“Raja
Laku Leik yang Bengis”
Cerita
Rakyat NTT
Dahulu, di
daerah Belu, Nusa Tenggara Timur, terdapat sebuah kerajaan yang diperintah oleh
seorang raja bernama Laku Leik. Ia adalah raja yang bengis dan kejam. Ia tidak
segan-segan menganiaya, bahkan menghabisi nyawa orang lain demi memenuhi semua
kemauannya. Ia juga gemar berjudi dan memiliki sifat serakah. Ia ingin menjadi
raja untuk selama-lamanya dan tidak mau mempunyai anak laki-laki. Suatu hari,
Raja Laku Leik hendak mengadakan perjalanan jauh bersama para pengawalnya.
Mereka akan pergi berburu ke hutan yang berada di wilayah kerajaannya.
Perjalanan itu tentu saja akan memakan waktu yang cukup lama. Sebelum berangka,
raja berpesan kepada permaisurinya, bernama Naifeto, yang sedang hamil tua.
“Hai, permaisuriku! Aku akan meninggalkan istana ini dalam beberapa hari. Jika
kelak kamu melahirkan seorang anak perempuan, rawatlah ia baik-baik. Tapi, jika
bayi itu laki-laki, maka habisilah nyawanya dan kuburkan mayatnya di bawah
tangga istana ini,” titah Raja Laku Leik. “Baik, Kanda,” jawab Naifeto.
Sebenarnya, Naifeto tidak setuju dengan permintaan suaminya itu, tentu ia tidak
akan sampai hati menghabisi nyawa anak kandungnya sendiri. Namun karena takut
kepada suaminya yang kejam itu, ia terpaksa mengiyakan pesan tersebut. Tidak
lama setelah Raja pergi, Naifeto melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan
dan sehat. Bayi itu dinamainya Onu Muti. Betapa senang hatinya memiliki anak
itu. Ia ingin sekali merawat dan membesarkankannya. Namun, di sisi lain ia
harus melaksanakan pesan suaminya. Dalam keadaan bimbang, ia pun berdoa meminta
petunjuk kepada Tuhan. “Ya Tuhan, berikanlah hamba petunjuk-Mu atas
permasalahan ini,” pinta Naifeto. Naifeto kemudian termenung sejenak. Setelah
berpikir keras, akhirnya ia menemukan jalan keluar. “Hmmm... aku tahu caranya.
Sebaiknya, putraku kuganti dengan seekor anjing yang akan kukubur di bawah
tangga," pikirnya. Naifeto pun segera menangkap seekor anjing, lalu
menguburnya di bawah tangga istana. Sementara Onu Muti ia serahkan kepada adik
Raja Laku Leik yang bernama Feto Ikun untuk diasuh.
“Tolong rawatlah
Onu Muti, tapi jangan sampai Raja mengetahui rahasia ini! Jika Raja tahu
masalah ini, maka nyawa Onu Muti akan terancam,” ujar Naifeto. “Baiklah. Aku
berjanji akan menjaga rahasia ini,” ucap Feto Ikun. Sejak itulah, Onu Muti
tinggal di rumah bibinya. Beberapa minggu kemudian, Raja Laku Leik telah
kembali dari berburu. Karena tahu bahwa sang permaisuri telah melahirkan, ia
pun langsung menanyakannya. “Di mana anak kita, Permaisuriku?” tanya sang Raja.
“Maaf, Kanda. Anak kita laki-laki,” jawab Naifeto, “Sesuai dengan pesan Kanda,
anak itu sudah Dinda kuburkan di bawah tangga.” Mendengar keterangan itu,
cepat-cepatlah sang Raja pergi memeriksa ke bawah tangga. Tampaklah olehnya
sebuah tumpukan tanah yang ditandai dengan sebuah nisan di atasnya. Raja itu
pun percaya jika nisan itu adalah makam putranya. Demikian rahasia itu terus
tersimpan hingga Onu Muti beranjak remaja. Suatu hari, Onu Muti bersama
temannya, One Mea, sedang bermain gasing di dekat istana. Tanpa disengaja,
gasing Onu Muti terlempar jauh dan mengenai kepala seorang nenek yang sedang
menjemur kacang hijau. Nenek itu pun menjadi marah. “Dasar kau anak terbuang!”
hardik nenek itu seraya pergi. Nenek itu ternyata pergi ke istana untuk mengadu
kepada sang Raja. Setiba di istana, ia pun membuka rahasia tentang kebohongan
Naifeto selama ini. “Ampun, Baginda Raja,” hormat nenek itu. “Ada apa
gerangan?” tanya Raja Laku Leik. “Sebenarnya, Baginda telah dibohongi oleh
Permaisuri,” lapor nenek itu. “Apa maksud, Nenek?” Raja Laku Leik kembali
bertanya dengan bingung. Nenek itu pun menceritakan keberadaan Onu Muti kepada
sang Raja. Mendengar cerita itu, sang Raja pun menjadi murka. Namun, ia tidak
berani langsung bertindak karena segan terhadap adiknya, Feto Ikun. Maka itu,
ia mengadakan sidang tertutup dengan beberapa pengawal setianya untuk membuat
siasat. Dalam sidang itu disepakati bahwa mereka merencanakan suatu perburuan
dengan mengajak Onu Muti dan One Mea. Pada hari yang telah ditentukan, Onu Muti
dan One Mea pun datang ke istana dengan membawa peralatan berburu. Kedua anak
itu juga masing-masing membawa seekor ayam jantan. Setiba di istana, keduanya
pun berbaur dengan rombongan sang Raja menuju ke hutan. Setiba di hutan, mereka
mulai berburu hingga sore hari. Hasil yang mereka peroleh lumayan banyak.
Saat hari mulai
gelap, sang Raja menyuruh Onu Muti untuk beristirahat di dalam sebuah pondok
kecil yang telah disiapkan oleh pengawal raja. Sementara itu, One Mea serta
raja dan rombongannya tidur di luar. Ketika semua sudah terlelap, Raja Laku
Leik perlahan-lahan merangkak masuk ke dalam pondok, lalu memenggal kepala Onu
Muti. Kepala anak yang tidak berdosa itu pun terpisah dari tubuhnya. Keesokan
harinya, semua orang panik, terutama One Mea. Ia berteriak histeris begitu
melihat kepala temannya terpenggal. Setelah mayat Onu Muti dimakamkan,
rombongan sang Raja kembali melanjutkan perburuan. Sementara itu, One Mea
secara diam-diam mengikat ayam jantan milik Onu Muti di misan makam itu lalu
cepat-cepat pulang untuk melapor kepada ibu angkat Onu Muti, Feto Ikun.
“Bibi..., Bibi... Bibi Feto!” teriaknya dengan tergopoh-gopoh, “Onu Muti telah
mati!” Alangkah terkejutnya Feto Ikun mendengan berita duka itu. Ia tahu bahwa
pastilah Raja Laku Leik pelakunya. “Lalu, di mana mayatnya sekarang?” tanya
Feto Ikun. “Mayatnya sudah dimakamkan di dalam hutan,” ungkap One Mea, “Saya
telah mengikatkan seekor ayam pada nisan makam itu sebelum pulang ke sini,
namun saya lupa di mana tepatnya.” Mendengar keterangan itu, Feto Ikun segera
berdoa kepada Tuhan untuk memohon petunjuk mengenai keberadaan makam itu.
Berkat doanya yang khusyuk, petunjuk itu pun datang melalui mimpi pada malam
harinya. Maka, pada keesokan harinya, Feto Ikun mengajak saudara-saudaranya
untuk mencari makam Onu Muti di hutan. Setelah menemukan makam itu, mereka
kemudian berdoa kepada Tuhan agar mayat Onu Muti dibangkitkan kembali. Setelah
mereka 4 kali berdoa, Onu Muti hidup kembali. Semua itu bisa terjadi berkat
kuasa Tuhan. Feto Ikun pun merawat pangeran kecil itu dengan sangat hati-hati
agar tidak ketahuan sang Raja. Hingga beberapa tahun kemudian, Onu Muti pun
tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah. Sementara itu, Raja Laku Leik yang
kian tua semakin lupa daratan. Kelakuannya semakin menjadi-jadi. Kebiasaan
berjudi dengan menyabung ayam tak pernah berhenti. Ia selalu menantang
lawan-lawannya dengan taruhan yang tinggi. Suatu hari, datanglah Onu Muti ke
istana membawa ayam jagonya untuk menantang sang Raja. Ia menyamar sebagai
pangeran yang kaya-raya dari negeri seberang. Raja Laku Leik pun menerima
tantangan itu. “Hai, Pangeran Muda. Berapa banyak harta yang engkau miliki?
Berani-beraninya kau menantangku!” tanya Raja Laku Leik dengan nada meremehkan.
“Ampun, Baginda. Harta yang hamba miliki saat ini sebanyak harta yang akan
Baginda pertaruhkan,” jawab Onu Muti.
Betapa
terkejutnya Raja Laku Leik mendengar jawaban anak muda itu. Tidak mau
dipermalukan di hadapan rakyatnya, ia pun menerima tantangan itu. Sang Raja
segera memerintahkan prajuritnya untuk menyiapkan ayam jagonya untuk diadu
dengan ayam jago milik Onu Muti. Seluruh rakyat negeri itu pun
berbondong-bondong memadati halaman istana untuk menyaksikan pertandingan
tersebut. Setelah semuanya siap, pertandingan sabung ayam pun dimulai. Kedua ayam
jago segera dilepas di tengah arena. Tak berapa lama kemudian, keduanya saling
menyerang. Namun, baru saja pertarungan itu berlangsung, ayam jago milik Raja
Laku Leik sudah kalah. Tak mau dipermalukan, Raja Laku Leik kembali menatang
dengan taruhan yang lebih besar lagi. Akan tetapi, selalu saja kalah. Demikian
seterusnya, selama pertarungan itu, kemenangan selalu ada di pihak Onu Muti.
Raja yang bengis itu pun bangkrut, hidupnya melarat, dan akhinya mati. Seluruh
wilayah kerajaan, termasuk istananya sudah habis dipertaruhkan. Sebaliknya, Onu
Muti menjadi kaya-raya. Kerjaaan itu pun sudah menjadi miliknya. Seluruh rakyat
negeri itu menyambut gembira atas kemenangan itu. Mereka pun menobatkan Onu
Muti menjadi raja untuk menggantikan ayahnya yang bengis. Berbeda dengan
ayahnya, Onu Muti memimpin negeri itu dengan arif dan bijaksana. Rakyatnya pun
hidup makmur dan sejahtera.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment