Monday, 30 November 2015

Cerita Dari Kalimantan Tengah

“Asal Mula Pulau Nusa”
Cerita Dari Kalimantan Tengah


Tersebutlah kisah seorang laki-laki bernama Nusa. Ia tinggal disebuah kampung dipinggir sungai Kahayan. Hampir 10 tahun Nusa kawin dengan istrinya, tetapi belum mempunyai seorang anak. Ketika itu, kemarau panjang melanda seluruh daerah. Dimana-mana timbul bencana kelaparan. Semua tanaman penduduk tidak dapat hidup dengan baik. Tanaman padi layu, buah pisang menjadi kerdil. Sungai-sungai kecil semua kering. Umbi hutan, pucuk dedaunan dan umbut rotan menjadi makanan utama. Timbul pikiran Nusa dan istrinya untuk mencoba melakukan perjalanan ke daerah udik (pedalaman). Kalaupun tanaman singkong penduduk tidak ada, setidak-tidaknya tetumbuhan hutan masih bisa membantu. Berangkatlah Nusa dan istrinya beserta adik iparnya (laki-laki). Tujuannya adalah mudik sungai Rungan, anak sungai Kahayan. Setelah 3 hari perjalanan, sampailah mereka di persimpangan sungai. Perahu mereka tidak dapat melaju seperti biasa, sebatang pohon besar tumbang menghalangi sungai itu. Satu-satunya cara adalah pohon itu harus dipotong.
Nusa dan adik iparnya mulai bekerja secara bergantian. Menjelang sore, pekerjaan mereka hampir selesai. Sementara pekerjaan itu diselesaikan adik iparnya, Nusa mencoba berjalan ke darat mencari sesuatu yang dapat dimakan.
Tidak lama kemudian, Nusa datang membawa sebuah telur. Besarnya sekitar 2 kali telur angsa. Nusa menyarankan agar telur itu direbus untuk dimakan. Istri dan adik iparnya menolak karena mereka tidak tahu telur binatang apakah itu. Telur itu akhirnya direbus oleh Nusa, hampir tengah malam telur itu baru matang, telur itu dimakannya sendiri sampai habis. Istri dan adik iparnya dari tadi sudah tidur nyenyak.
Tengah malam, Nusa terbangun. Tubuhnya dipenuhi bintil-bintil merah. Bintil-bintil itu terasa sangat gatal. Istri dan adik iparnya dibangunkan untuk membantu menggarukkan tubuhnya yang gatal. Ternyata bukannya semakin reda, bintil-bintil dan rasa gatal justru semakin menghebat. Mereka yakin hal ini terjadi akibat telur yang dimakan Nusa. Akhirnya, Nusa meyuruh adik iparnya mencari bantuan. Dengan perasaan sedih bercampur takut, istri Nusa tetap mendampingi suaminya. Menjelang tengah hari, keadaannya jadi mengerikan. Seluruh tubuhnya dibaluti sisik sebesar uang logam. Panjang badannya sudah mencapai 5 depa. “Istriku…,” katanya perlahan-lahan. “Engkau lihat, tubuhku ini bukan tubuh manusia lagi. Aku yakin, telur yang kumakan itu pasti telur naga. Aku pasti menjadi ular naga. Aku berharap kalian tidak usah khawatir. Ini semua sudah kehendak Tuhan.
Istrinya diam tidak menjawab. Ia khawatir, jangan-jangan Nusa sudah benar-benar berubah menjadi naga. Sekarang belum apa-apa sebab Nusa masih bisa berkata-kata. Sementara itu, adik iparnya yang telah tiba di kampung yang dituju segera meminta bantuan. Kepala kampung segera mengumpulkan semua laki-laki dewasa yang bersedia membantu. Mereka yang berjumlah 20 orang segera berangkat dengan perahu. Ketika hampir senja, mereka sampai di tempat Nusa berbaring tidak berdaya. Mereka belum pernah melihat kejadian seperti itu. Hampir semalaman penuh mereka semua duduk mengelilingi Nusa sambil memperhatikan perkembangannya. Pada pagi hari, panjang tubuh Nusa hampir mencapai 25 depa. Besar tubuhnya kurang lebih 3 kali pohon kelapa. Bentuknya sudah hampir menyerupai ular. Sisiknya rata-rata sebesar uang ringgit. Tengah hari, Nusa meminta mereka menggulingkan tubuhnya ke sungai. Ia tidak tahan lagi berjemur di panas matahari. Beramai-ramai mereka mendorong tubuhnya, tampaknya tidak terlalu sulit sebab di atas pasir sisiknya agak licin. Waktu tubuh Nusa jatuh ke sungai, hampir saja sungai di situ mengering.
Nusa memerintahkan orang-orang itu mencari ikan untuk dimakannya, mereka menyebar naik ke darat. Mereka berusaha mencari danau atau telaga kecil yang kering dan masih banyak ikannya. Semua ikan yang diberikan dimakannya dengan lahap. Menjelang senja, Nusa berbicara dengan istrinya. Dikatakannya bahwa malam itu akan turun hujan lebat diiringi guntur dan petir. Air sungai Rungan akan meluap. Ia mengingatkan agar mereka berusaha menghindar. Dikatakannya bahwa saat itu ia akan meninggalkan tempat itu. Ia akan keluar menuju sungai Kahayan terus ke muara. Ia akan tinggal beberapa waktu di sana untuk kemudian meneruskan perjalanan ke lautan. Di sanalah ia akan berdiam.
Hingga larut malam, mereka bersiap-siap menunggu segala kemungkinan. Tidak lama kemudian, terdengar suara guntur sayup-sayup di kejauhan. Kilat memancar sambung-menyambung.
Langit menjadi gelap gulita. Semua yang ada di situ merasa waswas dan diselimuti perasan takut. Akhirnya, hujan seperti yang diramalkan Nusa pun benar-benar terjadi. Air sungai Rungan meluap setinggi pohon. Tubuh Nusa pun terbawa arus itu, mereka yang melihat hanya dapat terpaku. Siang hari air mulai surut, mereka yang ada di situ pulang ke kampung. Istri Nusa dan adiknya juga mengikuti rombongan itu. Sementara itu, Nusa yang telah sampai di Sungai Kahayan, terus berenang menuju ke muara. Ia menetap sementara di sebuah teluk yang agak dalam. Kehadiran Nusa di teluk itu membuat semua ikan di sana menjadi gelisah. Ikan yang besar maupun yang kecil melewatinya, habis dimakan. Kadang-kadang ikan-ikan itu memperbincangkan kelakuan Nusa. Jika keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, maka bukan mustahil mereka semua akan musnah. Pada suatu hari, atas prakarsa ikan Jelawat, semua ikan di tempat itu berkumpul. Mereka mencari akal untuk mengakhiri kekerasan itu. Ikan Saluang menemukan akal. Ia akan berpura-pura menceritakan bahwa di tengah lautan ia bertemu dengan naga besar yang ingin mengadu kekuatan dengan Nusa. Ikan Saluang meminta agar persoalan itu diserahkan kepadanya. Ia hanya minta bantuan bila ia memerlukannya. Semua ikan yang ada di situ menyetujui usul itu. Selang beberapa hari kemudian, ikan Saluang pura-pura termenung memikirkan sesuatu. Naga Nusa yang melihat keadaan itu menegurnya, “Hai Saluang! Mengapa seakan-akan Engkau bersedih hati?” “Betul Tuanku naga! Ada sesuatu yang membuat hamba sedih,” katanya. “Apa itu? Katakanlah!” Tanya Nusa lagi. “Begini Tuanku,” sahut ikan Saluang. Hamba, baru saja kemarin datang dari lautan sana. Ketika itu hamba terkejut mendengar suara panggilan. Ternyata hamba melihat seekor naga seperti Tuanku.” “Apa…?  Naga seperti aku? Apa dia lebih besar daripada aku?” tanya Nusa dengan nada sombong. “Kalau lebih besar, kira-kira lebih besar sedikit saja, Tuanku!” ujar Saluang. “Katanya ia telah mendengar berita tentang Tuanku. Rupanya beliau tersinggung sebab ia mengira tidak ada naga lain selain dirinya. Rupanya ia ingin memberi perhitungan dengan Tuanku.” Naga Nusa terpancing oleh cerita ikan Saluang menjadi marah. Ia ingin menantang naga itu. Ia minta kepada ikan Saluang untuk memberitahukannya bila naga itu sudah tiba.
Sejak mendengar berita itu naga Nusa tidak dapat tidur . Akhirnya ia kelelahan juga. Saat naga itu terkantuk-kantuk, perlahan-lahan ikan Saluang lari kearah ekor naga itu.  Pikirnya, itulah saat yang paling baik. Tiba-tiba, ikan Saluang berteriak dari sebelah ekor naga. “Tuanku! Musuh datang!” Mendengar teriakan itu, secepat kilat naga Nusa memutar kepalanya dan langsung menyerang. Suara air yang mendesau dari ekornya dikira musuh. Tanpa ampun, ekornya yang terkena sambar itu seketika putus. Terdengar jeritan Nusa kesakitan, tempat itu bergetar seolah-olah gempa. Pada saat itulah ikan Saluang meminta bantuan ikan-ikan lainnya untuk menggigit luka Nusa. Lama kelamaan tenaga Nusa makin lemah akibat kehabisan darah. Akhirnya, ia pun terkulai mati. Dua tiga bulan kemudian, seluruh ikan yang ada di sungai itu berdatangan memakan daging naga Nusa yang membusuk. Lama kelaman kerangkanya tertimbun lumpur dan ditumbuhi pepohonan. Akhirnya, tumpukan pohon-pohon itu membentuk sebuah pulau. Pulau yang terletak di sungai Kahayan, Kalimantan Tengah, Itulah sekarang kita kenal sebagai Pulau Nusa.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”
















No comments:

Post a Comment