyikan genta itu tanpa membaca mantra?” tanya Naga Besukih.
“A... a... Aku Manik Angkeran, putra Empu Sidi Mantra,” jawab Manik Angkeran dengan gugup. “Hai,  Manik  Angkeran!  Ada  apa  engkau  memanggilku  dengan  genta  yang  kau  curi  dari  bapamu  itu?”  tanya Naga Besukih. Manik Angkeran pun menyampaikan maksud  kedatangannya.Ia mengiba kepada Naga Besukih agar ia diberikan harta yang melimpah untuk membayar hutang-hutangnya. “Naga! Kasihanilah Aku! Orang-orang akan membunuhku jika tidak segera membayar hutangku kepada mereka,” Manik Angkeran kembali mengiba. Melihat kesedihan Manik Angkeran, sang Naga pun merasa kasihan kepadanya. “Baiklah!Aku akan membantumu, tapi kamu harus berjanji untuk berhenti berjudi,” ujar Naga Besukih. Setelah  itu,  sang  Naga  segera  membalikkan  badannya  hendak  mengeluarkan  emas  dan  intan  melalui sisik  ekornya.  Begitu  ia  hendak  menyetakkan  ekornya,  tiba-tiba  Manik  Angkeran  segera  menghunus kerisnya  dan  memotong  ekor  naga  itu.  Tak  ayal  lagi,  Naga  Besukih  pun  meronta-ronta  dan  menjerit kesakitan. Ketika ia membalikkan badannya, Manik Angkeran telah pergi membawa ekornya yang penuh dengan emas dan intan itu.
Ia berusaha untuk mengejarnya, namun putra Empu Sidi Mantra itu sudah menghilang entah ke mana. Ia hanya menemukan bekas tapak kakinya. Maka dengan kesaktiannya, ia membakar  tapak  kaki  itu.  Manik  Angkeran  yang  telah  pergi  jauh  meninggalkan  kawah  Gunung Agung pun merasakan kedua telapak kaki terasa panas, dan lama-kelamaan seluruh tubuhnya terbakar hingga akhirnya menjadi abu.Sementara  itu,  di  Kerajaan  Daha,  Empu  Sidi  Mantra  dan  istrinya  sedang  gelisah,  karena  anak  semata wayang mereka menghilang.Mereka sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak juga menemukannya. “Pa! Ke mana perginya putra kita? Kita sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tak seorang pun warga yang tahu keberadaannya?” tanya istri Empu Sidi Mantra dengan perasaan cemas. Empu Sidi Mantra hanya terdiam sambil berpikir. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia tersentak kaget. “Wah, jangan-jangan putra kita pergi ke Gunung Agung,” kata Empu Sidi Mantra. “Kenapa Bapa bisa berpikiran begitu?” tanya istrinya. “Aku berpikiran demikian, karena putra kita menghilang bersamaan dengan hilangnya genta saktiku. Dia pasti pergi ke kawah itu untuk menemui Naga Besukih,” jawab Empu Sidi Mantra. Keesokan  harinya,  berangkatlah  Empu  Sidi  Mantra  ke  kawah  Gunung  Agung  untuk  mencari  putranya. Setibanya di sana, ia melihat Naga Besukih sedang gelisah di luar sarangnya. “Wahai, Naga Besukih! Apakah engkau melihat putraku?” tanya Empu Sidi Mantra. “Iya, Mpu! Kemarin dia ke sini meminta harta untuk membayar hutang-hutangnya.Namun, ketika aku hendak  memberinya  harta  itu,  tiba-tiba  ia  memotong  ekorku,  lalu  membawanya  pergi  bersama  harta itu,” jelas Naga Besukih.  “Apakah kamu tahu kemana perginya?”Empu Sidi Mantra kembali bertanya dengan perasaan cemas. “Maaf,  Mpu!  Kamu  tidak  usah  lagi  mencari  putramu.Aku  telah  membakarnya  hingga  binasa,”  jawab Naga Besukih. Betapa terkejutnya Empu Sidi Mantra mendengar berita buruk itu.Ia pun memohon kepada sang Naga agar putranya dihidupkan kembali. “Maafkan aku dan putraku, Naga!Dia putraku satu-satunya.Aku mohon hidupkanlah dia kembali,” pinta Empu Sidi Mantra. “Baiklah,  Mpu!  Demi  persahabatan  kita,  aku  akan  memenuhi  permitaanmu.  Tapi  dengan  satu  syarat,  kamu harus mengembalikan ekorku,” kata Naga Besukih. Empu  Sidi  Mantra  pun  berjanji  untuk  memenuhi  syarat  Naga  Besukih.Dengan  kesaktiannya,  Naga Besukih  berhasil  menghidupkan  kembali  Manik  Angkeran.Empu  Sidi  Mantra  segera  pergi  mencari putranya. 
Setelah  sekian  lama  mencari,  akhirnya  ia  pun  menemukan  putranya di  sebuah  hutan  lebat, dan kemudian mengajaknya kembali ke kawah Gunung Agung untuk menemui dan mengembalikan ekor Naga Besukih. Setibanya di kawah Gunung Agung, Empu Sidi Mantra segera mengembalikan ekor Naga Besukih seperti semula.  Setelah  itu,  ia  bersama  naga  itu  menasehati  putranya  agar  benar-benar  mau  merubah perilakunya.  Manik  Angkeran  pun  sadar  dan  berjanji  untuk  mengikuti  nasehat  mereka.  Sebagai hukuman, ia harus tinggal di sekitar Gunung Agung.
Akhirnya, Empu Sidi Mantra pun kembali ke Kerajaan Daha seorang diri.Ketika tiba di Tanah Benteng, ia menorehkan  tongkat  saktinya  ke  tanah  untuk  membuat  garis  batas  antara  dia  dan  putranya. Karena kesaktiannya, bekas torehan tongkatnya bertambah lebar sehingga tergenangi air laut, dan lambat laun tempat itu berubah menjadi sebuah selat. Oleh masyarakat setempat, selat itu dinamakan Selat Bali.
Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”




No comments:

Post a Comment