“Legenda
Gunung Kelud”
Cerita
Rakyat Jawa Timur
Di daerah Jawa
Timur, ada seorang raja bernama Raja Brawijaya yang bertahta di Kerajaan
Majapahit. Ia mempunyai seorang putri yang cantik jelita bernama Dyah Ayu
Pusparani. Sang Putri memiliki keindahan tubuh yang sangat memesona, kulitnya
lembut bagai sutra, dan wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama. Sudah
banyak pengeran datang melamar, namun Prabu Brawijaya belum menerima satu pun
lamaran agar tidak terjadi kecemburuan di antara pelamar yang lain. Di sisi
lain, penguasa Majapahit itu juga tidak ingin menolak secara langsung karena
takut mereka akan menyerang kerajaannya.
Setelah berpikir
keras, Prabu Brawijaya menemukan sebuah cara, yaitu ia akan mengadakan
sayembara bahwa barang siapa yang berhasil merentang busur sakti Kyai
Garudayeksa dan mengangkat gong Kyai Sekardelima maka dialah yang berhak
mempersunting putrinya. Ia memerintahkan para pengawalnya untuk menyampaikan
pengumuman tersebut kepada seluruh rakyatnya, termasuk kepada para raja dan
pangeran dari kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Pada saat yang telah ditentukan,
para peserta dari berbagai negeri telah berkumpul di alun-alun (lapangan,
halaman) istana Kerajaan. Prabu Brawijaya pun tampak duduk di atas
singgasananya dan didampingi oleh permaisuri dan putrinya. Setelah busur Kyai
Garudyeksa dan gong Kyai Sekadelima disiapkan, Prabu Brawijaya segera memukul
gong pertanda acara dimulai. Satu persatu peserta sayembara mengeluarkan
seluruh kesaktiannya untuk merentang busur dan mengangkat gong tersebut, namun
tak seorang pun yang berhasil. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang mendapat
musibah. Ada yang patah tangannya karena memaksakan diri merentang busur sakti
itu, dan ada pula yang patah pinggangnya ketika mengangkat gong besar dan berat
itu. Ketika Prabu Brawijaya akang memukul gong untuk menutup sayembara itu,
tiba-tiba datanglah seorang pemuda berkepala lembu hendak mengandu
keberuntungan. “Ampun, Gusti Prabu! Apakah hamba diperkenankan mengikuti
sayembara ini?” pinta pemuda itu.
“Hai, pemuda
aneh! Siapa namamu?” tanya Prabu Brawijaya. “Nama saya Lembu Sura,” jawab
pemuda itu. Prabu Brawijaya beranggapan bahwa pemuda itu tidak akan mampu
merentang busur sakti dan mengangkat gong besar itu. Ia pun mengizinkannya
mengikuti sayembara itu sebagai peserta terakhir. “Baiklah! Kamu boleh
mengikuti sayembara ini,” ujar Prabu Brawijaya. Lembu Sura pun menyanggupi
persyaratan itu. Dengan kesaktiannya, ia segera merentang busur Kyai
Garudayaksa dengan mudah. Keberhasilan Lembu Sura itu diiringi oleh tepuk
tangan para penonton yang sangat meriah. Sementara itu, Putri Dyah Ayu
Pusparani terlihat cemas, karena ia tidak ingin bersuamikan manusia berkepala
lembu. Ketika Lembu Sura menghampiri gong Sekardelima, semua yang hadir tampak
tegang, terutama sang Putri. Ia sangat berharap agar Lembu Sura gagal melewat
ujian kedua itu. Tanpa diduganya, pemuda berkepala lembu itu ternyata mampu
mengangkat gong Sekardelima dengan mudah. Tepuk tangan penonton pun kembali
bergema, sedangkan Putri Dyah Ayu Purpasari hanya terdiam. Hatinya sangat sedih
dan dan kecewa. “Aku tidak mau bersuami orang yang berkepala lembu,” seru sang
Putri seraya berlari masuk ke dalam istana. Mendengar ucapan putrinya itu,
Prabu Brawijaya langsung terkulai karena telah mengecewakan putrinya. Namun
sebagai seorang raja, ia harus menepati janjinya untuk menjaga martabatnya.
Dengan demikian, Putri Dyah Ayu Pusparani harus menerima Lembu Sura sebagai
suaminya. `Hadirin sekalian! Sesuai dengan janjiku, maka Lembu Sura yang telah
memenangkan sayembara ini akan kunikahkan dengan putriku!” seru Prabu
Brawijaya. Seluruh pesarta sayembara pun berlomba-lomba memberikan ucapan
selamat kepada Lembu Sura. Sementara itu, di dalam istana, Putri Dyah Ayu
Pusparani menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya. Berhari-hari ia mengurung
diri di dalam kamar. Ia tidak mau makan dan minum. Melihat tuannya sedang
sedih, seorang Inang pengasuh berusaha membujuk dan menasehatinya. “Ampun, Tuan
Putri! Jika Tuan Putri tidak mau menikah dengan Lembu Sura, sebaiknya Tuan
Putri segera mencari jalan keluar sebelum hari pernikahan itu tiba,” ujar Inang
pengasuh. Mendengar nasehat itu, sang Putri langsung terperanjat dari tempat
tidurnya. “Benar juga katamu, Mak Inang! Kita harus mencari akal agar
pernikahanku dengan orang yang berkepala lembu itu dibatalkan. Tapi, apa yang
harus kita lakukan? Apakah Mak Inang mempunyai usul?” tanya sang Putri bingung.
Inang pengasuh
hanya terdiam. Sejenak, suasana menjadi hening. Setelah berpikir keras,
akhirnya Inang pengasuh menemukan sebuah jalan keluar. “Ampun, Tuan Putri!
Bagaimana kalau Tuan Putri meminta satu syarat yang lebih berat lagi kepada
Lembu Sura?” usul Inang pengasuh. “Apakah syarat itu, Mak Inang?” tanya sang
Putri penasaran. “Mintalah kepada Lembu Sura agar Tuan Putri dibuatkan sebuah
sumur di puncak Gunung Kelud untuk tempat mandi kalian berdua setelah acara
pernikahan selesai. Tapi, sumur itu harus selesai dalam waktu semalam,” usul
Mak Inang. Putri Dyah Ayu Pusparani pun menerima usulan Inang pengasuh dan
segera menyampaikannya kepada Lembu Sura. Tanpa berpikir panjang, Lembu Sura
menyanggupi persyaratan itu. Pada sore harinya, berangkatlah ia ke Gunung Kelud
bersama keluarga istana, termasuk sang Putri. Setibanya di Gunung Kelud, Lembu
Sura mulai menggali tanah dengan menggunakan sepasang tanduknya. Dalam waktu
tidak berapa lama, ia telah menggali tanah cukup dalam. Ketika malam semakin
larut, galian sumur itu semakin dalam. Lembu Sura sudah tidak tampak lagi dari
bibir sumur. Melihat hal itu, Putri Dyah Ayu Pusparani semakin panik. Ia pun
mendesak ayahandanya agar menggagalkan usaha Lembu Sura membuat sumur. “Ayah!
Apa yang harus kita lakukan? Putri tidak mau menikah dengan Lembu Sura,” keluh
sang Putri dengan bingung. Prabu Brawijaya pun tidak ingin mengecewakan putri
kesayangannya untuk yang kedua kalinya. Setelah berpikir keras, akhirnya ia
menemukan sebuah cara untuk menghabisi nyawa Lembu Sura. “Pengawal! Timbun
sumur itu dengan tanah dan bebatuan besar!” seru Prabu Brawijaya. Tak seorang
pun pengawal yang berani membantah. Mereka segera melaksanakan perintah
rajanya. Lembu Sura yang berada di dalam sumur berteriak-teriak meminta tolong.
“Tolooong...! Tolooong...! Jangan timbun aku dalam sumur ini!” demikian
teriakan Lemu Sura. Para pengawal tidak menghiraukan teriakan Lembu Suara.
Mereka terus menimbun sumur itu dengan tanah dan bebatuan. Dalam waktu sekejap,
Lembu Sura sudah terkubur di dalam sumur. Meski demikian, suaranya masih
terdengar dari dalam sumur. Lembu Sura melontarkan sumpah kepada Prabu
Brawijaya dan seluruh rakyat Kediri karena sakit hati. “Yoh, Kediri mbesuk
bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yaiku Kediri bakal dadi kali,
Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung". (Wahai orang-orang
Kediri, suatu saat akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri bakal
jadi sungai, Blitar akan jadi daratan, dan Tulungagung menjadi daerah perairan
dalam).
Dalam sumpahnya,
Lembu Sura berjanji bahwa setiap dua windu sekali dia akan merusak seluruh
wilayah kerajaan Prabu Brawijaya. Mendengar ancaman itu, Prabu Brawijaya dan
seluruh rakyatnya menjadi ketakutan. Berbagai usaha pun dilakukan untuk
menangkal sumpah Lembu Sura tersebut. Ia memerintahkan para pengawalnya agar
membangun sebuah tanggul pengaman yang kokoh (kini telah berubah menjadi gunung
bernama Gunung Pegat) dan menyelenggarakan selamatan yang disebut dengan larung
sesaji. Meski demikian, sumpah Lembu Sura tetap juga terjadi. Setiap kali
Gunung Kelud meletus, masyarakat setempat menganggap hal itu merupakan amukan
Lembu Sura sebagai pembalasan dendam atas tindakan Prabu Brawijaya dan
Putrinya.
Terima kasih sudah membaca.
“TAMAT”
No comments:
Post a Comment