“Asal Mula Pulau Nusa”
Cerita Dari Kalimantan Tengah
Tersebutlah kisah seorang laki-laki
bernama Nusa. Ia tinggal disebuah kampung dipinggir sungai Kahayan. Hampir 10
tahun Nusa kawin dengan istrinya, tetapi belum mempunyai seorang anak. Ketika
itu, kemarau panjang melanda seluruh daerah. Dimana-mana timbul bencana
kelaparan. Semua tanaman penduduk tidak dapat hidup dengan baik. Tanaman padi
layu, buah pisang menjadi kerdil. Sungai-sungai kecil semua kering. Umbi hutan,
pucuk dedaunan dan umbut rotan menjadi makanan utama. Timbul pikiran Nusa dan
istrinya untuk mencoba melakukan perjalanan ke daerah udik (pedalaman).
Kalaupun tanaman singkong penduduk tidak ada, setidak-tidaknya tetumbuhan hutan
masih bisa membantu. Berangkatlah Nusa dan istrinya beserta adik iparnya
(laki-laki). Tujuannya adalah mudik sungai Rungan, anak sungai Kahayan. Setelah
3 hari perjalanan, sampailah mereka di persimpangan sungai. Perahu mereka tidak
dapat melaju seperti biasa, sebatang pohon besar tumbang menghalangi sungai
itu. Satu-satunya cara adalah pohon itu harus dipotong.
Nusa dan adik iparnya mulai bekerja
secara bergantian. Menjelang sore, pekerjaan mereka hampir selesai. Sementara
pekerjaan itu diselesaikan adik iparnya, Nusa mencoba berjalan ke darat mencari
sesuatu yang dapat dimakan.
Tidak
lama kemudian, Nusa datang membawa sebuah telur. Besarnya sekitar 2 kali telur
angsa. Nusa menyarankan agar telur itu direbus untuk dimakan. Istri dan adik
iparnya menolak karena mereka tidak tahu telur binatang apakah itu. Telur itu
akhirnya direbus oleh Nusa, hampir tengah malam telur itu baru matang, telur
itu dimakannya sendiri sampai habis. Istri dan adik iparnya dari tadi sudah
tidur nyenyak.
Tengah malam, Nusa terbangun. Tubuhnya
dipenuhi bintil-bintil merah. Bintil-bintil itu terasa sangat gatal. Istri dan
adik iparnya dibangunkan untuk membantu menggarukkan tubuhnya yang gatal.
Ternyata bukannya semakin reda, bintil-bintil dan rasa gatal justru semakin
menghebat. Mereka yakin hal ini terjadi akibat telur yang dimakan Nusa.
Akhirnya, Nusa meyuruh adik iparnya mencari bantuan. Dengan perasaan sedih
bercampur takut, istri Nusa tetap mendampingi suaminya. Menjelang tengah hari,
keadaannya jadi mengerikan. Seluruh tubuhnya dibaluti sisik sebesar uang logam.
Panjang badannya sudah mencapai 5 depa. “Istriku…,” katanya perlahan-lahan.
“Engkau lihat, tubuhku ini bukan tubuh manusia lagi. Aku yakin, telur yang
kumakan itu pasti telur naga. Aku pasti menjadi ular naga. Aku berharap kalian
tidak usah khawatir. Ini semua sudah kehendak Tuhan.
Istrinya
diam tidak menjawab. Ia khawatir, jangan-jangan Nusa sudah benar-benar berubah
menjadi naga. Sekarang belum apa-apa sebab Nusa masih bisa berkata-kata. Sementara
itu, adik iparnya yang telah tiba di kampung yang dituju segera meminta
bantuan. Kepala kampung segera mengumpulkan semua laki-laki dewasa yang
bersedia membantu. Mereka yang berjumlah 20 orang segera berangkat dengan
perahu. Ketika hampir senja, mereka sampai di tempat Nusa berbaring tidak
berdaya. Mereka belum pernah melihat kejadian seperti itu. Hampir semalaman
penuh mereka semua duduk mengelilingi Nusa sambil memperhatikan
perkembangannya. Pada pagi hari, panjang tubuh Nusa hampir mencapai 25 depa.
Besar tubuhnya kurang lebih 3 kali pohon kelapa. Bentuknya sudah hampir
menyerupai ular. Sisiknya rata-rata sebesar uang ringgit. Tengah hari, Nusa
meminta mereka menggulingkan tubuhnya ke sungai. Ia tidak tahan lagi berjemur
di panas matahari. Beramai-ramai mereka mendorong tubuhnya, tampaknya tidak
terlalu sulit sebab di atas pasir sisiknya agak licin. Waktu tubuh Nusa jatuh
ke sungai, hampir saja sungai di situ mengering.
Nusa memerintahkan orang-orang itu
mencari ikan untuk dimakannya, mereka menyebar naik ke darat. Mereka berusaha
mencari danau atau telaga kecil yang kering dan masih banyak ikannya. Semua ikan
yang diberikan dimakannya dengan lahap. Menjelang senja, Nusa berbicara dengan
istrinya. Dikatakannya bahwa malam itu akan turun hujan lebat diiringi guntur
dan petir. Air sungai Rungan akan meluap. Ia mengingatkan agar mereka berusaha
menghindar. Dikatakannya bahwa saat itu ia akan meninggalkan tempat itu. Ia
akan keluar menuju sungai Kahayan terus ke muara. Ia akan tinggal beberapa
waktu di sana untuk kemudian meneruskan perjalanan ke lautan. Di sanalah ia
akan berdiam.
Hingga
larut malam, mereka bersiap-siap menunggu segala kemungkinan. Tidak lama
kemudian, terdengar suara guntur sayup-sayup di kejauhan. Kilat memancar
sambung-menyambung.
Langit menjadi gelap gulita. Semua yang
ada di situ merasa waswas dan diselimuti perasan takut. Akhirnya, hujan seperti
yang diramalkan Nusa pun benar-benar terjadi. Air sungai Rungan meluap setinggi
pohon. Tubuh Nusa pun terbawa arus itu, mereka yang melihat hanya dapat
terpaku. Siang hari air mulai surut, mereka yang ada di situ pulang ke kampung.
Istri Nusa dan adiknya juga mengikuti rombongan itu. Sementara itu, Nusa yang
telah sampai di Sungai Kahayan, terus berenang menuju ke muara. Ia menetap
sementara di sebuah teluk yang agak dalam. Kehadiran Nusa di teluk itu membuat
semua ikan di sana menjadi gelisah. Ikan yang besar maupun yang kecil
melewatinya, habis dimakan. Kadang-kadang ikan-ikan itu memperbincangkan
kelakuan Nusa. Jika keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, maka bukan mustahil
mereka semua akan musnah. Pada suatu hari, atas prakarsa ikan Jelawat, semua ikan
di tempat itu berkumpul. Mereka mencari akal untuk mengakhiri kekerasan itu.
Ikan Saluang menemukan akal. Ia akan berpura-pura menceritakan bahwa di tengah
lautan ia bertemu dengan naga besar yang ingin mengadu kekuatan dengan Nusa.
Ikan Saluang meminta agar persoalan itu diserahkan kepadanya. Ia hanya minta
bantuan bila ia memerlukannya. Semua ikan yang ada di situ menyetujui usul itu.
Selang beberapa hari kemudian, ikan Saluang pura-pura termenung memikirkan
sesuatu. Naga Nusa yang melihat keadaan itu menegurnya, “Hai Saluang! Mengapa
seakan-akan Engkau bersedih hati?” “Betul Tuanku naga! Ada sesuatu yang membuat
hamba sedih,” katanya. “Apa itu? Katakanlah!” Tanya Nusa lagi. “Begini Tuanku,”
sahut ikan Saluang. Hamba, baru saja kemarin datang dari lautan sana. Ketika
itu hamba terkejut mendengar suara panggilan. Ternyata hamba melihat seekor
naga seperti Tuanku.” “Apa…? Naga
seperti aku? Apa dia lebih besar daripada aku?” tanya Nusa dengan nada sombong.
“Kalau lebih besar, kira-kira lebih besar sedikit saja, Tuanku!” ujar Saluang.
“Katanya ia telah mendengar berita tentang Tuanku. Rupanya beliau tersinggung
sebab ia mengira tidak ada naga lain selain dirinya. Rupanya ia ingin memberi
perhitungan dengan Tuanku.” Naga Nusa terpancing oleh cerita ikan Saluang
menjadi marah. Ia ingin menantang naga itu. Ia minta kepada ikan Saluang untuk
memberitahukannya bila naga itu sudah tiba.
Sejak mendengar berita itu naga Nusa
tidak dapat tidur . Akhirnya ia kelelahan juga. Saat naga itu terkantuk-kantuk,
perlahan-lahan ikan Saluang lari kearah ekor naga itu. Pikirnya, itulah saat yang paling baik. Tiba-tiba,
ikan Saluang berteriak dari sebelah ekor naga. “Tuanku! Musuh datang!” Mendengar
teriakan itu, secepat kilat naga Nusa memutar kepalanya dan langsung menyerang.
Suara air yang mendesau dari ekornya dikira musuh. Tanpa ampun, ekornya yang
terkena sambar itu seketika putus. Terdengar jeritan Nusa kesakitan, tempat itu
bergetar seolah-olah gempa. Pada saat itulah ikan Saluang meminta bantuan
ikan-ikan lainnya untuk menggigit luka Nusa. Lama kelamaan tenaga Nusa makin
lemah akibat kehabisan darah. Akhirnya, ia pun terkulai mati. Dua tiga bulan
kemudian, seluruh ikan yang ada di sungai itu berdatangan memakan daging naga
Nusa yang membusuk. Lama kelaman kerangkanya tertimbun lumpur dan ditumbuhi
pepohonan. Akhirnya, tumpukan pohon-pohon itu membentuk sebuah pulau. Pulau
yang terletak di sungai Kahayan, Kalimantan Tengah, Itulah sekarang kita kenal
sebagai Pulau Nusa.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment