“Legenda
Batu Kuwung”
Cerita
Rakyat Banten
Pada
masa pemerintahan Sultan
Haji (tahun 1683-1687 M), hiduplah seorang saudagar yang
tinggal di sebuah desa di daerah Banten.Ia
sangat dekat dengan
sang Sultan. Karena kedekatannya
tersebut, ia mendapat hak monopoli
perdagangan beras dan
lada untuk daerah
Lampung. Tak heran, jika usahanya
menjadi maju pesat, sehingga dalam waktu
singkat ia menjadi
saudagar kaya yang
disegani. Hampir semua
tanah pertanian yang
ada di desa-desa sekitar tempat
tinggalnya menjadi miliknya.Ia
memiliki tanah itu dengan
cara memeras warga,
yaitu memberi hutang kepada
mereka dengan bunga
yang tinggi, sehingga mereka
kesulitan untuk membayarnya.
Para petani pun terpaksa
menyerahkan tanah-tanah pertanian mereka untuk menebus hutang kepada
sang Saudagar.Penderitaan para warga
pun semakin menjadi-jadi
ketika saudagar kaya itu diangkat menjadi kepala desa di daerah
itu. Ia
senantiasa
menyalahkangunakan kekuasaannya
dengan cara memungut pajak lebih tinggi dari yang seharusnya.
Dengan kekuasaan dan kekayaannya, ia
menjadi sombong dan sering bertindak sewenang-wenang terhadap warga di
sekitarnya. Selain itu, saudagar
kaya itu sangat
kikir.Ia tidak mau
menolong jika ada warga
yang membutuhkan
pertolongan. Bahkan, saking
kikirnya, ia tidak
mau menikah seumur
hidup. Baginya, menikah
dan memiliki anak adalah suatu pemborosan.Ia lebih senang hidup
bermewah-mewah dan berfoya-foya di atas penderitaan warga di sekitarnya. Tak
heran, jika para warga menjadi benci kepadanya. Menyadari hal itu, sang
Saudagar pun menyewa beberapa orang pengawal pribadi untuk menjaga harta
kekayaan dan keselamatan dirinya, sehingga tak seorang warga pun yang berani
untuk mengusiknya. Pada suatu hari,
berita tentang keangkuhan
dan kesewenang-wenangan saudagar
kaya itu sampai
ke telinga seorang sakti
mandraguna. Orang sakti itu pun
bermaksud untuk menyadarkan sang Saudagar yang sombong dan kikir itu.
Suatu pagi, ia mendatangi rumahnya dengan menyamar sebagai pengemis dan berkaki
pincang.“Ampun, Tuan! Sudilah
kiranya Tuan memberi
Hamba makanan dan
pakaian. Sudah dua
hari hamba belum makan,” iba
pengemis itu sambil menunduk di depan sang Saudagar. Si pengemis bukannya
mendapat makanan dan pakaian dari sang Saudagar, melainkan caci-makian dan
pelakuan kasar.“Hai, dasar pemalas!Enak saja kau meminta-minta kepadaku!”
bentak saudagar kaya itu. Pengawal! Usir pengemis hina ini dari sini!” serunya
seraya mendorong pengemis itu.
Tak ayal lagi, pengemis itu pun jatuh
tersungkur ke tanah. Belum sempat ia berdiri, dua orang pe ngawal segera
menyeret dan mengusirnya. Si Pengemis yang malang itu pun murkah mendapat
perlakuan kasar itu. Sebelum meninggalkan
halaman rumah yang
besar dan mewah
itu, ia berpesan
kepada sang Saudagar.“Hai, Saudagar
kaya yang sombong
dan kikir!Bersiap-siaplah untuk
menerima balasan yang setimpal.Kamu akan merasakan betapa
pedihnya menjadi orang miskin,” ujar pengemis itu.Begitu selesai berpesan, si
Pengemis itu tiba-tiba menghilang. Alangkah terkejutnya sang Saudagar dan
kedua pengawalnya menyaksikan
peristiwa ajaib tersebut.
Meskipun ada rasa
takut di dalam
hatinya setelah melihat peristiwa ajaib itu, ia berusaha untuk
menepisnya.“Ah, ada-ada saja
pengemis itu. Aku takkan
mungkin menjadi miskin,
karena hartaku sudah sangat
melimpah,” ucap sang Saudagar dengan angkuhnya.Keesokan harinya, betapa
terkejutnya sang Saudagar kaya itu ketika bangun tidur, kedua kakinya tidak
bisa ia
gerakkan. Ia berkali-kali
berusaha untuk menggerakkannnya, tapi
tetap saja tidak
bisa. Ia pun panik dan berteriak histeris memanggil
pengawal pribadinya. “Pengawal!Cepat kemari tolong aku!” teriaknya dengan suara
keras.
Mendengar teriakan itu, dua orang
pengawalnya pun segera datang. “Apa yang terjadi dengan Tuan?” tanya seorang
pengawalnya. “Entahlah! Tiba-tiba kakiku
tidak dapat kugerakkan,”
jawab sang Saudagar
sambil memegang kedua kakinya.Kedua pengawalnya berusaha
untuk membantu menggerakkan
kakinya, tapi tetap
saja tidak bisa.Rupanya, kedua
kaki saudagar kaya
itu lumpuh. Dengan panik,
ia segera memerintahkan
seluruh pengawalnya untuk mencari tabib. Pada hari itu juga, seluruh
tabib sakti dari berbagai pelosok negeri pun
berdatangan untuk mengobati
kedua kakinya, namun
tak seorang pun
yang berhasil. Dalam keadaan
yang semakin panik,
sang Suadagar berpesan
kepada para pengawalnya
untuk mengadakan
sayembara.“Pengawal! Umumkan kepada seluruh warga bahwa siapa pun yang mampu
menyembuhkan aku dari kelumpuhan ini, dia akan aku berikan setengah dari harta
kekayaanku,” ujar sang Saudagar.Para
pengawal setianya pun
segera memasang pengumuman
di tempat-tempat keramaian
seperti di pasar, warung-warung
kopi, maupun di pinggir-pinggir jalan ramai.
Dalam waktu singkat, seluruh warga
desa setempat dan
warga desa-desa sekitarnya
telah mengetahui perihal
pengumuman tersebut, tak terkecuali pengemis
itu. Mendengar kabar
itu, sang Pengemis
pun segera mendaftar
untuk menjadi peserta
sayembara.Pada hari yang
telah ditentukan, berkumpullah
para peserta sayembara
dari berbagai kalangan, termasuk si Pengemis itu, di
halaman rumah sang Saudagar. Satu pe r satu para peserta dipanggil untuk
mengobati penyakit sang
Saudagar. Meskipun mereka
telah mengeluarkan segala
kemampuan dan kesaktian masing-masing, namun
tak seorang pun
yang menyembuhkan penyakit
sang Saudagar. Bahkan, penyakitnya
justru semakin parah,
sehingga ia bertambah
panik. Kini, tinggal
si Pengemis itu yang menjadi harapan satu-satunya.“Wahai,
Pengemis! Tolonglah aku! Hanya kamulah harapanku satu-satunya yang dapat
menyembuhkan penyakitku ini,” iba sang Saudagar.Pengemis itu tersenyum sambil
mengamati kedua kaki sang Saudagar. “Begini,
Tuan! Aku tahu
penyebab kelumpuhanmu.Semua ini
terjadi karena sifatmu
yang kikir dan sombong,” ujar si Pengemis.Betapa
terkejutnya sang Saudagar mendengar jawaban si Pengemis. Ia seakan-akan tidak
percaya akan hal itu.“Jika benar yang
kamu katakan itu,
bagaimana cara menyembuhkannya?” tanya
saudagar kaya itu penasaran. “Jika ingin sembuh dari
kelumpuhan ini, Tuan harus memenuhi tiga syarat,” ujar si Pengemis.
“Apapun
syaratnya, aku berjanji
akan memenuhinya. Asalkan
penyakitku dapat dsembuhkan,”
jawab sang Saudagar. Mendengar
jawaban itu, si
Pengemis pun menyebutkan
ketiga persyaratan yang
harus dipenuhi oleh sang
Saudagar, yaitu; pertama,
sang Saudagar harus
merubah sifat sombong
dan kikirnya; kedua,
ia harus pergi ke kaki Gunung Karang untuk bertapa di atas sebuah Batu
Cekung selama tujuh hari tujuh malam,
tanpa makan dan minum; ketiga,
ia juga harus
berjanji untuk memberikan
setengah harta kekakayaannya
kepada warga miskin setelah ia sembuh dari kelumpuhannya.Sang Saudagar pun
bersedia untuk memenuhi persyaratan tersebut. Sebelum ia berangkat ke Kunung
Karang, si Pengemis berpesan kepadanya agar tetap tidak terpengaruh terhadap
segala rintangan dan godaan yang dapat membatalkan pertapaannya. Usai berpesan
demikian, pengemis itu tiba-tiba lenyap dari pandangan mata.Saudagar itu pun
menyadari bahwa pengemis itu bukanlah orang sembarangan.Setelah itu, berangkatlah
ia ke Gunung Karang dengan ditandu oleh empat orang pengawal pribadinya.
Mereka
berjalan menelusuri jalan-jalan
setapak yang dikelilingi
oleh semak belukar
dan pepohonan
rindang.Setelah dua hari
dua malam berjalan,
akhirnya mereka pun
tiba di kaki
Gunung Karang.Di tempat itu
terlihatlah sebuah batu yang cukup besar dan berbentuk cekung. “Pengawal! Bawa
aku naik ke atas batu itu!” seru sang Saudagar.Tanpa disadarinya, ternyata
keempat pengawalnya telah jatuh pingsan saat tiba di tempat itu, karena
kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh. Akhirnya, dengan susah payah,
saudagar itu mengesot di tanah untuk mencapai batu cekung itu dan naik duduk di
atasnya.Ketika hari mulai
gelap, sang Saudagar
pun segera memulai
pertapaannya. Setelah tujuh
hari tujuh malam ia
bertapa dengan melalui
berbagai rintangan dan
godaan, seperti menahan
lapar dan haus, serta gangguan dari binatang-binatang
buas dan makhluk-makhluk halus, kejaiban pun terjadi. Tiba-tiba ia melihat ada
air panas menyembur keluar dari sela-sela Batu Cekung tempatnya duduk. Dalam
waktu singkat, tempat itu tergenang air, sehingga membentuk sebuah kolam kecil.
Melihat peristiwa ajaib itu, sang
Saudagar pun mengakhiri
pertapaannya dan segera
mandi di kalom
itu. Betapa terkejutnya
ia ketika mencebur ke dalam kolam yang berisi air panas itu. Tiba-tiba
ia merasakan darahnya mengalir di kedua kakinya, dan beberapa saat kemudian
kedua kakinya dapat digerakkan kembali. “Oh, terima kasih Tuhan!Engkau telah
menyembuhkan kaki Hamba,” saudagar itu mengucap syukur.Dengan perasaan
senang dan gembira,
sang Saudagar bersama
para pengawalnya segera
kembali ke desa.
Setibanya
di desa, ia
pun segera melaksanakan
janjinya, yaitu menyerahkan
sebagian harta kekayaannya kepada
warga miskin di sekitarnya. Ia membagi-bagikan tanah pertaniannya kepada petani
miskin untuk digarap.
Setelah itu, ia
menikahi seorang gadis
cantik dari keluarga
miskin dan kembali menjalankan tugas-tugasnya sebagai Kepala
Desa dengan penuh
tanggung jawab. Sejak itu,
ia dikenal sebagai orang kaya
yang dermawan dan Kepala Desa yang arif dan bijaksana, sehingga semua warganya
menjadi senang kepadanya.Kepada setiap orang yang bertamu ke rumahnya, sang
Saudagar menceritakan perihal keajaiban sumber air panas Batu Cekung di kaki
Gunung Karang yang telah menyembuhkan penyakit lumpuhnya.
Lambat laun
cerita dari mulut
ke mulut itu
pun tersebar hingga
ke penju ru desa,
sehingga para warga
pun berbondong-bondong
mendatangi tempat itu
untuk mencoba kemujaraban
air panas itu.Terbukti, banyak warga yang telah sembuh
dari penyakitnya setelah mandi di tempat itu. Menurut kepercayaan masyarakat
setempat, air panas Batu Cekung tidak
hanya menyembuhkan penyakit lumpuh, tetapi juga berbagai macam penyakit seperti
reumatik, polio, dan pegal-pegal, karena mengandung kadar yodium dan kalsium.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment