“Asal
Mula Selat Bali”
Cerita
Rakyat Bali
Di Kerajaan
Daha, Kediri, Jawa
Timur, hiduplah seorang brahamana (pendeta) yang bernama Empu
Sidi Mantra. Ia seorang pendeta yang
kaya raya dan
terkenal sakti mandraguna. Selain
itu, ia juga memiliki seorang istri yang
cantik jelita dan
seorang putra yang
gagah dan tanpan bernama Manik
Angkeran. Meski demikian,
pendeta itu tidak bisa hidup
tenang dan bahagia, karena anak semata wayangnya, Manik
Angkeran, memiliki sifat
tidak terpuji, yaitu gemar
berjudi.Ia selalu mempertaruhkan harta kekayaan orang
tuanya dan berhutang
kepada orang lain ketika
kalah berjudi. Hal
inilah yang membuat
Empu Sidi
Mantra dan
istrinya merasa resah,
karena hampir setiap hari
orang-orang mendatangi rumahnya
untuk menagih hutang putranya.
Keadaan tersebut berlangsung
hingga bertahun-tahun, sehingga lambat-laun
harta kekayaan sang Empu terkuras
habis.Pada suatu sore, Manik Angkeran pulang ke rumahnya dengan nafas
tersengal-sengal.“Bapa, Ibu! Tolong aku!” seru Manik Angkeran. “Ada apa,
Putraku? Apa yang terjadi denganmu?” tanya ibunya dengan perasaan
cemas.“A...a... aku dikejar-kejar orang, Bu!” jawab Manik Angkeran dengan nafas
yang masih terengah-engah.“Hmm... kamu pasti kalah berjudi lagi ya!” timpa
bapanya.“Iya, Bapa! Aku
kalah berjudi dan
tidak sanggup membayar
taruhan. Tolong aku,
Bapa! Mereka ingin membunuhku,” Manik Angkeran mengiba
kepada bapanya. Tak berapa lama
kemudian, datanglah beberapa
orang pemuda membawa
golok. Mereka berteriakteriak di depan rumah menyuruh Manik
Angkeran keluar.“Hai, Manik Angkeran!
Keluar dan bayarlah
hutangmu!” teriak salah
seorang pemuda sambil mengacung-acungkan goloknya. Manik
Angkeran pun semakin ketakutan.Ia segera masuk ke kamarnya untuk bersembunyi.
Sementara itu, dengan tenangnya,
Empu Sidi Mantra
segera menemui para
pemuda yang berdiri
di depan rumahnya.“Tenang, wahai
Anak Muda! Percayalah, saya akan membayar semua hutang putraku. Tapi, berilah
saya waktu tiga hari untuk mencari uang dulu,” pinta Empu Sidi Mantra. “Baiklah, Empu!
Kami menerima permintaan
Empu.Tiga hari lagi,
kami akan kembali
kemari untuk menagih janji Empu,”
kata salah seorang pemuda, lalu membubarkan diri bersama teman-temannya. Pada malam
harinya, Empu Sidi
Mantra berdoa untuk
memohon pertolongan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa. Saat tengah
malam, tiba-tiba ia mendengar suara bisikan yang sangat jelas di telinganya. “Hai,
Sidi Mantra! Pergilah ke kawah Gunung Agung! Di sana ada harta karun yang
dijaga oleh seekor naga bernama Naga Besukih,” demikian suara bisikan itu. Keesokan
harinya, berangkatlah Empu Sidi Mantra itu ke kawah Gunung Agung. Setelah
berjalan cukup jauh dengan berbagai
rintangan, sampailah ia
di tempat tersebut.
Ia pun duduk
bersila sambil membunyikan
genta (lonceng) saktinya
seraya mulutnya komat-kamit
menyebut nama Naga
Besukih. Tak berapa lama kemudian, naga itu pun keluar dari tempat
persembunyiannya.“Hai, kisanak! Kamu siapa dan ada apa kamu memanggilku?” tanya
Naga Besukih itu. “Saya Empu Sidi
Mantra dari Tanah
Jambudwiba.Maksud kedatangan saya
kemari untuk meminta bantuanmu,” kata Empu Sidi
Mantra.“Apa yang bisa kubantu, hai Mpu?Katakanlah!” seru Naga Besukih.Empu Sidi
Mantra pun mengutarakan maksud kedatangannya.Karena merasa iba, Naga Besukih
segera menggeliatkan tubuhnya.Seketika itu pula, emas dan berlian pun
berhamburan keluar dari balik sisiknya.“Bawalah emas dan intan ini Mpu!Semoga
cukup untuk membayar hutang-hutang putramu.
Tapi, ingat! Jangan lupa untuk
menasehati putramu agar dia mau merubah perilakunya!” seru sang Naga.“Baik,
Naga! Terima kasih atas bantuannya,” ucap Empu Sidi Mantra.Setelah mengambil
semua perhiasan emas dan intan tersebut, Empu Sidi berpamitan kepada sang Naga.
Setibanya di rumah, ia langsung memanggil putranya. “Wahai, putraku
Manik Angkeran!Bapa akan
memberikan semua emas
dan intan ini
kepadamu, tapi dengan satu
syarat, kamu harus berjanji untuk tidak berjudi lagi,” ujar Empu Sidi
Mantra.‘Baik, Bapa! Manik berjanji untuk tidak berjudi lagi,” ucap Manik
Angkeran.
Empu
Sidi Mantra pun
percaya begitu saja
pada ucapan putranya.
Akhirnya, ia menyerahkan
semua perhiasan emas dan
intan tersebut kepada
putranya. Dengan perasaan
senang dan gembira,
Manik Angkeran segera menjual
semua perhiasan emas
dan intan tersebut.
Setelah itu, ia
pergi membayar hutang-hutangnya.
Ternyata, uang hasil penjualan emas dan intan tersebut tidak habis digunakan
untuk melunasi seluruh hutangnya.
Melihat jumlah uang
yang masih tersisa
begitu banyak, akhirnya
ia pun tergiur untuk kembali
bermain judi. Dengan uang itu, ia berharap a kan menang dan memperoleh uang
yang lebih banyak
lagi. Tapi, nasib
berkata lain, ia
kalah berjudi dan
uangnya pun habis.
Bahkan, ia kembali dililit
hutang. Akhirnya, ia kembali ke rumahnya dengan wajah lesu. “Bapa!Aku sudah
membayar semua hutangku
kepada mereka,” kata
Manik Angkeran dengan
nada lemas.“Ya, baguslah kalau begitu! Tapi, kenapa wajahmu tampak kusut
begitu?” tanya bapanya heran. “Maafkan
aku, Bapa!Tadi aku
bermain judi dan
berhutang lagi,” jawab
Manik Angkeran sambil menundukkan kepalanya.“Apa katamu!Dasar anak
keras kepala, tidak mau mendengar nasehat orang tua!” bentak bapanya. “Maafkan aku,
Bapa!Tolong bantu aku
sekali ini saja,
Bapa!”Manik Angkeran mengiba
di hadapan ayahnya. “Tidak!Bapa
tidak dapat membantumu lagi.Bayar sendiri hutang-hutangmu itu!” seru bapanya
dengan wajah memerah. Manik Angkeran pun tidak bisa berbuat apa-apa.Ia
kebingungan mencari cara untuk membayar hutanghutangnya. Di
tengah kebingungannya, tiba-tiba
ia teringat bahwa
bapanya memperoleh perhiasan emas dan intan di kawah Gunung
Agung. Ia pun nekad mencuri genta milik bapanya, lalu pergi ke kawah
gunung itu. Setibanya
di sana, ia
bingung lagi karena
tidak mengerti doa
dan mantra yang
harus diucapkan.
Akhirnya, ia
mencoba membunyikan genta
itu tanpa mengucapkan
mantra. Setelah beberapa kali
membunyikannya, tiba-tiba seekor
naga besar keluar
dari sarangnya dan menghampirinya. “Ampun, Naga! Jangan
memangsaku!” pinta Manik Angkeran. “Hai, Anak Muda! Kamu siapa? Kenapa kamu
membunyikan genta itu tanpa membaca mantra?” tanya Naga Besukih.
“A...
a... Aku Manik Angkeran, putra Empu Sidi Mantra,” jawab Manik Angkeran dengan
gugup. “Hai, Manik Angkeran!
Ada apa engkau
memanggilku dengan genta
yang kau curi
dari bapamu itu?” tanya
Naga Besukih. Manik Angkeran pun menyampaikan maksud kedatangannya.Ia mengiba kepada Naga Besukih
agar ia diberikan harta yang melimpah untuk membayar hutang-hutangnya. “Naga!
Kasihanilah Aku! Orang-orang akan membunuhku jika tidak segera membayar hutangku
kepada mereka,” Manik Angkeran kembali mengiba. Melihat kesedihan Manik
Angkeran, sang Naga pun merasa kasihan kepadanya. “Baiklah!Aku akan membantumu,
tapi kamu harus berjanji untuk berhenti berjudi,” ujar Naga Besukih. Setelah itu,
sang Naga segera
membalikkan badannya hendak
mengeluarkan emas dan
intan melalui sisik ekornya.
Begitu ia hendak
menyetakkan ekornya, tiba-tiba
Manik Angkeran segera
menghunus kerisnya dan memotong
ekor naga itu.
Tak ayal lagi,
Naga Besukih pun
meronta-ronta dan menjerit kesakitan. Ketika ia membalikkan
badannya, Manik Angkeran telah pergi membawa ekornya yang penuh dengan emas dan
intan itu.
Ia berusaha untuk mengejarnya, namun
putra Empu Sidi Mantra itu sudah menghilang entah ke mana. Ia hanya menemukan
bekas tapak kakinya. Maka dengan kesaktiannya, ia membakar tapak
kaki itu. Manik
Angkeran yang telah
pergi jauh meninggalkan
kawah Gunung Agung pun merasakan
kedua telapak kaki terasa panas, dan lama-kelamaan seluruh tubuhnya terbakar
hingga akhirnya menjadi abu.Sementara
itu, di Kerajaan
Daha, Empu Sidi
Mantra dan istrinya
sedang gelisah, karena
anak semata wayang mereka
menghilang.Mereka sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak juga menemukannya. “Pa!
Ke mana perginya putra kita? Kita sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tak
seorang pun warga yang tahu keberadaannya?” tanya istri Empu Sidi Mantra dengan
perasaan cemas. Empu Sidi Mantra hanya terdiam sambil berpikir. Beberapa saat
kemudian, tiba-tiba ia tersentak kaget. “Wah, jangan-jangan putra kita pergi ke
Gunung Agung,” kata Empu Sidi Mantra. “Kenapa Bapa bisa berpikiran begitu?”
tanya istrinya. “Aku berpikiran demikian, karena putra kita menghilang
bersamaan dengan hilangnya genta saktiku. Dia pasti pergi ke kawah itu untuk
menemui Naga Besukih,” jawab Empu Sidi Mantra. Keesokan harinya,
berangkatlah Empu Sidi
Mantra ke kawah
Gunung Agung untuk
mencari putranya. Setibanya di
sana, ia melihat Naga Besukih sedang gelisah di luar sarangnya. “Wahai, Naga
Besukih! Apakah engkau melihat putraku?” tanya Empu Sidi Mantra. “Iya, Mpu!
Kemarin dia ke sini meminta harta untuk membayar hutang-hutangnya.Namun, ketika
aku hendak memberinya harta
itu, tiba-tiba ia
memotong ekorku, lalu
membawanya pergi bersama
harta itu,” jelas Naga Besukih. “Apakah
kamu tahu kemana perginya?”Empu Sidi Mantra kembali bertanya dengan perasaan
cemas. “Maaf, Mpu! Kamu
tidak usah lagi
mencari putramu.Aku telah
membakarnya hingga binasa,”
jawab Naga Besukih. Betapa terkejutnya Empu Sidi Mantra mendengar berita
buruk itu.Ia pun memohon kepada sang Naga agar putranya dihidupkan kembali. “Maafkan
aku dan putraku, Naga!Dia putraku satu-satunya.Aku mohon hidupkanlah dia
kembali,” pinta Empu Sidi Mantra. “Baiklah,
Mpu! Demi persahabatan
kita, aku akan
memenuhi permitaanmu. Tapi
dengan satu syarat, kamu harus mengembalikan ekorku,” kata Naga
Besukih. Empu Sidi Mantra
pun berjanji untuk
memenuhi syarat Naga
Besukih.Dengan kesaktiannya, Naga Besukih
berhasil menghidupkan kembali
Manik Angkeran.Empu Sidi
Mantra segera pergi
mencari putranya.
Setelah sekian
lama mencari, akhirnya
ia pun menemukan
putranya di sebuah hutan
lebat, dan kemudian mengajaknya kembali ke kawah Gunung Agung untuk
menemui dan mengembalikan ekor Naga Besukih. Setibanya di kawah Gunung Agung,
Empu Sidi Mantra segera mengembalikan ekor Naga Besukih seperti semula. Setelah
itu, ia bersama
naga itu menasehati
putranya agar benar-benar
mau merubah perilakunya. Manik
Angkeran pun sadar
dan berjanji untuk
mengikuti nasehat mereka.
Sebagai hukuman, ia harus tinggal di sekitar Gunung Agung.
Akhirnya, Empu Sidi Mantra pun kembali
ke Kerajaan Daha seorang diri.Ketika tiba di Tanah Benteng, ia menorehkan tongkat
saktinya ke tanah
untuk membuat garis
batas antara dia
dan putranya. Karena
kesaktiannya, bekas torehan tongkatnya bertambah lebar sehingga tergenangi air
laut, dan lambat laun tempat itu berubah menjadi sebuah selat. Oleh masyarakat
setempat, selat itu dinamakan Selat Bali.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment