Saturday, 28 November 2015

Cerita Rakyat Lampung

“Sang Kabelah”
Cerita Rakyat Lampung



Ada sepasang suami-istri yang tinggal di sebuah kampung di daerah Lampung. Mereka sudah bertahun-tahun berumah tangga, namun belum dikaruniai seorang anak. Mereka sangat menginginkan seorang anak untuk mengisi kesepian mereka. Oleh karena itu, hampir setiap malam mereka berdoa dan mendatangi tabib yang sakti untuk memenuhi keinginan tersebut. Pada suatu malam, sepasang suami-istri tersebut berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa. “Oh Tuhan! Karuniakanlah kepada kami seorang anak, walaupun hanya berbadan sebelah!” pinta suami istri itu dengan penuh ketulusan. Berkat doa yang tulus tersebut, sang Istri pun mengandung. Sesuai dengan permintaan mereka, beberapa bulan kemudian, sang Istri pun melahirkan seorang bayi laki-laki berbadan setengah. Bayi mungil itu hanya memiliki satu telinga, satu mata, satu tangan, dan satu kaki. Oleh kedua orang tuanya, bayi itu diberi nama Kabelah. Meskipun berbadan sebelah, Kabelah senantiasa mendapat perhatian dan kasih sayang tulus dari kedua orang tuanya. Ia tumbuh menjadi anak sehat dan dapat bermain bersama teman-teman sebayanya. Namun, ia seringkali dicemooh oleh teman-temannya karena badannya hanya sebelah. Pada suatu hari, ketika sedang asyik bermain, Kabelah dicelah oleh teman-temannya. Dengan hati sedih, ia pun pulang ke rumahnya. “Hai Belah, Anakku! Kenapa kamu selalu tampak sedih setiap pulang dari bermain?” tanya ibunya dengan penuh perhatian. “Iya, Bu! Belah sedih karena setiap hari mereka mengejekku. Belah tidak mau lagi ikut bermain bersama mereka,” keluh Kabelah kepada ibunya. “Sabarlah, Anakku! Kita harus rela menerima keadaan ini dengan hati yang tulus. Semua ini sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Mahakuasa. Jika mereka mencelamu sama artinya mereka mencela Tuhan,” hibur ibunya. Walaupun berkali-kali dicegah oleh ibunya, Kabelah tetap saja bersedih dan sering menyendiri. Ia tidak pernah lagi bermain bersama teman-temannya karena malu terus dicemooh. Waktu terus berjalan. Kabelah pun tumbuh dewasa. Suatu ketika, tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk pergi mencari Tuhan. Ia pun menyampaikan niat itu kepada kedua orang tuanya.
“Ayah, Ibu! Aku tidak tahan lagi hidup dengan keadaan seperti ini. Izinkanlah aku pergi mencari Tuhan,” pinta Kabelah kepada kedua orang tuanya. “Sudahlah, Anakku! Kamu harus rela menerima takdir ini. Kamu tidak mungkin menemukan Tuhan,” cegah ibunya. Meskipun kedua orang tuanya berkali-kali mencegahnya, Kabelah tetap bersikeras untuk pergi mencari Tuhan. Kedua orang tuanya pun tidak dapat lagi mencegah keinginan Kabelah. Mereka hanya dapat mendoakannya dengan mengadakan selamatan untuk keselamatan anak semata wayangnya selama di perjalanan. Akhirnya, Kabelah pun berangkat dengan membawa bekal seperlunya. Setelah berhari-hari berjalan, ia bertemu dengan seorang lelaki tua berpakaian serba putih sedang duduk berzikir di atas batu di tengah hutan lebat. Kabelah pun memberanikan diri bertanya kepada pertapa itu. “Maaf, Tuan! Bolehkah aku bertanya apakah Tuan mengetahui keberadaan Tuhan?” tanya Kabelah. Tanpa diduganya, orang tua menjawabnya dengan kata-kata kasar. “Hai, pemuda cacat! Aku saja yang berbadan sempurna dan bertahun-tahun duduk berzikir di atas batu ini belum juga menemukan Tuhan, apalagi kamu yang hanya berbadan sebelah itu,” hardik lelaki tua. Betapa sedihnya hati Kabelah mendengar jawaban itu. Dengan hati sedih, ia pun segera berlalu dari tempat itu untuk melanjutkan perjalanannya. Setelah beberapa jauh berjalan, ia tiba-tiba dihadang oleh sekawanan perampok. “Hai, pemuda jelek! Hendak ke mana kamu, hah? Serahkan semua barang bawaanmu itu kepada kami!” seru kepala perampok itu. “Ampun, Tuan! Jangan sakiti aku. Izinkalah aku lewat! Aku ingin pergi mencari Tuhan,” iba Kabelah. Salah seorang anggota perampok merasa kasihan melihat Kabelah. Ia pun berusaha membujuk pimpinannya itu agar membiarkan anak muda ini pergi. Melihat kejujuran Kabelah, kepala perampok itu pun mengizinkannya untuk melanjutkan perjalanan. Bahkan ia berpesan agar Kabelah singgah di tempat mereka sepulang dari bertemu dengan Tuhan. “Terima kasih, Tuan! Aku berjanji akan kembali menemui kalian jika aku sudah bertemu dengan Tuhan,” ucap Kabelah seraya berpamitan. Kabelah kembali melanjutkan perjalanan. Ketika sudah mulai gelap, ia bermaksud untuk beristirahat. Setelah berkeliling mencari tempat berlindung dari dinginnya udara malam dan gangguan binatang buas, akhirnya ia menemukan sebuah gua. Sebelum memasuki mulut gua itu, terlebih dahulu meminta izin kepada penjaganya. Betapa terkejutnya ketika ia berada di sebuah ruangan di dalam gua itu. Ia merasa seolah-olah tubuhnya tidak menyentuh lantai. Tak berapa lama kemudian, ia kembali dikejutkan oleh suara yang menggema menegurnya.
“Hai, Anak Muda! Kamu tidak boleh berada di dalam ruangan itu!” demikian suara itu. Baru saja Kabelah akan meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba matanya menjadi mengantuk sekali. Akhirnya ia tertidur di tempat. Betapa terkejutnya saat ia terbangun. Tiba-tiba ia berada di dalam sebuah ruangan yang sangat indah. Tak seorang pun di ruangan itu kecualinya dirinya. Meski demikian, ia mencoba untuk bertanya tentang keberadaan Tuhan. “Siapa pun yang mendengar suaraku, mohon jawablah pertanyaanku ini! Di manakah Tuhan berada dan di mana tubuhku yang sebelah?” tanya Kabelah. Sejenak Kabelah diam, namun tak ada jawaban. Ia justru kembali tertidur. Begitu terbangun, tiba-tiba ia melihat tubuhnya menjadi normal seperti manusia pada umumnya. Ia pun segera berucap syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa. “Terima kasih, Tuhan! Engkau telah mengambulkan permohonan hamba!” ucap Kabelah. Ketika Kabelah akan meninggalkan gua itu, tiba-tiba terdengar suara berpesan kepadanya. “Wahai, Kabelah! Jangan lupa singgah di tempat pertapa dan kawanan perampok itu! Beritahukan kepada mereka agar mau merubah sifat dan perilaku mereka!” seru suara itu. Setelah mendengar pesan itu, Kabelah pun pulang ke rumahnya. Ketika singgah di tempat pertapa itu, ia mendapati orang tua itu sedang duduk terpekur. Ia pun segera menyampaikan pesan itu kepadanya. Akhirnya, lelaki tua itu insyaf. Ia tidak pernah lagi berkata kasar dan memandang rendah orang lain. Demikian pula para perampok itu, mereka juga insyaf dan tidak pernah lagi merampok. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, mereka bercocok tanam. Setelah menyampaikan pesan tersebut, Kabelah kembali meneruskan perjalanannya pulang. Setibanya di rumah, ia pun disambut gembira dengan penuh bahagia oleh kedua orang tuanya. Mereka pun mengandakan syukuran atas kepulangan anaknya dengan tubuh yang sudah sempurna. Sejak itu, nama Kabelah diganti menjadi Muhammad Syukur. Ia pun dapat kembali bergaul bersama teman-temannya tanpa ada perasaan dendam sedikit pun.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






No comments:

Post a Comment