Monday, 30 November 2015

Cerita Rakyat NTT

“Legenda Ile Mauraja”
Cerita Rakyat NTT


Dahulu, di sebuah kampung di Nusa Tenggara Timur, ada seorang bocah laki-laki yang tampan bernama Raja. Namun, ia memiliki sifat yang amat keras kepala. Semua kiinginannya harus dipenuhi. Sifat Raja itu terkadang membuat kedua orang tuanya pusing kepala. Suatu ketika, ibunya sedang memintal benang. Karena penasaran terhadap apa yang dikerjakan ibunya, Raja pun bertanya. “Ibu sedang membuat apa?” tanya Raja. “Ibu sedang membuat sehelai kain untukmu, Nak,” jawab ibunya. Betapa senangnya hati Raja. Dikiranya sarung itu akan selesai dibuat dalam waktu sehari. Maka, ia pun selalu bertanya kepada ibunya. “Bu, kapan sarung itu selesai?” tanya Raja, “Aku tidak sabar lagi ingin memakainya.” “Sabarlah, Nak. Ibu akan segera menyelesaikannya,” jawab ibunya. Begitulah setiap hari Raja tidak bosan-bosannya bertanya dan menagih janji ibunya. Sang Ibu pun bingung karena ia tidak mau berbohong. Padahal, ia sering menasehati anaknya agar selalu menepati janji dan tidak boleh berbohong. Ketika, Raja kembali bertanya, sang Ibu diam saja. “Kenapa ibu diam saja?” tanya Raja, “Wah, tidak menepati janji.” Merasa malu dituduh oleh anaknya, sang Ibu pun menjelaskan bahwa membuat sehelai sarung membutuhkan waktu yang cukup lama. “Anakku, Raja. Ibu bukannya ingkar janji. Tapi, perlu kamu ketahui bahwa membuat sehelai sarung itu tidak bisa sebentar,” ujar ibunya. Mendengar penjelasan itu, Raja pun merasa menyesal karena telah menuduh ibunya yang bukan-bukan. Sejak itulah, ia mulai sadar terhadap sikapnya yang suka kasar kepada ibunya. Pikiran itu pun terbawa ke dalam mimpinya. Malam itu, ia bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang mengenakan pakaian putih-putih. “Hai, anak muda. Apa yang terjadi dengan dirimu? Kenapa kamu wajahmu pucat seperti itu?” tanya kakek itu dalam mimpi Raja.
Raja pun menceritakan apa yang terjadi antara dia dengan ibunya. “Iya, Kek. Saya merasa berdosa kepada ibu saya. Selama ini saya selalu memaksakan kehendak kepada ibu. Bahkan, saya telah menuduhnya telah mengingkari janjinya,” cerita Raja dalam mimpi itu yang membuat sang kakek menjadi iba. “Baiklah, cucuku. Jika kamu memang benar-benar merasa menyesal, maka kamu harus menebus kesalahan itu,” ujar Kakek itu. “Apa maksud, Kakek?” tanya Raja bingung. “Besok, bangunlah sebelum ayam jantan berkokok yang ketiga kalinya. Pergilah ke arah matahari terbit dan berjalanlah sampai kamu menemukan sebuah gua,” kata kakek itu, “Tapi ingat, kamu harus diam selama perjalanan,” tambahnya. “Baik, Kek,” jawab Raja. Kakek misterius itu kemudian lenyap. Saat itu pula, Raja terbangun. Ketika ayam jantan berkokok yang kedua kalinya, ia segera melaksanakan nasehat kakek dalam mimpinya itu. Dalam suasana yang agak gelap, Raja berjalan ke arah timur dengan menyusuri hutan belantara hingga akhirnya menemukan sebuah gua. “Hai, gua inikah yang dimaksud Kakek itu?” gumamnya. Raja dengan melangkah perlahan-lahan mendekati gua itu. Ketika ia berada di depan mulut gua, tiba-tiba ia mendengar suara menyapanya. “Cucuku, tidak usah takut. Masuklah ke dalam gua ini,” kata suara itu. Suara itu tidak asing lagi di telinga Raja, seperti suara Kakek yang ada di mimpinya semalam. Tanpa ragu-ragu, ia pun segera masuk ke dalam gua. Ternyata dugaannya benar. Tampak seorang Kakek yang pernah ia temui di dalam mimpi sedang duduk di atas lempengan batu besar. Raja pun kemudian duduk di samping kakek itu. “Cucuku, tanamlah biji kapas ini di kebun ibumu di belakang rumah,” perintah kakek itu seraya memberikan segenggam biji kapas dalam sebuah tempurung kelapa kepada Raja. “Terima kasih, Kek!” ucap Raja seraya berpamitan. Namun, sebelum ia meninggalkan gua, Kakek itu berpesan kepadanya. “Sesampainya kamu di rumah, minta maaflah kepada ibumu atas sikapmu yang buruk. Hormatilah orang tuamu,” kata kakek itu.
Begitu selesai berpesan, Kakek itu tiba-tiba menghilang. Bersamaan dengan kejadian itu, tiba-tiba muncul seekor ular raksasa di hadapan Raja. Karena ketakutan, maka cepat-cepatlah Raja meninggalkan gua itu. Setiba di rumahnya, Raja langsung menanam biji kapas pemberian sang Kakek. Sungguh ajaib, biji kapas itu tumbuh dengan cepat sekali. Hanya dalam waktu seminggu, tanaman kapasnya sudah berbuah. Buahnya pun unik karena berbentuk gulungan kain seperti yang biasa dipakai ibu Raja. Dengan kejadian itu, sikap Raja mulai berubah. Kini, ia menjadi anak yang halus dan lemah lembut tutur sapanya, penurut, dan rajin membantu kedua orangnya. Suatu hari, kambing peliharaan orangtua Raja hilang. Raja pun turut membantu mencari kambing tersebut. Ia berjalan menyusuri hutan belantara. Tanpa disadari, langkahnya ternyata sampai di depan gua yang dulu pernah ia masuki. Mulanya, Raja ingin cepat-cepat pergi dari tempat itu. Namun, tiba-tiba ia mendengar suara beberapa gadis dari dalam gua. “Hai, siapa gadis-gadis yang ada di dalam gua itu?” gumam Raja. Raja penasaran. Ia pun memberanikan diri masuk ke dalam gua itu. Betapa terkejutnya ia saat melihat tujuh gadis cantik sedang mandi di sungai di dalam gua itu. “Aduhai… cantiknya gadis-gadis itu!” gumam Raja dengan perasaan kagum. Melihat kecantikan para gadis tersebut, muncullah niatnya ingin memperistri salah dari mereka. Maka, ia dengan diam-diam mengambil salah satu pakaian dari gadis itu yang diletakkan di tepi sungai. Pakaian itu kemudian ia sembunyikan di sebuah lubang pohon. Selang beberapa saat kemudian, para gadis itu telah selesai mandi. Ketika hendak mengenakan pakaian masing-masing, salah seorang dari mereka tampak kebingungan. “Kakak, apakah kalian melihat pakaian saya?” tanya gadis itu. “Tidak, Bungsu. Kami tidak melihatnya,” jawab gadis yang paling sulung. Rupanya, gadis yang kehilangan pakaiannya adalah si Bungsu. Putri Bungsu itu pun menangis tersedu-sedu karena belum juga menemukan pakaiannya. Melihat keadaan itu, Raja pun keluar dari persembunyiannya lalu menghampiri gadis-gadis tersebut. “Hai, apa yang sedang terjadi dengan gadis cantik ini?” tanya Raja dengan berpura-pura tidak mengetahui permasalahan. “Adik kami kehilangan pakaiannya. Jika Tuan dapat menemukannya, tentu kami akan membalas jasa Tuan,” sahut Putri Sulung. “Baiklah, saya akan coba mencarikannya,” jawab Raj.
Raja pun berpura-pura mencari ke sana kemari hingga ke bagian luar gua. Saat para gadis tersebut tidak melihatnya, cepat-cepatlah ia mengambil pakaian itu dari dalam lubang pohon lalu kembali masuk ke dalam gua. “Maaf, apakah pakaian ini yang kalian maksud?” tanya Raja. “Benar Tuan. Terima kasih karena Tuan telah menemukan pakaian adik kami yang hilang,” sahut Putri Sulung seraya menceritakan asal usul mereka. “Maaf Tuan, sebenarnya kami ini adalah putri-putri ular.” Mendengar cerita itu, Raja langsung teringat pada si Kakek yang waktu itu menghilang dan berubah menjadi seekor ular. “Apakah kalian mengenal Kakek yang pernah kutemui di gua ini?” tanya Raja. “Iya, ia adalah kakek kami,” jawab Putri Sulung, “Di gua inilah kami tinggal.” Mendengar cerita itu, Raja pun mulai tersadar bahwa ternyata kakek yang yang pernah menolongnya itu adalah penjelmaan ular. Raja pun kemudian diajak oleh para gadis itu untuk ke rumah mereka dan bertemu dengan sang Kakek. “Terima kasih, cucuku. Engkau telah menolong Putri Bungsu menemukan pakaiannya,” ucap si Kakek, “Sebagai tanda terima kasih kami, Kakek merestuimu menikah dengan cucuku itu. Tapi, dengan satu syarat.” “Apakah syarat itu, Kek?” tanya Raja. “Sebelum pesta pernikahan kalian dilangsungkan, Kakek minta agar si Bungsu dibuatkan sebuah rumah peristirahatan,” ujar si Kakek. Raja pun menyetujui persyaratan itu, meskipun ia tahu bahwa hal itu menyalahi adat di kampungnya. Setelah mereka menikah, Raja dan si Bungsu pun tinggal di rumah baru tersebut. Sementara itu, salah seorang warga yang merasa curiga mengintip ke dalam rumah itu. Alangkah terkejutnya ia saat melihat Raja ditemani oleh seekor ular yang tak lain adalah Putri Bungsu. Warga itu pun segera melapor kepada seluruh warga kampung. Takut dengan keberadaan ular tersebut, warga pun beramai-ramai membakar rumah itu. Raja dan Putri Bungsu yang berada di dalamnya tidak bisa berbuat apa-apa karena peristiwa itu berlangsung sangat cepat. Mereka pun tewas terbakar. Mendengar kabar itu, keluarga Putri Bungsu amat marah dan murka. Dengan dibantu oleh seekor kepiting raksasa, keluarga Putri Bungsu yang telah berubah menjadi sekumpulan ular mendorong perut bumi. Kampung pun bergetar bagaikan terkena gempa bumi dahsyat. Dalam sekejap, perkampungan itu hancur dan porak-poranda.
Selang beberapa saat setelah kejadian itu, tiba-tiba sebuah gundukan tanah muncul dari balik perkampungan. Semakin lama, gundukan tanah itu semakin tinggi hingga menjadi sebuah gunung. Untuk mengenang peristiwa itu, masyarakat setempat menamakan gunung itu Ile Mauraja atau Gunung Mauraja.

Terima kasih sudah membaca.

“TAMAT”






No comments:

Post a Comment