“Legenda
Gunung Arjuna”
Cerita
Rakyat Jawa Timur
Dalam cerita
pewayangan masyarakat Jawa, dikenal nama Pandawa, yang secara harfiah berarti
“anak Pandu”. Jadi, Pandawa adalah putra dari Pandu. Sementara itu, Pandu
adalah seorang raja yang bertahta di Kerajaan Hastinapura. Prabu Pandu memiliki
lima putra yang semuanya laki-laki. Mereka adalah Yudistira, Bima, Arjuna,
serta si kembar Nakula dan Sadewa. Mereka semua merupakan saudara seayah karena
lahir dari dua ibu yang berbeda. Yudistira, Bima, dan Arjuna lahir dari permaisuri
pertama Prabu Pandu yang bernama Kunti, sedangkan Nakula dan Sadewa lahir dari
permaisuri kedua yang bernama Madri. Dari kelima Pandawa tersebut, Arjuna
dikenal memiliki ilmu kesaktian yang tinggi dibandingkan dengan
saudara-saudaranya. Nama Arjuna diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti
yang bersinar atau yang bercahaya. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Indra,
sang Dewa Perang. Sebagai titisan Dewa Indra, Arjuna memiliki ilmu peperangan
yang tinggi. Ia sangat mahir memanah dan sakti mandraguna. Semua kesaktian
tersebut merupakan anugerah dari para Dewa karena ketekunannya bertapa. Namun,
karena belum puas dengan kesaktian yang telah dimilikinya, Arjuna masih sering
melakukan tapa untuk menambah kesaktiannya. Pada suatu hari, Arjuna pergi bertapa
ke sebuah lereng gunung yang terletak di sebelah barat Batu, Malang. Suasana di
lereng gunung itu sangat cocok untuk bertapa karena wilayah di sekitarnya
merupakan daerah pegunungan yang berudara sejuk dan jauh dari permukiman
penduduk. Itulah sebabnya, Arjuna memilih tempat itu agar dapat melaksanakan
tapa dengan tenang dan khusyuk. Setiba di lereng gunung itu, Arjuna langsung
duduk bersila di atas sebuah batu besar seraya memejamkan mata untuk memusatkan
segenap pikirannya. Sesaat kemudian, ia pun terlarut dalam semadinya. Siang dan
malam ia terus bersemadi dengan penuh khusyuk. Saking khusyuknya, tubuh putra
ketiga Prabu Pandu itu memancarkan sinar yang memiliki kekuatan luar biasa.
Beberapa saat kemudian, puncak gunung itu tiba-tiba terangkat ke atas. Semakin
lama, puncak gunung itu semakin menjulang tinggi hingga menyentuh langit dan
mengguncang Negeri Kahyangan. Peristiwa tersebut membuat para Dewa di Kahyangan
menjadi khawatir. Jika guncangan itu terus terjadi, maka Negeri Kahyangan akan
hancur. Oleh karena itu, mereka segera bertindak dengan mengutus Batara Narada
ke bumi untuk mencari tahu penyebab guncangan itu. Setelah terbang
berputar-putar di angkasa, ia pun melihat Arjuna sedang bertapa di lereng
gunung. Ia pun segera menghampiri dan membujuk Arjuna agar menghentikan
tapanya.
“Wahai Arjuna,
bangunlah!” ujar Batara Narada, ”Jika kamu tidak segera menghentikan tapamu,
gunung ini akan semakin tinggi dan para Dewa di Kahyangan akan celaka.” Arjuna
mendengar sabda Batara Narada itu, namun karena keangkuhannya ia enggan
menghentikan tapanya. Ia berpikir, jika ia menghentikan tapa itu tentu para
Dewa tidak akan memberinya banyak kesaktian. Sementara itu, Batara Narada yang
gagal membujuk Arjuna segera kembali ke Kahyangan untuk melapor kepada para
Dewa. Mengetahui hal itu, Batara Guru kemudian memerintahkan tujuh bidadari
tercantik di Kahyangan untuk menggonda pemuda tampan itu agar mengakhiri
tapanya. Sesampai di bumi, para bidadari segera merayu Arjuna dengan berbagai
cara. Ada yang merayu dengan suara lembut, ada yang menari-nari di depannya,
ada yang tertawa cekikikan, serta ada pula yang mencubit dan menggelitiknya.
Namun, semua usaha tersebut tetap saja sia-sia. Akhirnya, mereka kembali ke
Kahyangan dengan perasaan kecewa. Batara Guru yang mengetahui hal itu segera
mengutus para dedemit untuk menakut-nakuti Arjuna. Namun, usaha yang mereka
lakukan juga gagal. Berita tetang kegagalan itu segera mereka laporkan kepada
Batara Guru. “Ampun, Batara Guru! Kami telah berusaha dengan berbagai cara,
namun Arjuna justru semakin khusyuk dalam tapanya,” lapor salah satu dedemit.
Mendengar laporan itu, Batara Guru hanya terdiam. Pemimpin para Dewa itu mulai
merasa cemas dan putus asa melihat kelakuan Arjuna. Untungnya ia segera
teringat kepada Dewa Ismaya yang tak lain adalah Batara Semar, pengasuh Pandawa
yang tinggal di Bumi. Ia pun mengutus Batara Narada untuk menemui Semar di
Bumi. “Wahai, Semar! Aku datang untuk meminta bantuanmu,” kata Batara Narada.
“Apa yang bisa saya bantu, Dewa Narada?” tanya Semar. Batara Narada pun
menceritakan bahwa para Dewa di Kahyangan sedang dalam bahaya akibat perbuatan
Arjuna. Ia juga menceritakan bahwa sudah berbagai cara yang telah mereka
lakukan untuk menghentikan tapa Arjuna, namun semuanya sia-sia belaka. “Kamulah
satu-satunya harapan para Dewa di Kahyangan yang bisa membujuk Arjuna agar
segera mengakhiri tapanya,” ungkap Batara Narada. “Baiklah, kalau begitu. Saya
akan berusaha untuk menyadarkan Arjuna,” kata Semar menyanggupi. Setelah Batara
Narada kembali ke Kahyangan, Batara Semar meminta bantuan kepada Batara Togog
untuk melaksanakan tugas tersebut. Setibanya di lereng gunung tersebut,
keduanya langsung bersemadi untuk menambah kesaktian mereka. Setelah itu,
mereka mengubah tubuh mereka menjadi besar dan kemudian berdiri di sisi gunung
yang berbeda. Dengan kesektiannya, mereka memotong gunung itu tepat di
tengah-tengahnya dan kemudian melemparkan bagian atas gunung itu ke arah
tenggara. Begitu bagian atas gunung itu terjatuh ke tanah, terdengarlah suara
dentuman yang sangat keras disertai dengan guncangan yang sangat dahsyat.
“Hai, suara apa
itu?” gumam Arjuna yang terbangun dari tapanya. Baru saja Arjuna selesai
berguman, tiba-tiba Batara Semar dan Batara Togo datang menghampirinya. “Kami
telah memotong dan melemparkan puncak gunung ini, Raden,” kata Batara Semar.
“Kenapa, Guru? Gara-gara suara itu aku terbangun dari tapaku. Tentu para Dewa
tidak akan menambah kesaktianku,” kata Arjuna. “Maaf, Den! Justru tapamu itu
telah membuat para Dewa menjadi resah. Lagi pula, untuk apalagi kamu meminta
banyak kesaktian? Bukankah sudah cukup dengan kesaktian yang telah kamu miliki
saat ini?” ujar Batara Semar. “Benar kata Batara Semar, Den! Raden adalah
seorang kesatria yang seharusnya memiliki sifat rendah hati. Apakah Raden tidak
menyadari jika tapa Raden ini bisa mencelakakan banyak orang dan para Dewa?”
imbuh Batara Togog. Mendengar nasehat tersebut, Arjuna menjadi sadar dan
mengakui semua kesalahannya. Ia juga tidak lupa berterima kasih kepada Batara
Semar dan Batara Togog karena telah menyadarkannya. Setelah itu, mereka pun
segera meninggalkan gunung tersebut. Sejak itulah, gunung tempat Arjuna bertapa
dinamakan Gunung Arjuna. Sementara itu, potongan gunung yang dilemparkan oleh
Batara Semar dan Batara Togog dinamakan Gunung Wurung. Kata wurung berarti
batal atau gagal. Artinya, tapa Arjuna menjadi batal atau gagal karena
mendengar suara dentuman dari potongan gunung yang terjatuh.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment