“Asal Mula
Gunung Merapi”
Cerita Rakyat Yogyakarta
Pulau Jawa
adalah satu dari lima pulau terbesar di Indonesia. Konon, pulau ini pada masa
lampau letaknya tidak rata atau miring. Oleh karena itu, para dewa di Kahyangan
bermaksud untuk membuat pulau tersebut tidak miring. Dalam sebuah pertemuan,
mereka kemudian memutuskan untuk mendirikan sebuah gunung yang besar dan tinggi
di tengah-tengah Pulau Jawa sebagai penyeimbang. Maka disepakatilah untuk
memindahkan Gunung Jamurdipa yang berada di Laut Selatan ke sebuah daerah tanah
datar yang terletak di perbatasan Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, dan Kabupaten Magelang, Boyolali, serta Klaten Provinsi Jawa
Tengah. Sementara itu, di daerah di mana Gunung Jamurdipa akan ditempatkan
terdapat dua orang empu yang sedang membuat keris sakti. Mereka adalah Empu
Rama dan Empu Pamadi yang memiliki kesaktian yang tinggi. Oleh karena itu, para
dewa terlebih dahulu akan menasehati kedua empu tersebut agar segera pindah ke
tempat lain sehingga tidak tertindih oleh gunung yang akan ditempatkan di
daerah itu. Raja para dewa, Batara Guru pun segera mengutus Batara Narada dan
Dewa Penyarikan beserta sejumlah pengawal dari istana Kahyangan untuk membujuk
kedua empu tersebut. Setiba di tempat itu, utusan para dewa langsung menghampiri
kedua empu tersebut yang sedang sibuk menempa sebatang besi yang dicampur
dengan bermacam-macam logam. Betapa terkejutnya Batara Narada dan Dewa
Penyarikan saat menyaksikan cara Empu Rama dan Empu Pamadi membuat keris. Kedua
Empu tersebut menempa batangan besi membara tanpa menggunakan palu dan landasan
logam, tetapi dengan tangan dan paha mereka. Kepalan tangan mereka bagaikan
palu baja yang sangat keras. Setiap kali kepalan tangan mereka pukulkan pada
batangan besi membara itu terlihat percikan cahaya yang memancar. “Maaf, Empu!
Kami utusan para dewa ingin berbicara dengan Empu berdua,” sapa Dewa
Penyarikan. Kedua empu tersebut segera menghentikan pekerjaannya dan kemudian
mempersilakan kedua utusan para dewa itu untuk duduk. “Ada apa gerangan, Pukulun?
Ada yang dapat hamba bantu?” tanya Empu Rama. “Kedatangan kami kemari untuk
menyampaikan permintaan para dewa kepada Empu,” jawab Batara Narada.
“Apakah
permintaan itu?” tanya Empu Pamadi penasaran, ”Semoga permintaan itu dapat kami
penuhi.” Batara Narada pun menjelaskan permintaan para dewa kepada kedua empu
tersebut. Setelah mendengar penjelasan itu, keduanya hanya tertegun. Mereka
merasa permintaan para dewa itu sangatlah berat. “Maafkan hamba, Pukulun! Hamba
bukannya bermaksud untuk menolak permintaan para dewa. Tapi, perlu Pukulun
ketahui bahwa membuat keris sakti tidak boleh dilakukan sembarangan, termasuk
berpindah-pindah tempat,” jelas Empu Rama. “Tapi Empu, keadaan ini sudah sangat
mendesak. Jika Empu berdua tidak segera pindah dari sini Pulau Jawa ini semakin
lama akan bertambah miring,” kata Dewa Penyarikan. “Benar kata Dewa Penyarikan,
Empu. Kami pun bersedia mencarikan tempat yang lebih baik untuk Empu berdua,”
bujuk Empu Narada. Meskipun telah dijanjikan tempat yang lebih baik, kedua empu
tersebut tetap tidak mau pindah dari tempat itu. “Maaf, Pukulun! Kami belum
dapat memenuhi permintaan itu. Kalau kami berpindah tempat, sementara pekerjaan
ini belum selesai, maka keris yang sedang kami buat ini tidak sebagus yang
diharapkan. Lagi pula, masih banyak tanah datar yang lebih bagus untuk
menempatkan Gunung Jamurdipa itu,” kata Empu Pamadi. Melihat keteguhan hati
kedua empu tersebut, Empu Narada dan Dewa Penyaringan mulai kehilangan
kesabaran. Oleh karena mengemban amanat Batara Guru, mereka terpaksa mengancam
kedua empu tersebut agar segera pindah dari tempat itu. “Wahai, Empu Rama dan
Empu Pamadi! Jangan memaksa kami untuk mengusir kalian dari tempat ini,” ujar
Batara Narada. Kedua empu tersebut tidak takut dengan acaman itu karena mereka
merasa juga sedang mengemban tugas yang harus diselesaikan. Oleh karena kedua
belah pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing, akhirnya terjadilah
perselisihan di antara mereka. Kedua empu tersebut tetap tidak gentar meskipun
yang mereka hadapi adalah utusan para dewa. Dengan kesaktian yang dimiliki,
mereka siap bertarung demi mempertahankan tempat itu. Tak ayal, pertarungan
sengit pun tak terhindarkan. Meskipun dikeroyok oleh dua dewa beserta
balatentaranya, kedua empu tersebut berhasil memenangkan pertarungan itu.
Batara Narada dan Dewa Penyarikan yang kalah dalam pertarungan itu segera
terbang ke Kahyangan untuk melapor kepada Batara Guru. “Ampun, Batara Guru!
Kami gagal membujuk kedua empu itu. Mereka sangat sakti mandraguna,” lapor
Batara Narada.
Mendengar
laporan itu Batara Guru menjadi murka. “Dasar memang keras kepala kedua empu
itu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Batara Guru. “Dewa Bayu, segeralah
kamu tiup Gunung Jamurdipa itu!” seru Batara Guru. Dengan kesaktiannya, Dewa
Bayu segera meniup gunung itu. Tiupan Dewa Bayu yang bagaikan angin topan
berhasil menerbangkan Jamurdipa hingga melayang-layang di angkasa dan kemudian
jatuh tepat di perapian kedua empu tersebut. Kedua empu yang berada di tempat
itu pun ikut tertindih oleh Gunung Jamurdipa hingga tewas seketika. Menurut
cerita, roh kedua empu tersebut kemudian menjadi penunggu gunung itu. Sementara
itu, perapian tempat keduanya membuat keris sakti berubah menjadi kawah. Oleh
karena kawah itu pada mulanya adalah sebuah perapian, maka para dewa mengganti
nama gunung itu menjadi Gunung Merapi.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment