“Sang
Kabelah”
Cerita
Rakyat Lampung
Ada sepasang
suami-istri yang tinggal di sebuah kampung di daerah Lampung. Mereka sudah
bertahun-tahun berumah tangga, namun belum dikaruniai seorang anak. Mereka
sangat menginginkan seorang anak untuk mengisi kesepian mereka. Oleh karena
itu, hampir setiap malam mereka berdoa dan mendatangi tabib yang sakti untuk
memenuhi keinginan tersebut. Pada suatu malam, sepasang suami-istri tersebut
berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Oh Tuhan! Karuniakanlah kepada kami seorang
anak, walaupun hanya berbadan sebelah!” pinta suami istri itu dengan penuh
ketulusan. Berkat doa yang tulus tersebut, sang Istri pun mengandung. Sesuai
dengan permintaan mereka, beberapa bulan kemudian, sang Istri pun melahirkan
seorang bayi laki-laki berbadan setengah. Bayi mungil itu hanya memiliki satu
telinga, satu mata, satu tangan, dan satu kaki. Oleh kedua orang tuanya, bayi
itu diberi nama Kabelah. Meskipun berbadan sebelah, Kabelah senantiasa mendapat
perhatian dan kasih sayang tulus dari kedua orang tuanya. Ia tumbuh menjadi
anak sehat dan dapat bermain bersama teman-teman sebayanya. Namun, ia
seringkali dicemooh oleh teman-temannya karena badannya hanya sebelah. Pada
suatu hari, ketika sedang asyik bermain, Kabelah dicelah oleh teman-temannya.
Dengan hati sedih, ia pun pulang ke rumahnya. “Hai Belah, Anakku! Kenapa kamu
selalu tampak sedih setiap pulang dari bermain?” tanya ibunya dengan penuh
perhatian. “Iya, Bu! Belah sedih karena setiap hari mereka mengejekku. Belah
tidak mau lagi ikut bermain bersama mereka,” keluh Kabelah kepada ibunya.
“Sabarlah, Anakku! Kita harus rela menerima keadaan ini dengan hati yang tulus.
Semua ini sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Jika mereka mencelamu
sama artinya mereka mencela Tuhan,” hibur ibunya. Walaupun berkali-kali dicegah
oleh ibunya, Kabelah tetap saja bersedih dan sering menyendiri. Ia tidak pernah
lagi bermain bersama teman-temannya karena malu terus dicemooh. Waktu terus
berjalan. Kabelah pun tumbuh dewasa. Suatu ketika, tiba-tiba terlintas di pikirannya
untuk pergi mencari Tuhan. Ia pun menyampaikan niat itu kepada kedua orang
tuanya.
“Ayah, Ibu! Aku
tidak tahan lagi hidup dengan keadaan seperti ini. Izinkanlah aku pergi mencari
Tuhan,” pinta Kabelah kepada kedua orang tuanya. “Sudahlah, Anakku! Kamu harus
rela menerima takdir ini. Kamu tidak mungkin menemukan Tuhan,” cegah ibunya.
Meskipun kedua orang tuanya berkali-kali mencegahnya, Kabelah tetap bersikeras
untuk pergi mencari Tuhan. Kedua orang tuanya pun tidak dapat lagi mencegah
keinginan Kabelah. Mereka hanya dapat mendoakannya dengan mengadakan selamatan
untuk keselamatan anak semata wayangnya selama di perjalanan. Akhirnya, Kabelah
pun berangkat dengan membawa bekal seperlunya. Setelah berhari-hari berjalan,
ia bertemu dengan seorang lelaki tua berpakaian serba putih sedang duduk
berzikir di atas batu di tengah hutan lebat. Kabelah pun memberanikan diri
bertanya kepada pertapa itu. “Maaf, Tuan! Bolehkah aku bertanya apakah Tuan
mengetahui keberadaan Tuhan?” tanya Kabelah. Tanpa diduganya, orang tua
menjawabnya dengan kata-kata kasar. “Hai, pemuda cacat! Aku saja yang berbadan
sempurna dan bertahun-tahun duduk berzikir di atas batu ini belum juga
menemukan Tuhan, apalagi kamu yang hanya berbadan sebelah itu,” hardik lelaki
tua. Betapa sedihnya hati Kabelah mendengar jawaban itu. Dengan hati sedih, ia
pun segera berlalu dari tempat itu untuk melanjutkan perjalanannya. Setelah
beberapa jauh berjalan, ia tiba-tiba dihadang oleh sekawanan perampok. “Hai,
pemuda jelek! Hendak ke mana kamu, hah? Serahkan semua barang bawaanmu itu
kepada kami!” seru kepala perampok itu. “Ampun, Tuan! Jangan sakiti aku.
Izinkalah aku lewat! Aku ingin pergi mencari Tuhan,” iba Kabelah. Salah seorang
anggota perampok merasa kasihan melihat Kabelah. Ia pun berusaha membujuk
pimpinannya itu agar membiarkan anak muda ini pergi. Melihat kejujuran Kabelah,
kepala perampok itu pun mengizinkannya untuk melanjutkan perjalanan. Bahkan ia
berpesan agar Kabelah singgah di tempat mereka sepulang dari bertemu dengan
Tuhan. “Terima kasih, Tuan! Aku berjanji akan kembali menemui kalian jika aku
sudah bertemu dengan Tuhan,” ucap Kabelah seraya berpamitan. Kabelah kembali
melanjutkan perjalanan. Ketika sudah mulai gelap, ia bermaksud untuk
beristirahat. Setelah berkeliling mencari tempat berlindung dari dinginnya
udara malam dan gangguan binatang buas, akhirnya ia menemukan sebuah gua.
Sebelum memasuki mulut gua itu, terlebih dahulu meminta izin kepada penjaganya.
Betapa terkejutnya ketika ia berada di sebuah ruangan di dalam gua itu. Ia merasa
seolah-olah tubuhnya tidak menyentuh lantai. Tak berapa lama kemudian, ia
kembali dikejutkan oleh suara yang menggema menegurnya.
“Hai, Anak Muda!
Kamu tidak boleh berada di dalam ruangan itu!” demikian suara itu. Baru saja
Kabelah akan meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba matanya menjadi mengantuk
sekali. Akhirnya ia tertidur di tempat. Betapa terkejutnya saat ia terbangun.
Tiba-tiba ia berada di dalam sebuah ruangan yang sangat indah. Tak seorang pun
di ruangan itu kecualinya dirinya. Meski demikian, ia mencoba untuk bertanya
tentang keberadaan Tuhan. “Siapa pun yang mendengar suaraku, mohon jawablah
pertanyaanku ini! Di manakah Tuhan berada dan di mana tubuhku yang sebelah?”
tanya Kabelah. Sejenak Kabelah diam, namun tak ada jawaban. Ia justru kembali tertidur.
Begitu terbangun, tiba-tiba ia melihat tubuhnya menjadi normal seperti manusia
pada umumnya. Ia pun segera berucap syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa. “Terima
kasih, Tuhan! Engkau telah mengambulkan permohonan hamba!” ucap Kabelah. Ketika
Kabelah akan meninggalkan gua itu, tiba-tiba terdengar suara berpesan
kepadanya. “Wahai, Kabelah! Jangan lupa singgah di tempat pertapa dan kawanan
perampok itu! Beritahukan kepada mereka agar mau merubah sifat dan perilaku
mereka!” seru suara itu. Setelah mendengar pesan itu, Kabelah pun pulang ke
rumahnya. Ketika singgah di tempat pertapa itu, ia mendapati orang tua itu
sedang duduk terpekur. Ia pun segera menyampaikan pesan itu kepadanya.
Akhirnya, lelaki tua itu insyaf. Ia tidak pernah lagi berkata kasar dan memandang
rendah orang lain. Demikian pula para perampok itu, mereka juga insyaf dan
tidak pernah lagi merampok. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, mereka
bercocok tanam. Setelah menyampaikan pesan tersebut, Kabelah kembali meneruskan
perjalanannya pulang. Setibanya di rumah, ia pun disambut gembira dengan penuh
bahagia oleh kedua orang tuanya. Mereka pun mengandakan syukuran atas
kepulangan anaknya dengan tubuh yang sudah sempurna. Sejak itu, nama Kabelah
diganti menjadi Muhammad Syukur. Ia pun dapat kembali bergaul bersama
teman-temannya tanpa ada perasaan dendam sedikit pun.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment