“Si
Pitung”
Cerita
Rakyat DKI Jakarta
Pada suatu sore,
Pak Piun duduk-duduk di depan rumahnya. Seharian ia bekerja di sawah, dan sore
itu ia ingin melepas lelah bersama keluarganya. Bu Pinah, istrinya, duduk di
balai-balai bambu sambil memegangi perutnya yang membuncit. Beberapa hari lagi
Bu Pinah akan melahirkan. Pak Piun tersenyum bahagia, sembari menggumamkan doa,
semoga anak yang lahir kelak akan menjadi anak yang berguna. Tiba-tiba salah
satu dari ketiga anaknya yang duduk di dekat Bu Pinah bertanya kepada Pak Piun.
“Pak, kenapa padi yang baru saja dipanen dirampas oleh centeng-centeng Babah
Liem?” Pak Piun terdiam sejenak, lalu menjawab dengan pelan. “Biarlah, Nak.
Lagipula kita masih punya padi.” Sebenarnya, hati Pak Piun sedih bukan
kepalang. Ia pun risau karena padi yang baru saja dipanen tiba-tiba saja
dirampas oleh centeng-centeng Babah. Namun, di daerah itu, rakyat jelata
seperti dia tidak bisa melawan perampasan itu. Kampung Rawabelong, kampungnya,
adalah bagian dari partikelir Kebayoran. Tuan Tanah yang berkuasa di sana
adalah Liem Tjeng Soen. Tanah partikelir itu diperoleh dari pemerintahan
Belanda melalui pembelian dokumen tanah, serta kesediaan untuk membayar pajak
kepada Belanda. Untuk menjaga tanah itu, Babah Liem mengangkat centeng-centeng dari
kalangan pribumi. Mereka bertugas menagih pajak kepada penduduk. Para penduduk
tidak berani melawan centeng-centeng yang pandai bersilat dan mahir memainkan
senjata itu. Maka, mereka hanya terdiam ketika centeng-centeng mengambili ayam,
kambing, padi, dan apa saja yang bisa dibawa. Beberapa hari kemudian, Bu Pinah
melahirkan. Pak Piun menamai anak yang baru lahir itu Pitung, dan memanggilnya
dengan nama si Pitung. Sebagaimana anak-anak Betawi umumnya, Pitung dibesarkan
dalam keluarganya sendiri. Ia diajari tata krama, belajar mengaji, membantu
ayahnya menanam padi, memetik kelapa, dan mencari rumput untuk pakan kambing.
Adakalanya Pitung membantu tetangga-tetangganya tanpa diminta.
Pitung pun rajin
menunaikan perintah Allah, sholat dan puasa, serta selalu bertutur kata dengan
santun dan patuh kepada kedua orangtuanya. Pitung belajar pengetahuan agama dan
silat serta ilmu bela diri lainnya dari Haji Naipin, seorang ulama yang
dihormati di kampung Rawabelong. Karena Pitung patuh dan rajin berlatih, ia
menjadi murid kesayangan Haji Naipin. Kepadanya seluruh ilmu Haji Naipin
dicurahkan, dengan harapan kelak ia menjadi murid yang berguna bagi masyarakat.
Haji Naipin bahkan memberikan ilmu Pancasona, sebuah ilmu kebal senjata, kepada
Pitung. Kata Haji Naipin, “Ilmu ini buat membela yang lemah dari kezaliman,
bukan untuk menzalimi orang.” Meski menjadi murid kesayangan Haji Naipin,
tetapi Pitung selalu rendah hati. Kepada orang lain ia selalu bersikap santun
dan terpuji. Ia pun tak luput dari gejolak masa muda. Ia menjalin hubungan
dengan Aisyah, dan berjanji akan menikah bila kelak usia mereka sudah pantas
untuk menikah. Pada suatu hari, Pitung menyaksikan sendiri kesewenang-wenangan
centeng-centeng Babah Liem. Centeng-centeng itu mendatangi rumah tetangganya
dan merampas ayam, kambing, kelapa, dan simpanan padi di lumbung. Sebagai
pemuda, darahnya mendidih. Ia ingin menghajar mereka. Namun, ibunya mencegah
Pitung. “Jangan, Tung. Mereka punya kuasa. Nanti juga mereka mendapatkan
hukuman sendiri.” Karena ingin mematuhi nasehat ibunya, Pitung mengurungkan
niatnya untuk menghajar centeng-centeng itu. Namun, di hari lain, ketika ia
sedang berkunjung di kampung tetangga, ia melihat lagi centeng-centeng itu
bertindak sewenang-wenang. Pitung tak dapat menahan diri lagi. Dihampirinya
centeng-centeng yang sedang sibuk merampasi barang keluarga yang malang itu.
“Hei, para pengecut!” seru Pitung. “Kenapa kalian merampas harta orang lain?
Pakai keroyokan lagi. Sendiri-sendiri kalau berani!” Pemimpin centeng menoleh
kepada Pitung dan tersenyum merendahkan. “Hai, kamu tidak tahu siapa kami ini
ya? Pantas saja kamu berani membentak-bentak seperti itu.” “Cuih!” Pitung
meludah dengan marah. “Kalian hanya berani mengeroyok orang yang lemah. Sini,
kalau berani bertarung melawanku.” Pemimpin centeng itu menjadi geram. Ia
menyerang Pitung sekenanya saja, mengira bahwa Pitung akan mudah dirobohkan.
Namun, di luar dugaannya, Pitung malah mencekal lengannya dan membantingnya ke
tanah hingga pingsan. Centeng-centeng yang lain menghentikan kesibukan mereka
dan mengepung Pitung. Dengan sigap Pitung menyerang lebih dulu. Ada lima
centeng yang mengeroyoknya. Satu demi satu ia hajar pelipis atau tulang kering
mereka hingga mereka mengaduh kesakitan. Lalu mereka menggotong pimpinan
centeng yang masih pingsan dan melarikan diri.
Sebelum pergi,
mereka mengancam: “Awas, nanti kami laporkan Demang.” Beberapa hari setelah
peristiwa itu, nama Pitung menjadi buah bibir di seluruh Kebayoran. Namun,
Pitung tak mau congkak. Ia bahkan menghindar kalau ada orang yang bertanya
kepadanya tentang kejadian itu. Suatu hari, Pak Piun menyuruh Pitung menjual
kambing ke Pasar Tanah Abang. Pak Piun sedang membutuhkan uang untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Pitung pun mengeluarkan dua ekor kambing dari kandang dan
menuju ke Pasar Tanah Abang. Tanpa sepengetahuannya, ada seorang centeng yang
membuntutinya. Centeng itu terus mengawasi Pitung ketika Pitung mengantongi
uang hasil penjualan kambing. Bahkan ketika Pitung berjalan pulang dan singgah
di sebuah mushola, orang itu tetap membuntutinya. Ketika Pitung melepas bajunya
untuk mandi di sungai dan berwudhu, orang itu mencuri uang di saku baju Pitung.
Pitung sampai di rumah dan dimarahi ayahnya karena uang itu hilang. Dengan
geram ia kembali ke Pasar Tanah Abang dan mencari orang yang telah mencuri
uangnya. Setelah melakukan penyelidikan, ia menemukan orang itu. Orang itu
sedang berkumpul dengan centeng-centeng lainnya di sebuah kedai kopi. Pitung
mendatanginya dan menghardik, “Kembalikan uangku!” Para centeng itu tertawa.
Salah seorang berkata, “Kamu boleh ambil uang ini, tapi kamu harus menjadi
anggota kami.” “Cuh! Tak sudi aku jadi maling,” jawab Pitung dengan kasar. Para
centeng itu marah mendengar jawaban Pitung. Serentak mereka menyerbu Pitung.
Namun, yang mereka hadapi adalah Si Pitung dari Kampung Rawabelong yang pernah
menghajar enam orang centeng Babah Liem sendirian. Akibatnya, satu demi satu
mereka kena tinju Si Pitung. Yang berani menggunakan senjata malah dimakan
sendiri oleh senjata mereka. Sejak hari itu, Si Pitung memutuskan untuk membela
orang-orang yang lemah. Ia tak tahan lagi melihat penderitaan rakyat jelata,
yang ditindas centeng-centeng tuan tanah dan dihisap oleh penjajah Belanda.
Beberapa centeng yang pernah dihajarnya ada yang insyaf dan ia mengajak mereka
untuk membentuk suatu kelompok. Bersama kelompoknya, ia merampoki rumah-rumah
orang kaya dan membagi-bagikan harta rampasannya kepada orang-orang miskin dan
lemah. Nama Pitung menjadi harum di kalangan rakyat jelata. Namun, pada saat
yang bersamaan, muncul juga kelompok-kelompok lain yang ikut-ikutan merampok
atas nama Si Pitung. Para tuan tanah dan orang-orang yang mengambil keuntungan
dengan cara memihak Belanda menjadi tidak tenteram. Mereka mengadukan persoalan
itu kepada pemerintah Belanda.
Penguasa penjajah di Batavia pun
memerintahkan aparat-aparatnya untuk menangkap Si Pitung. Schout Heyne,
kontrolir Kebayoran, memerintahkan mantri polisi dan bek untuk mencari tahu di
mana Pitung berada.
Schout Heyne
menjanjikan uang banyak kepada siapa saja yang mau memberi tahu keberadaan si
Pitung Mengetahui dirinya menjadi buron, Pitung berpindah-pindah tempat, bahkan
pernah sampai ke Marunda. Selama itu, ia tetap melaksanakan perampasan harta
orang-orang kaya, para demang dan tuan tanah. Harta rampasan selalu ia berikan
kepada rakyat yang lemah dan tertindas oleh penjajahan. Namun, pada suatu hari,
Pitung dan kelompoknya terjebak oleh siasat polisi. Waktu itu mereka akan
merampok rumah seorang demang. Polisi sudah lebih dulu bersembunyi di sekitar
rumah demang itu. Ketika kelompok Pitung tiba, polisi segera mengepung rumah
itu. Pitung membiarkan dirinya tertangkap, sementara teman-temannya berhasil
meloloskan diri. Ia dibawa ke penjara Grogol dan disekap di sana. Namun, karena
selalu memikirkan nasib rakyat, ia meloloskan diri lewat genteng pada suatu
malam. Para penjaga menjadi panik karenanya. “Wah, bagaimana ini? Ke mana si
Pitung” tanya mereka kepada teman satu sel Pitung. “Saya tak tahu. Pitung kan
sakti. Dia bisa menghilang,” jawab teman satu sel Pitung. Kabar bahwa Pitung
lolos membuat kontrolir dan orang-orang kaya menjadi tidak tenteram lagi.
Schout Heyne memerintahkan orang untuk menangkap Pak Piun dan Haji Naipin.
Kedua orang itu disiksa agar memberitahukan di mana Si Pitung berada. Namun,
keduanya bungkam. Akibatnya, mereka berdua pun dibui di Grogol. Sementara itu,
Pitung terus menjalankan kegiatannya. Namun, ia menjadi berpikir panjang ketika
mendengar kabar bahwa ayah dan gurunya dibui polisi. Ia mengirim pesan bahwa ia
bersedia menyerahkan diri bila kedua orang itu dibebaskan. Schout Heyne setuju.
Pada hari yang ditentukan, mereka membawa Haji Naipin ke tanah lapang. Pak Piun
sudah lebih dulu dibebaskan. Di tanah lapang itu, sepasukan polisi menodongkan
senjata kepada Haji Naipin. Pitung muncul sendirian. Schout Heyne menyuruh
Pitung menyerah. Pitung meminta agar Haji Naipin dilepaskan dulu. Setelah Haji
Naipin dilepaskan, Pitung maju menghadapi Schout Heyne. Pasukan polisi kini
membidikkan senjata mereka kepada Pitung. “Huh, tertangkap juga kamu, Pitung!”
dengus Schout Heyne dengan nada sombong. “Iya, tapi nanti aku pasti akan lolos
lagi. Dengan orang pengecut seperti kalian, yang beraninya hanya mengandalkan
anak buah, aku tidak takut,” jawab Pitung.
Schout Heyne menjadi marah. Ia
mundur beberapa langkah dan memberi aba-aba agar pasukannya bersiap menembak.
Haji Naipin yang masih ada di situ memprotes tindakan yang pengecut itu. Namun,
sudah terlanjur, perintah menembak sudah diberikan, dan Pitung pun roboh
bersimbah darah.
Pitung
dimakamkan beberapa hari kemudian. Banyak rakyat yang turut mengiringi
pemakamannya dan mendoakannya. Mereka akan selalu mengingat jasa Si Pitung,
pembela dan pelindung mereka. Beberapa bulan kemudian Schout Heyne dipecat dari
jabatannya karena ia telah menembak orang yang tidak melawan ketika ditangkap.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment