“Legenda
Gunung Pinang”
Cerita
Rakyat Banten
Di
sebuah perkampungan nelayan
di daerah pesisir
teluk Banten, hiduplah seorang
janda tua dengan
anak lakilakinya yang bernama
Dampu Awang. Sejak kematian sang Ayah
beberapa tahun silam,
Dampu Awang harus bekerja
keras membantu ibunya
mencari kerang di
pantai. Sudah bertahun-tahun mereka
melakoni pekerjaan itu,
namun hidup mereka tetap serba kekurangan.Dompu Awang yang telah berusia
remaja itu sudah jenuh dan bosan dengan kea daan tersebut.Ia berpikir bahwa
jika ia tetap tinggal di kampungnya, nasib keluarganya tidak akan berubah.
Dengan begitu, timbullah keinginannya untuk merantau ke Negeri Malaka.Pada
suatu malam, Dampu Awang menyampaikan niat itu kepada ibunya.Tanpa diduganya,
perempuan yang telah melahirkannya
itu tidak merestuinya.
Walaupun ia telah
memberikan berbagai alasan
dan rayuan, sang Ibu tetap tidak merestuinya pergi. “Ibu tidak akan
mengizinkanmu pergi, Anakku,” cegah ibunya. “Tapi, Bu!” sergah Dampu
Awang.“Sudahlah, Dampu! Ibu
mengerti perasaanmu bahwa
kamu sudah tidak
tahan lagi hidup
menderita seperti ini.Tapi, jika kamu pergi siapa lagi yang akan
menemani Ibu di sini, Anakku!” ujar ibunya.“Bu! Dampu berjanji, kalau sudah
berhasil, Dampu akan segera kembali
menemani dan membahagiakan Ibu. Kita akan membangun rumah mewah seperti
rumah para bangsawan di kampung ini,” bujuk Dampu Awang.“Sudahlah, Dampu!
Berhentilah berhayal seperti
itu! Ibu sudah
lelah mendengar semua
bujuk rayumu.
Ibu
akan merasa bahagia
jika kamu tetap
berada di samping
Ibu,” ujar ibu
Dampu seraya merebahkan tubuhnya
di atas balai-balai bambu.Dampu
Awang tidak dapat
lagi berkata-kata.Ia mengerti
perasaan ibunya, meskipun
di hatinya tersimpan rasa
kecewa. Dengan langkah
pelan, ia keluar
dari gubuknya lalu
duduk bersandar pada pohon nyiur sambil menikmati semilir
angin malam pantai teluk Banten. Pandangangnya tajam seolah olah menembus
kegelapan malam. Pikirannya terbang nun jauh di sana meninggalkan kepenatan
hidup dan kekecewaan atas sikap ibunya. Di wajahnya terpancar secercah sinar
harapan yang akan menerangi hidupnya. “Ya,
Tuhan!Tolong bukakanlah pintu
hati Ibu hamba
agar ia mengerti
bahwa di Negeri
Malaka sana banyak sekali
pekerjaan yang akan membuat hamba menjadi kaya raya,” ucap Dampu Awang dengan
penuh harapan.Tanpa disadarinya, sang Ibu sedang memerhatikannya dari balik
jendela. Perempuan setengah baya itu tak
kuasa membendung air
matanya.Ia merasa bersalah
karena telah mengecewakan
anak semata wayangnya. Malam
semakin larut.Janda tua itu kembali merebahkan tubuhnya hingga tertidur
lelap.Tak berapa lama kemudian, Dampu Awang masuk ke dalam gubuk, lalu tidur di
samping ibunya.
Keesokan paginya, perempuan tua itu
menghampiri Dampu Awang yang baru saja terbangun. “Dampu, Anakku!” sapa ibunya
dengan lembut. “Ada apa, Bu?” tanya Dampu sambil menatap wajah ibunya.Dampu
melihat ibunya tersenyum.Ada kehangatan cinta yang terpancar dari tatapan mata
ibunya. “Dampu, Anakku! Ibu
tidak bermaksud melarangmu
merantau. Tapi, ketahuilah!
Umur Ibu sudah udzur.Ibu khawatir
kelak kita takkan
bertemu lagi.Ibu tidak
memiliki siapa-siapa lagi
dunia ini selain dirimu, Anakku!” ujar ibunya dengah
penuh rasa haru. “Tenanglah, Bu! Dampu
tidak akan lama
di perantauan. Setelah
berhasil, Dampu akan
segera pulang menemani Ibu di
sini,” hibur Dampu Awang.Ibunya kembali tersenyum lembut. “Baiklah, Anakku!
Jika itu sudah menjadi tekadmu, Ibu mengizinkan kamu pergi. Tapi ingat! Kamu
harus berjanji cepat kembali jika sudah berhasil,” ujar ibunya. Betapa bahagia
hati Dampu Awang mendapat restu
dari ibunya.Tubuhnya terasa
mendapat kekuatan yang luar
biasa.Darah di tubuhnya yang semula serasa membeku kembali mengalir.Ia tidak
mampu lagi menyembunyikan perasaan bahagianya.
Air matanya menetes membasahi kedua
pipinya.“Terima kasih, Bu!Dampu berjanji akan segera kembali untuk
membahagiakan Ibu,” ucap Dampu Awang seraya memeluk ibunya. “Iya, Anakku!
Sekarang persiapkanlah barang-barang yang akan kamu bawa pergi. Besok pagi ada
kapal yang akan berangkat ke Negeri Malaka. Pergilah temui Teuku Abu Matsyah
pemilik kapal itu! Barangkali saja dia bersedia membawamu pergi berlayar
bersamanya,” ujar ibunya. Setelah menyiapkan bekalnya, Dampu Awang segera
menemui Teuku Abu Matsyah di pelabuhan.“Tuan!Bolehkah saya
ikut berlayar bersama Tuan?Tapi
maaf Tuan, saya
tidak mempunyai uang untuk membayar ongkos kapal.Kalau Tuan
berkenan, saya akan membayarnya dengan tenaga,” pinta Dampu. Melihat ketulusan
hati Dampu, Teuku
Abu Matsyah pun
memenuhi
permintaannya.Dengan perasaan
gembira, Dampu segera
kembali ke rumahnya.Alangkah bahagianya
hati ibunya mendengar
berita gembira itu. Keesokan
harinya, sebelum Dampu
Awang berangkat ke
Pelabuhan, ibunya menitipkan
kepadanya seekor burung perkutut bernama si Ketut.“Anakku! Bawalah
si Ketut pergi
bersamamu! Burung ini
peliharaan ayahmu dulu
ketika masih hidup.Burung ini
sangat mahir sebagai pengantar pesan.Kamu harus selalu mengirimi Ibu kabar.Jaga
dan rawatlah dia dengan baik seperti kamu menjaga Ibu, ya Nak!” ujar ibunya.
“Baik, Bu! Dampu berjanji akan mengirim surat kepada Ibu setiap awal bulan
purnama,” jawab Dampu.
Setelah
itu, berangkatlah Dampu
bersama ibunya ke
pelabuhan.Setibanya di pelabuhan,
Teuku Abu Matsyah sudah
menunggunya.Usai menyalami ibunya,
Dampu Awang segera
naik ke atas
kapal. Tak berapa lama kemudian,
ia pun terlihat berdiri di anjungan kapal sambil melambaikan tangan.“Ibu...
Dampu berangkat! Jaga diri Ibu baik-baik!” teriak Dampu dari anjungan
kapal.“Iya, Dampu! Hati-hati di jalan! Jangan lupa cepat kembali, ya Nak!”
jawab janda tua itu.Dengan diiringi isap
tangis ibunya, Dampu
Awang meninggalkan pelabuhan
Banten menuju Negeri Malaka. Untuk mengganti ongkos kapal,
ia ditugaskan oleh Teuku Abu Matsyah membersihkan seluruh galangan kapal. Dampu
Awang sangat rajin dan tekun bekerja. Tak heran jika ia mendapat perhatian dari
saudagar kaya itu.“Hai, Dampu! Apa yang akan kamu kerjakan di Nengeri Malaka?”
tanya Teuku Abu Matsyah.“Belum tahu, Tuan!Saya baru akan mencari pekerjaan
setibanya di sana nanti,” jawab Dampu Awang. `Kalau begitu, maukah kamu ikut
bekerja denganku?” bujuk saudagar kaya itu.Tanpa berpikir panjang, Dampu Awang
menerima tawaran tersebut dengan senang hati.
Sejak Dampau ikut dengannya, usaha Teuku
Abu Matsyah semakin maju dan berkembang, sehingga dalam waktu tidak berapa lama
ia mampu membeli
sebuah kapal lagi.
Karena itu, saudagar
itu semakin sayang
kepada Dampu hingga bermaksud menikahkan dia dengan putrinya yang
bernama Siti Nurhasanah.Pada mulanya, Dampu Awang menolak tawaran itu, karena
merasa dirinya sebagai anak buah tak pantas menikah dengan putri juragannya.“Maaf Juragan!
Saya tidak bermaksud
menolak niat baik
Juragan.Tapi, apakah saya
pantas menjadi pendamping hidup
putri Juragan?” kata Dampu Awang dengan merendah.Teuku Abu Matsyah hanya
tersenyum sambil mengelus-elus jenggotnya yang mulai memutih. “Jangan khawatir,
Dampu!Setelah kalian menikah
nanti, aku akan
mengangkatmu menjadi nahkoda kapal dan mewariskan semua harta
kekayaanku kepada kalian,” ujar Teuku Abu Matsyah.Akhirnya, Dampu
Awang dan Siti
Nurhasanah menikah dan
hidup bahagia. Beberapa
bulan setelah mereka menikah,
ayah Siti Nurhasanah meninggal dunia. Sejak itu, Dampu dan istrinya mewarisi
seluruh harta kekayaan Teuku Abu Matsyah.Ia pun terkenal sebagai saudagar kaya
di Negeri Malaka. Ia hidup dengan penuh kemewahan dan bergelimang harta,
sehingga melupakan ibunya yang berada di kampung halaman. Setelah
lima tahun di
perantauan, tiba-tiba timbul
kerinduannya ingin kembali
ke tanah kelahirannya di Banten.
Pada
suatu hari, berangkatlah
Dampu Awang bersama
istri dan para
pengawalnya ke Banten
dengan menggunakan kapal besar
dan megah.Setelah berhari-hari
mengarungi lautan luas,
tibalah mereka di pelabuhan
Banten.Berita tentang kedatangan
kapal besar dan
megah itu tersebar
ke seluruh pelosok negeri Banten.Setiap penduduk ramai
membicarakan kemegahan kapal itu.Mereka bertanya-tanya siapa gerangan pemiliknya.Karena penasaran,
para penduduk Banten
berbondong-bondong menuju ke pelabahun.Di antara
kerumunan orang banyak,
tampak seorang perempuan
tua dengan wajah sumringah dan pakaian lusuh baru saja
tiba.Dia adalah ibu kandung Dampu Awang. “Wah, jangan-jangan pemilik kapal itu
adalah putraku,” ucap ibu Dampu Awang.Ibu Dampu Awang berusaha menyusup di
antara kerumunan orang banyak untuk melihat kapal itu lebih dekat. Ketika
mendekat, ia melihat seorang pemuda gagah berdiri di anjungan kapal bersama
seorang putri cantik. Mulanya, perempuan tua itu ragu kalau pemuda itu adalah
putranya, Dampu Awang.
Tapi, setelah melihat ada seekor burung
perkutut bertengger di pundak pemuda itu, barulah ia merasa yakin bahwa pemuda
itu anaknya yang selama ini dirindukannya. “Oh Dampu Awang, Anakku!Akhirnya,
kamu pulang juga,” ucapnya dengan perasaan bahagia.Perempuan tua itu kemudian
berteriak memanggil anaknya.“Dampuuu...!
Dampu Awang, Anakku!
Ini Ibu, Nak!”
teriaknya sambil melambai-lambaikan tangan
di antara kerumunan orang. Mendengar
teriakan itu, Dampu
Awang segera mencari
sumber suara teriakan
itu. Namun, ketika melihat orang yang berteriak itu
adalah seorang nenek yang berwajah lusuh dan berpakaian compangcamping, ia
segera mengalihkan pandanganya.
Ia malu mengakui
nenek tua itu
sebagai ibunya di hadapan istrinya. Melihat sikap suaminya,
Siti Nurhasanah menjadi terheran-heran."Hai, Kanda!
Kenapa Kanda memalingkan
wajah?Bukankah nenek itu
mengaku sebagai ibu
Kanda? Benarkah dia Ibu Kanda?” tanya Siti Nurhasanah. “Tidak, Dinda!
Perempuan tua itu bukan ibu Kanda!” tampik Dampu Awang.“Ibu Kanda kaya raya dan
cantik, tidak seperti nenek yang miskin dan keriput itu!” “Tapi Kanda, nenek
itu terus memanggil-manggil nama Kanda,” kata istri Dampu. “Sudahlah, Dinda!
Tidak usah hiraukan nenek keriput itu.Dia hanya mengada-ada,” ujar Dampu Awang.
Usai berkata begitu kepada istrinya,
Dampu Awang membentak nenek itu dan mengusirnya.“Hai, perempuan
tua! Pergilah dari
sini! Aku tidak
pernah mempunyai Ibu
seperti dirimu,” bentak Dampu Awang. Perempuan malang
itu bagai disambar petir
di siang bolong
mendengar bentakan itu.
Hatinya bagai teriris-iris mendapat
perlakuan tidak senonoh
dari darah dagingnya
sendiri.Ia tertunduk lesu
seraya meneteskan air mata.
Harapan, kebahagiaan, dan
penantiannya selama bertahun-tahun telah
lenyap begitu saja.Ia duduk bersimpuh memohon doa kepada Tuhan Yang
Mahakuasa dengan penuh khusyuk. “Oh,
Tuhan! Jikalau memang
benar pemuda itu
bukan putra hamba,
biarkanlah ia tetap
pergi. Tapi, kalau dia
putra hamba, Dampu
Awang, berilah ia
pelajaran karena telah
menyakiti perasaan ibunya sendiri,” pinta ibu Dampu.Ketika Dampu
Awang bersama rombongannya
akan meninggalkan pelabuhan
Banten, tiba-tiba langit menjadi gelap
dan angin tertiup
kencang. Petir menyambar-nyambar kemudian
diiringi hujan yang sangat deras.Dalam sekejap, dunia serasa
kiamat.Langit memuntahkan segala yang dikandungnya.Bumi bergoncang dengan
dahsyatnya.Air laut bergelombang
setinggi gunung.Seluruh penduduk
berlarian meninggalkan pelabuhan untuk menyelamatkan diri.
Sementara itu, Dampu Awang beserta anak
buahnya terombang-ambing dilautan. Kapalnya dipermainmainkan oleh gelombang
besar.Seluruh penumpang kapal menjadi
panik dan ketakutan.Dalam suasana panik seperti itu, tiba-tiba terjadi
keajaiban.Si Ketut tiba-tiba dapat berbicara seperti manusia. “Hai, Dampu
Awang! Akuilah... akuilah... akuilah ibumu!” seru si Ketut.Dampu Awang tidak
menghiraukan seruan si Ketut.Ia tetap tidak mau mengakui ibunya.“Tidak! Dia bukan
ibuku! Dia bukan ibuku!” sergah Dampu Awang.“Akuilah.... akuilah... akuilah
ibumu, Dampu Awang!” si Ketut kembali berseru. Berulang kali si Ketut berseru
kepadanya, Dampu Awang tetap saja menyangkal.Tanpa diduganya, tibatiba angin
puyuh datang dengan meliuk-liuk di atas laut menuju ke arah kapalnya.Tak ayal
lagi, kapalnya pun terseret masuk ke dalam pusaran angin puyuh, lalu terbang
berputar-putar di udara. Dalam keadaan panik, Dampu Awang berteriak
kencang.“lbuuu...! Ibuuu... tolong aku! Ini anakmu, Dampu Awang!” Namun apa
hendak dibuat. Nasi
telah menjadi bubur.Tuhan
telah murkah kepadanya.Kapalnya terus berputar-putar di udara dipermainkan
angin puyuh.Lama-kelamaan, kapal dan seluruh isinya terlempar jauh ke arah
selatan dan jatuh tertelengkup. Konon, perahu itu kemudian menjelma menjadi
sebuah gunung yang kini dikenal dengan nama Gunung Pinang.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment